BUKAN soal Daerah Otonomi Baru (DOB) yang diharapkan rakyat. Lebih dari itu adalah kesejahteraan. Rasa aman, perlakuan adil dari pemerintah yang menyentuh rakyat. Tangan pemerintah harus sampai ke pelosok Desa. Menggenggam, mengayomi rakyat secara adil. Rakyat Papua menolak pemekaran adalah tamparan telak bagi mereka yang sering memanfaatkan situasi untuk isu pemekaran daerah.
Buat apa, misalnya pelayanan pemerintah di dekatkan. Tapi, rakyat tetap hidup miskin. Melarat, lapar dalam suasana bumi yang kaya raya. Rasa aman rakyat terusik. Otonomi daerah adalah contoh pelayanan pemerintah yang secara simbolik dekat ke rakyat.
Ternyata, tak ada garansi kesejahteraan. Berarti percuma sebuah daerah dimekarkan, diotonomkan. Jika yang lagi hanya kesenjangan, dan kesenjangan baru yang melahirkan nasib rakyat terabaikan. Maka, layaklah kalau ada rakyat Papua yang menolak DOB. Karena dirasakan betul, itu bukan kebutuhan mereka.
Desakan dan dorongan pemekaran daerah di Indonesia, kebanyakan karena kemauan politik. Hasil kompromi, bagi-bagi tempat bagi politisi di daerah untuk mendapat jabatan. Spirit otonomi daerah kebanyakan hanya politisi. Rakyat ditarik dalam ruang legitimasi kepentingan politisi.
Bahwa seolah-olah yang minta daerah dimekarkan adalah rakyat. Aspirasi otonomi daerah didramatisir menjadi amat penting. Padahal realitasnya tidak. Rakyat tidak butuh otonomi daerah. Kesejahteraan, distribusi keadilan, rasa aman, dan perlakuan mulia, sikap hormat negara yang mereka minta.
Belum lagi, carut-marut ketimpangan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke daerah otonomi. Yang sebagian menjadi sumber korupsi. Lebih-lebih lagi jika suatu daerah masuk kategori OTSUS atau Otonomi Khusus. Anggaran yang mengalir tidaklah sedikit. Janggalnya, dalam realisasi anggaran dan fakta pembangunan tidak sebanding. Lebih besar pasak dari pada tiang.
Tak tahu, anggaran mengalirnya kemana?. Rakyat masih dililit kemiskinan. Keselamatan rakyat masih di bawah bayang-bayang teror. Begitu memprihatinkan, berarti ada yang salah. Bisa jadi sikap tidak serius mengurus rakyat menguasai pikiran elit pemerintah kita. Elit pemerintah dalam skala luas, dari pusat maupun daerah.
Niat dan orientasi otonomi daerah ternyata didompleng politisi. Konsekuensinya, otonomi daerah malah memperkaya politisi. Pemburu kursi kekuasaan, memberi keuntungan secara ekonomi pada segelintir orang. Lihat saja, reaksi publik yang beragam terkait apresiasi mereka terhadap DOB.
Ada yang meminta DOB. Ada yang malah menolak mentah-mentah. Untuk kasus rakyat yang menolak DOB, menarik untuk kita membacanya. Tentu banyak kepentingan bermain atau dimainkan juga disana. Kalau penolakan itu pure dari rakyat, berarti mereka telah bosan dengan retorika politisi. Otonomi daerah mereka anggap tidak urgen.
Dinamika ini perlu disikapi pemerintah pusat. Terlebih Kementerian Dalam Negeri untuk mengatur ulang, mendeteksi semangat otonomi daerah. Yang jangan-jangan dibangun atas nafsu politik segelintir elit politisi lokal saja. Lalu, mereka mendapat dukungan kuat dari pemerintah pusat. Ujung-ujngnya ada bargaining bagi hasil.
Publik berharap tidak demikian yang terjadi. Kemungkinan yang lain, ialah rakyat di pelosok belum memahami apa itu DOB atau pemekaran daerah. Sehingga sosialisasi untuk itu perlu diperkuat. Edukasi kepada rakyat bisa jadi belum maksimal dilakukan Kementerian Dalam Negeri dan juga pemerintah daerah.
Ketika rakyat berani protes terbuka, berati masalahnya sudah kompleks. Terdapat akumulasi masalah. Memang disatu sisi, tak bisa dipungkiri rakyat sudah jijik, bosan dengan elit politik yang hanya obral janji. Bicaranya melambung tinggi, namun pelaksanaan kata-kata tidak sesuai. Rakyat miskin, makin miskin. Pemekaran daerah malah melahirkan "raja-raja baru". Para penguasa daerah yang berorientasi memperkaya diri dan keluarga mereka.
Demi hasrat berkuasa, tidak sedikit politisi berani menggadai kepentingan dan kepercayaan rakyat. Itu realitasnya, meski tidak semua. Sesuatu yang buruk dibuat bagus "great". Dipoles, dirancang bahwa rakyat menghendaki otonomi daerah. Argumen dan pertimbangan logis dibuat, ternyata semua palsu. Artinya, tidak semua rakyat meminta otonomi sebuah daerah.
Kalau diperiksa yang ngotot meminta suatu daerah dimekarkan menjadi DOB adalah politisi. Biar mereka mendapat panggung. Didaulat sebagai tokoh pemekaran, dibuat glorifikasi. Publik dibuat terhipnotis dengan perilaku politisi yang berpura-pura tersebut. Tidak sedikit, setelah mendapatkan apa yang mereka mau, politisi ini ambil langkah seribu. Mengambil posisi menjauhi rakyat.
Setelah musim politik (Pemilu dan Pilkada) tiba barulah mereka kembali menyapa lagi rakyat. Suasana demokrasi yang dibuat menjadi praktek sampah. Marwah demokrasi direndahkan dengan transaksi kepentingan. Rakyat hanya menjadi alat. Bahkan tidak segan, sebagian politisi rakus menjadikan rakyat seperti alas kaki.
Sejumlah media online seperti Republika.co.id, Voaindonesia.com, koran.tempo.co, pada tanggal 4 dan 27 April 2022, melansir sikap Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak pemberian Provinsi baru. Demo rakyat Papua menolak pemekaran massif dilakukan. Ironisnya, DPR RI, Jumat (8/4/2022), telah menyetujui dalam rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU di Badan Legislasi DPR.
Tiga Provinsi baru itu adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Untuk diketahui, pemekaran wilayah di Papua tersebut tertuang dalam RUU yang diusulkan oleh Komisi II DPR.
Begitu unik dan aneh kasus ini. Dimana rakyat Papua menolak melalui MRP, tapi DPR menerima alias mengesahkan pemekaran Provinsi. Case yang berbeda, terbaik dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Yang lain meminta-minta dimekarkan. Rakyat Papua malah menolak. Ada apa?. Sebagai pegiat literasi, kita wajib curiga.
Bahkan sebelumnya, 17 Maret 2022, BBC.com memberitakan bahwa Demo Papua tolak pemekaran Provinsi baru memakan korban jiwa. Penilaian yang berangsur-angsur dilakukan, tapi terpental. Kemauan rakyat lagi-lagi kalah dengan kemauan dan kepentingan politik. Mau berkomentar lebih, atau ngotot apalagi kalau sudah begini. Nauzubillah.
Jumat, 8 April 2022, Puan Maharani, Ketua DPR RI menyampaikan bahwa tiga Provinsi baru di Papua bertujuan untuk melayani rakyat Papua lebih baik lagi (baca, www.dpr.go.id). Pandangan yang juga harapan ini kita berharap jujur dikeluarkan pejabat negara. Bukan sekedar lip service.
Seperti diketahui. DPR menargetkan sebelum Juni 2022, pembahasan terkait Rancangan Undang-Undangan (RUU) Provinsi Pemekaran Papua dirampungkan. Targetnya adalah 2024 saat Pemilu, tiga Provinsi tersebut sudah otonom. Insya Allah tidak dijadikan bahan sengketa politik kedepannya.
Kita berharap DPR masih waras, tidak menjadi situas ini sebagai peluang mengatur proyek politik. Rakyat Papua pasti tegas dan kompak menolak, kalau mereka dijadikan target sandera politik. Sekali lagi, biadab jika kontestasi ini sekedar menjadi bagian investasi politik elit. Jangan sampai rakyat dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang.
Untuk diketahui, tiga RUU yang digenjot DPR yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah (Lapago).Â
Kita berharap penolakan rakyat Papua untuk pemekaran Provinsi baru murni karena kesejahteraan yang kandas. Bukan karena ada kekuatan "tangan ajaib" yang bermain disana. Bukan soal konspirasi untuk mengeruk Sumber Daya Alam Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H