Benarkah Pejabat Publik tak boleh dikritik?, mereka digaji rakyat untuk diagungkan?. Tidak tentunya. Pejabat Publik adalah babu. Mereka pelayan rakyat. Jika memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, tidak boleh dikritik?. Pasti bisa. Korelasinya kuat, dimana Indonesia sebagai negara hukum.
Wajah hukum kita di Indonesia makin memperlihatkan aroma kesombongan oligarki. Kekuasaan rasanya mampu mendikte, merubah arah dan keputusan hukum. Dimana hukum lebih tajam ke bawah, lalu tumpul ke atas. Bagi rakyat biasa, hukum selalu tegas diterapkan.
Hal itu tidak untuk pejabat dan elit negara. Kasus yang menyeret Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti salah satunya. Di antara kasus-kasus yang memperlihatkan arogansi kekuasaan. Akhirnya, pemerintah tidak boleh kepanasan dan marah kalau rakyat berkesimpulan di era ini penegakan hukum masih sangat tebang pilih. Hukum memberangus, membungkam suara kritis.
Implementasi keadilan hukum mestinya berjalan konsisten. Tidak inkonsisten, dan hanya menyasar kelompok masyarakat yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Atau hukum yang hanya ganas dan buas kepada aktivis yang mengkritik pejabat publik. Jangan kalian lupa, wahai pejabat publik, kekuasaan tidak abadi. Suatu saat anda-anda akan selesai menjadi pejabat publik. Hukum karma akan berlaku.
Kondisi riil seperti dialami Harus dan Fatia yang ditetapkan sebagai tersangka menuai kontroversi. Ada kejanggalan. Terlebih di kalangan aktivis pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Luhut dikutuk. Haris Fatia dilaporkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, hanya karena membicarakan dugaan keterlibatannya dalam sebuah perusahaan Tambang di Papua. Ironis, pejabat publik yang anti kritik. Gila hormat.
Rakyat yang rasional akan memberi mosi tidak percaya terhada perlakuan tidak etis terhadap pemerintah kepada rakyatnya sendiri. Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti merupakan simbol kekritisan, rasionalitas, kewarasan publik. Mereka ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pencemaran nama baik dan fitnah penyebaran berita bohong terhadap Luhut Binsar Pandjaitan.
Melalui laporan dari Luhut Binsar Nomor laporan Luhut ke polisi, yakni LP/B/4702/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertangal 22 September 2021. Dimana setelah hampir enam bulan, penyidik Polda Metro Jaya akhirnya menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik, pada 17 Maret 2022.
Dialog YouTube dari Haris Fatia dianggap melahirkan delik aduan (klacht delict). Lantas dipolisikan Luhut Binsar. Apa yang disampaikan Haris maupun Fatia substansinya diabaikan. Padahal, yang mesti direspon negara atau Luhut Binsar, penegak hukum ialah materi terkait riset, observasi, atau pemetaan secara garis besar yang dibicarakan dalam dialog via YouTube yang diposting 20 Agustus 2021 tersebut.
Dialog dengan judul : "Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi - Ops Militer Intan Jaya !! Jenderal BIN juga Ada !!", setelah ditanggapi Luhut barulah ramai. Beberapa bulan sebelumnya, kenapa Luhut tidak melaporkan?, janggal kelihatanya. Dari Agustus 2021, tidak dilaporkan. Begitu berjarak, hal ini patut dicurigai bahwa Luhut sedang ketakutan jangan sampai keterlibatannya makin luas diketahui rakyat Indonesia.
Pembicaraan dalam YouTube memuat ulasan lengkap soal relasi ekonomi dalam operasi militer di Intan Jaya, seperti out konteks direspon Luhut. Kesewenang-wenangan lainnya, yaitu posisi Luhut sebagai Menteri. Kalau si Luhut rakyat biasa, makanya tak mengapa ia marah-marah dan malapor. Karena yang disoroti dalam dialog tersebut yakni posisi Luhut sebagai Pejabat Publik.
Situasi arogansi pejabat publik seperti yang ditunjukkan Luhut makin menegaskan bahwa pemerintah Jokowi-KH Ma'ruf mendapat challenge yang tidak mudah. Selain mengurus penularan pandemi Covid-19 yang telah berlangsung kurang lebih dua tahun. Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), ke Kalimantan Timur yang terus disorot. Wacana penundaan Pemilu 2024.
Tidak hanya itu, kelangkaan minyak goreng. Laporan KKN, begitupun dengan dugaan korupsi PCR yang melibatkan sejumlah Menteri. Beragam isu lain juga mencuat dan mewarnai informasi publik. Imbasnya, benturan informasi dan kepentingan tidak bisa terhindarkan. Alhasil kepentingan publik yang fundamental tenggelam, tidak menjadi fokus perhatian pemerintah.
Dalam konteks seperti inilah, perilaku meniru atau imitasi dipelihara publik. Apatisme meluas. Rakyat mulai secara berlahan tidak memberi dukungan terhadap apa yang dianjurkan dan diperintahkan pemerintah. Keteladanan pemerintah berkurang. Sikap seperti Luhut yang anti kritik membuat publik antipati terhadap pemerintah.
Luhut dapat disebut mengidap waham. Sudah pasti, rakyat tidak memerlukan pemimpin atau pejabat publik yang mengidap waham kebesaran. Waham megalomania. Yang merasa benar sendiri. Lalu menyalah-nyalahkan rakyat. Tidak mau mendengar masukan dari rakyat, menyedihkan.
Pendekatan Luhut untuk menyelesaikan masalah atau dugaan yang mendera dirinya dengan melaporkan Haris Fatia menggambarkan bahwa Luhut sebagai Pejabat Publik sangat tidak layak hidup di era demokrasi seperti Indonesia. Yang mengedepankan perbedaan pendapat. Tabayyun tidak lagi menjadi alat komunikasi bagi Luhut. Kesombongannya sebagai Pejabat Publik terlihat.
Apa yang dilakukan Luhut tidak memberi kesan sebagai seorang Pejabat Publik yang negarawan. Cara pandang "mentang-mentang", ini membahayakan pemerintahan Jokowi-KH Ma'ruf. Mentang-mentang berkuasa, dan menjadi Pejabat Publik (Menteri), rakyat yang berpendapat berbeda dipenjarakan. Memperlihatkan congkaknya sebagai pemerintah yang berkuasa.
Orang seperti Luhut ini lupa kalau rotasi kepemimpinan masih terus berlanjut. Kemudian, dirinya akan tersisi di pinggiran kekuasaan. Luhut mungkin memikirkan dirinya banyak duit, lantas sesuka hati membungkam suara kritis. Dia lupa, cara-cara semacam ini tidak mempan bagi kalangan aktivis prodem. Aktivis yang memperjuangkan HAM, tidak sedikitpun takut dengan model intimidasi seperti itu.
Mengandalkan kekuasaan untuk menaklukkan rakyat, merupakan cara yang tidak etis. Bahkan bisa disebut cara-cara jahat. Pendekatan yang sebetulnya mematikan demokrasi. Perbedaan pendapat, terlebih soal hasil riset dan temuan lapangan melalui survei dianggapnya difitnah, ini penting. Sebuah kesalahan fatah telah dilakukan Luhut. Blunder besar, dimana atas ulahnya Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka.
Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia juga makin mengalami darurat keadilan. Sepertinya keadilan di depan publik hanya berlaku dan diberikan kepada elit pemerintah. Ya, juga kepada para Pejabat Publik yang sombong itu. Rakyat sulit mengakses, merasakan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H