Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Haris dan Fatia Tersangka, Luhut Buat Potret Pejabat Publik Kian Merosot

26 Maret 2022   18:30 Diperbarui: 26 Maret 2022   20:48 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi darurat keadilan (Dokpri)

Tidak hanya itu, kelangkaan minyak goreng. Laporan KKN, begitupun dengan dugaan korupsi PCR yang melibatkan sejumlah Menteri. Beragam isu lain juga mencuat dan mewarnai informasi publik. Imbasnya, benturan informasi dan kepentingan tidak bisa terhindarkan. Alhasil kepentingan publik yang fundamental tenggelam, tidak menjadi fokus perhatian pemerintah.

Dalam konteks seperti inilah, perilaku meniru atau imitasi dipelihara publik. Apatisme meluas. Rakyat mulai secara berlahan tidak memberi dukungan terhadap apa yang dianjurkan dan diperintahkan pemerintah. Keteladanan pemerintah berkurang. Sikap seperti Luhut yang anti kritik membuat publik antipati terhadap pemerintah.

Luhut dapat disebut mengidap waham. Sudah pasti, rakyat tidak memerlukan pemimpin atau pejabat publik yang mengidap waham kebesaran. Waham megalomania. Yang merasa benar sendiri. Lalu menyalah-nyalahkan rakyat. Tidak mau mendengar masukan dari rakyat, menyedihkan.

Pendekatan Luhut untuk menyelesaikan masalah atau dugaan yang mendera dirinya dengan melaporkan Haris Fatia menggambarkan bahwa Luhut sebagai Pejabat Publik sangat tidak layak hidup di era demokrasi seperti Indonesia. Yang mengedepankan perbedaan pendapat. Tabayyun tidak lagi menjadi alat komunikasi bagi Luhut. Kesombongannya sebagai Pejabat Publik terlihat.

Apa yang dilakukan Luhut tidak memberi kesan sebagai seorang Pejabat Publik yang negarawan. Cara pandang "mentang-mentang", ini membahayakan pemerintahan Jokowi-KH Ma'ruf. Mentang-mentang berkuasa, dan menjadi Pejabat Publik (Menteri), rakyat yang berpendapat berbeda dipenjarakan. Memperlihatkan congkaknya sebagai pemerintah yang berkuasa.

Orang seperti Luhut ini lupa kalau rotasi kepemimpinan masih terus berlanjut. Kemudian, dirinya akan tersisi di pinggiran kekuasaan. Luhut mungkin memikirkan dirinya banyak duit, lantas sesuka hati membungkam suara kritis. Dia lupa, cara-cara semacam ini tidak mempan bagi kalangan aktivis prodem. Aktivis yang memperjuangkan HAM, tidak sedikitpun takut dengan model intimidasi seperti itu.

Mengandalkan kekuasaan untuk menaklukkan rakyat, merupakan cara yang tidak etis. Bahkan bisa disebut cara-cara jahat. Pendekatan yang sebetulnya mematikan demokrasi. Perbedaan pendapat, terlebih soal hasil riset dan temuan lapangan melalui survei dianggapnya difitnah, ini penting. Sebuah kesalahan fatah telah dilakukan Luhut. Blunder besar, dimana atas ulahnya Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka.

Di tengah pandemi Covid-19, Indonesia juga makin mengalami darurat keadilan. Sepertinya keadilan di depan publik hanya berlaku dan diberikan kepada elit pemerintah. Ya, juga kepada para Pejabat Publik yang sombong itu. Rakyat sulit mengakses, merasakan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun