Mohon tunggu...
amarul pradana
amarul pradana Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

game online

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Detail Kasus Dugaan Korupsi Pajak yang Menjerat Hadi Poernomo

6 Oktober 2015   17:22 Diperbarui: 6 Oktober 2015   17:22 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Centra Asia (BCA). Ketua KPK nonaktif, Abraham Samad mengungkapkan, Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang dalam kapasitas dia sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004.

Menurut Abraham, kasus ini berawal ketika BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun.

"BCA Tbk dalam hal ini mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar Rp 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan). Kemudian, setelah surat itu diterima PPh, maka dilakukan pengkajian lebih dalam untuk bisa mengambil kesimpulan," kata Abraham di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (21/4/2014) malam.

Setelah melakukan kajian selama hampir setahun, kata Abraham, pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak.

"Direktur PPh menyampaikan kepada Dirjen Pajak dalam kesimpulannya bahwa permohonan wajib pajak BCA harus ditolak," ujar Abraham.

Namun, pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan. Melalui nota dinas tertanggal 18 Juli 2004, kata Abraham, Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya.

"Dia meminta Direktur PPh, selaku pejabat penelahaan, mengubah kesimpulan yang semula dinyatakan menolak diubah menjadi menerima seluruh keberatan. Di situlah peran Dirjen Pajak Saudara HP (Hadi)," tutur Abraham.

Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.

Selain itu, menurut Abraham, Hadi diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun, pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama.

"Di sinilah duduk persoalannya. Oleh karena itu, KPK menemukan fakta dan bukti yang akurat dan berdasarkan itu. KPK adakan forum ekspos dengan satuan tugas penyelidikan dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan HP selaku Dirjen Pajak 2002-2004 dan kawan-kawan sebagai tersangka," kata Abraham.

KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.

Menurut Wakil Ketua KPK nonaktif, Bambang Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya negara menerima Rp 375 miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak lainnya, tidak selamanya harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata Bambang.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2014/04/21/1929221/Ini.Detail.Kasus.Dugaan.Korupsi.Pajak.yang.Menjerat.Hadi.Poernomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun