Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala Inses Kepada Penyandang Disabilitas

7 April 2019   13:02 Diperbarui: 7 April 2019   13:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hati siapa yang tidak pedih mendengar pemberitaan begitu biadab pada seorang gadis yang masih di bawah umur. Ia mendapat perlakuan seperti budak seks dari ayah, kakak dan adik kandung secara bergantian dalam waktu bertahun-tahun. Dinyatakan pula bahwa sang gadis penyandang disabilitas, dengan segala keterbatasan diri ia merasakan penderitaan yang begitu kejam.

Inses atau hubungan seksual sedarah merupakan perilaku menyimpang yang harus dihindari. Bukan saja perilaku kejahatan yang sifatnya pidana, hal ini merupakan patologi social yang merusak sendi ketahanan masyarakat dalam unit paling vital yakni keluarga. Keluarga telah kehilangan perlindungan yang paling dasar yakni menjaga hak hidup seseorang yang sejatinya harus dilindungi, menjamin hidup, tumbuh kembang secara optimal, mendapat pengasuhan, saling menjaga, saling memperhatikan dan saling mengasihi.

Perilaku inses pada beberapa kasus, biasanya ayah kandung kepada anak perempuan, atau kakak laki-laki pada adik perempuan, terjadi peristiwa hubungan persetubuhan. Hal itu diakibatkan rapuhnya hubungan pengasuhan pertalian darah dalam sebuah keluarga yang tergerus oleh sebuah situasi yang merusak jiwa dan mentalitas seseorang.

Profil para pelaku inses selalu dihasilkan dari orang-orang yang terpengaruh masalah seksualitas. Seperti imajinasi pada sebuah fantasi aktivitas seksual yang dipicu oleh intesitasnya dalam menikmati tayangan pornografi. Bagi kalangan yang rutin melakukan hubungan seks, ia tak sanggup untuk menahan libido di saat sang istri sudah tidak ada atau bahkan dianggap tidak mampu lagi memuaskan hasrat seksualnya.

Sedangkan mereka yang sudah pada fantasi seksual melalui tayangan porno sudah kehilangan akal sehat dalam membendung hasrat saat itu juga. Maka pelampiasan pada seseorang yang lemah, relasi kuasa yang paling didominasi merupakan cara bagi mereka untuk beroperasi. Setidaknya hal itulah yang menjadi narasi peristiwa inses kakak laki-laki pada adik kandung hingga hamil yang digugurkan di Muaro Jambi tahun 2018 silam.

Kembali pada kasus di kabupaten Pringsewu, relasi kuasa bapak pada anak perempuan ini memang menjadi momok yang sulit bagi korban untuk menghindar. Kondisi difabel dan keterbatasan yang ia alami menambah relasi kuasa semakin mencengkram hubungan pertalian darah ini sehingga sang ayah betapa leluasa, bahkan kakak adiknya pun turut merasa dominative. Dalam puncak ketidakberdayaan tersebut, lemahnya control diri seorang ayah, karena ditinggal istri dan melihat anaknya dalam kondisi keterbelakangan mental membuatnya mengambil jalan mudah dalam aktivitas seksual.

Kemalangan korban tidak berhenti sampai disitu, karena perilaku ayah tersebut ditiru oleh anggota rumah tangga lainnya yakni kakak dan adiknya yang punya kebiasaan tontonan pornografi.

Dalam melihat kasus ini, ada beberapa kritik yang menjadi refleksi krusial penulis. Pertama sesungguhnya perlindungan pada kelompok disabilitas merupakan kunci bagi terpeliharanya hak azazi mereka secara setara.

Pada UU No 08 tahun 2016 tentang Disabilitas, perlindungan pada mereka sudah sangat jelas dengan azaz a. Penghormatan terhadap martabat; b. otonomi individu; c. tanpa Diskriminasi; d. partisipasi penuh; e. keragaman manusia dan kemanusiaan; f. Kesamaan Kesempatan; g. kesetaraan; h. Aksesibilitas; i. kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; j. inklusif; dan k. perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.

Mereka dilibatkan dalam pembangunan secara partisipatoris. Negara melindungi hak mereka untuk a. hidup; b. bebas dari stigma; c. privasi; d. keadilan dan perlindungan hukum; e. pendidikan; f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; g. kesehatan; h. politik; i. keagamaan; j. keolahragaan; k. kebudayaan dan pariwisata; l. kesejahteraan sosial; m. Aksesibilitas; n. Pelayanan Publik; o. Pelindungan dari bencana; p. habilitasi dan rehabilitasi; q. Konsesi;  r. pendataan; s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; u. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan v. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Untuk perempuan yang menyandang disabilitas, Negara memahami kerentanannya dengan melindungi hak a. atas kesehatan reproduksi; b. menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; c. mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi berlapis; dan d. untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Hingga pada proses perlindungan social, mereka tidak boleh luput dari program negara.

Dengan peristiwa ini sungguh kita semua tertampar, dan menyaksikan runtuhnya nilai-nilai kepedulian social, control masyarakat, dan interaksi di masyarakat. Apakah kebijakan perundang-undangan hanya sebuah tabir kepalsuan yang sulit diimplementasikan di masyarakat, ataukah kita terlalu sibuk memikirkan masa depan hingga ceroboh memaknai hari ini dalam memahami sebuah realitas social.

Kedua, perilaku biadab hadir dalam keluarga yang berkelindan dengan kemiskinan, yang tidak memiliki nilai edukasi. Jangankan berbicara pendidikan formal, non formal atau informal. Proses pergaulan tertutup, asocial dan mungkin mengucilkan diri menjadi fenomena yang mebutuhkan uluran dan intervensi.

Pendidikan sejatinya menyasar kelompok ini tanpa ada alasan. Pemerintah Daerah dan program social serta Desa diperuntukkan menjangkau kelompok social ini untuk mengurangi kesenjangan pendidikan yang terjadi di berbagai tempat. Karena tanpa pendidikan yang mengasah rasa, karsa dan pola pikir, perilaku seseorang kian mundur dari peradaban dan dengan mudahnya melakukan sesuatu tanpa pikir panjang.

Ketiga, bicara penyebab dari peristiwa memilukan ini adalah arus pornografi yang sudah sedemikian merebak. Kemudahan akses, tiada batasnya ia nikmati, membuat control diri hilang. Pada para pecandu (perlu dilampirkan keterangan dari dokter) pornografi, merupakan kelompok yang perlu penanganan pysikiatri, bukan hanya psikolog dalam memulihkan keadaan sarafnya.

Ketergantungan tayangan porno menimbulkan terganggunya system saraf yang meminta jatahnya untuk dilayani seperti ketagihan obat adiktif yang saat itu harus didapatkan. Sehingga lagi-lagi pasar internet, dan berbarengan dengan pornografi yang menyasar kalangan pedesaan dan perkotaan merupakan tantangan baru untuk memastikan berinternet dengan sehat.

Keempat, aspek penanganan korban membutuhkan pemulihan yang optimal. Perilaku yang korban terima dipastikan menimbulkan traumatis yang akut. Oleh sebab itu layanan rehabilitasi anak korban kejahatan seksual harus dilakukan sesuai dengan bunyi UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Penanganan utama adalah menyelamatkan fisik, visum dan memastikan ia tidak mengidap penyakit kelamin, kemudian kondisi tubuh lainnya dan pemulihan psikis serta psikologisnya secara bertahap.

Selain itu layanan restitusi untuk korban harus diupayakan semua gratis dan memperoleh kemudahan menjalaninya. Dalam waktu yang tidak terbatas, korban perlu tinggal di rumah aman yang membuatnya terhindar dari akses banyak orang yang biasanya membuatnya kembali terguncang mengingat bahkan mendengar bahasa-bahasa yang ia tidak kehendaki.

Kelima, aspek penegakkan hukum dalam kasus ini membutuhkan keahlian dalam menyuarakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam hal ini pendamping hukum korban seharusnya memiliki kemampuan untuk membangun momentum penegakkan hukum secara adil untuk pembelajaran di masyarakat.

Para pelaku terjerat UU Perlindungan Anak tentang kejahatan seksual yang dilakukan oleh keluarga berulang kali, maka implementasi tuntutan maksimal, plus sepertiga dan pidana tambahan kebiri kimiawi, pengumuman di tempat umum dan pemasangan chip perlu diterapkan pada ayah dan kakak kandungnya. Sedangkan adiknya diterapkan UU No 11/2012 tentang SPPA yang mengatur anak usia di bawah 18 tahun melakukan kejahatan seksual dengan tuntutan di atas 7 tahun penjara merupakan pelaku yang dikenai tahanan.

 Keenam tentang pengasuhan korban. Bahwa keluarga sudah melakukan tindakan pidana harus dicabut kuasa asuhnya pada anak. Untuk kemudian dibicarakan siapakah yang akan mengasuh apakah keluarga ke dua nenek atau kakeknya, atau keluarga ke tiga paman atau budenya.

Jika kondisi keluarga masih menyisakan potensi penelantaran, maka kuasa asuh akan diberikan pada negara yang menyelenggarakan pengasuhan berbasis panti pada dinas-dinas social diberbagai daerah. Kondisi korban harus dipulihkan sebelum berada dalam pemeliharaan negara untuk membangun mental dan psikologisnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun