Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala Inses Kepada Penyandang Disabilitas

7 April 2019   13:02 Diperbarui: 7 April 2019   13:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan peristiwa ini sungguh kita semua tertampar, dan menyaksikan runtuhnya nilai-nilai kepedulian social, control masyarakat, dan interaksi di masyarakat. Apakah kebijakan perundang-undangan hanya sebuah tabir kepalsuan yang sulit diimplementasikan di masyarakat, ataukah kita terlalu sibuk memikirkan masa depan hingga ceroboh memaknai hari ini dalam memahami sebuah realitas social.

Kedua, perilaku biadab hadir dalam keluarga yang berkelindan dengan kemiskinan, yang tidak memiliki nilai edukasi. Jangankan berbicara pendidikan formal, non formal atau informal. Proses pergaulan tertutup, asocial dan mungkin mengucilkan diri menjadi fenomena yang mebutuhkan uluran dan intervensi.

Pendidikan sejatinya menyasar kelompok ini tanpa ada alasan. Pemerintah Daerah dan program social serta Desa diperuntukkan menjangkau kelompok social ini untuk mengurangi kesenjangan pendidikan yang terjadi di berbagai tempat. Karena tanpa pendidikan yang mengasah rasa, karsa dan pola pikir, perilaku seseorang kian mundur dari peradaban dan dengan mudahnya melakukan sesuatu tanpa pikir panjang.

Ketiga, bicara penyebab dari peristiwa memilukan ini adalah arus pornografi yang sudah sedemikian merebak. Kemudahan akses, tiada batasnya ia nikmati, membuat control diri hilang. Pada para pecandu (perlu dilampirkan keterangan dari dokter) pornografi, merupakan kelompok yang perlu penanganan pysikiatri, bukan hanya psikolog dalam memulihkan keadaan sarafnya.

Ketergantungan tayangan porno menimbulkan terganggunya system saraf yang meminta jatahnya untuk dilayani seperti ketagihan obat adiktif yang saat itu harus didapatkan. Sehingga lagi-lagi pasar internet, dan berbarengan dengan pornografi yang menyasar kalangan pedesaan dan perkotaan merupakan tantangan baru untuk memastikan berinternet dengan sehat.

Keempat, aspek penanganan korban membutuhkan pemulihan yang optimal. Perilaku yang korban terima dipastikan menimbulkan traumatis yang akut. Oleh sebab itu layanan rehabilitasi anak korban kejahatan seksual harus dilakukan sesuai dengan bunyi UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Penanganan utama adalah menyelamatkan fisik, visum dan memastikan ia tidak mengidap penyakit kelamin, kemudian kondisi tubuh lainnya dan pemulihan psikis serta psikologisnya secara bertahap.

Selain itu layanan restitusi untuk korban harus diupayakan semua gratis dan memperoleh kemudahan menjalaninya. Dalam waktu yang tidak terbatas, korban perlu tinggal di rumah aman yang membuatnya terhindar dari akses banyak orang yang biasanya membuatnya kembali terguncang mengingat bahkan mendengar bahasa-bahasa yang ia tidak kehendaki.

Kelima, aspek penegakkan hukum dalam kasus ini membutuhkan keahlian dalam menyuarakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam hal ini pendamping hukum korban seharusnya memiliki kemampuan untuk membangun momentum penegakkan hukum secara adil untuk pembelajaran di masyarakat.

Para pelaku terjerat UU Perlindungan Anak tentang kejahatan seksual yang dilakukan oleh keluarga berulang kali, maka implementasi tuntutan maksimal, plus sepertiga dan pidana tambahan kebiri kimiawi, pengumuman di tempat umum dan pemasangan chip perlu diterapkan pada ayah dan kakak kandungnya. Sedangkan adiknya diterapkan UU No 11/2012 tentang SPPA yang mengatur anak usia di bawah 18 tahun melakukan kejahatan seksual dengan tuntutan di atas 7 tahun penjara merupakan pelaku yang dikenai tahanan.

 Keenam tentang pengasuhan korban. Bahwa keluarga sudah melakukan tindakan pidana harus dicabut kuasa asuhnya pada anak. Untuk kemudian dibicarakan siapakah yang akan mengasuh apakah keluarga ke dua nenek atau kakeknya, atau keluarga ke tiga paman atau budenya.

Jika kondisi keluarga masih menyisakan potensi penelantaran, maka kuasa asuh akan diberikan pada negara yang menyelenggarakan pengasuhan berbasis panti pada dinas-dinas social diberbagai daerah. Kondisi korban harus dipulihkan sebelum berada dalam pemeliharaan negara untuk membangun mental dan psikologisnya.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun