Mohon tunggu...
Ana Dewi
Ana Dewi Mohon Tunggu... -

Penyuka bidang humaniora, ekonomi, seputar IT, dan musik. Hidup itu ternyata terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kota Baru

7 November 2012   06:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belum genap pukul lima sore saat aku lihat jam dinding di cafeteria kompleks pemukiman ini. Hampir dua jam di sini. Serasa berhalusinasi telah kutinggalkan kota ini. Seakan meriam waktu melesatkan gerakku seribu jam lebih cepat dan mendorongku ke kota baru yang aku harapkan. Di tempat aku duduk, seseorang tiba-tiba menarik kursi di sebelahku.

“Kau ingin pergi dari sini?”, suaranya seperti aku kenal dan sungguh aku terhenyak. Dia!

“Kamu...”, aku tercekat menyapanya dan mencoba bersikap wajar.

“Dari mana kamu tau apa yang aku pikirkan?”, aku membalas apa yang dia tanyakan. Aku menatapnya lekat, berangsur rasa terhenyakku lenyap. Berganti pikiran-pikiran yang mengembara ke masa dua tahun silam.

“Usah bertanya. Seperti dulu aku bilang, aku pengelana waktu yang tau apa yang sedang ada di pikiranmu.” Dia menjawab dan tersenyum simpul.

Pikiranku masih menjelajah ke dua tahun silam. Ah! Aku ingat senyumnya. Tunggu! Bukan hanya senyum simpulnya tapi tiga ucapan “tak apa, lakukan, dan baik-baiklah nanti” yang aku ingat dari dia. Dia muncul lagi. Untuk menyemangatiku lagi? Pikiranku berhenti menjelajahi dia di masa lalu.

“Sedang apa kamu di sini. Aku ingin pergi dari kota ini.”

“Ke mana tujuanmu?”, suaranya sungguh khas dan melekat di otakku.

“Aku ingin ke kota baru. Ingin aku tinggalkan kota ini. Dan lagi aku sungguh tak percaya bertemu lagi denganmu atau jangan-jangan kamu selama ini membuntutiku”, aku penasaran berkata.

Tidak ada jawaban. Tapi lagi-lagi hanya senyum simpulnya. Ah! Tolong hentikan senyum itu.

“Lakukan, jangan berhenti. Kota barumu menunggumu.”

“Apa kota baruku seperti di sini?, aku ingin tahu terawanganmu”, setengah bercanda aku mengatakannya.

“Kota ini tidaklah buruk, bukan juga tidak menyenangkan. Percayalah saja kota barumu berbeda.”

Kali ini aku yang tersenyum kecil. Dia lanjutkan yang tersisa.

“Tempat ini tempat berpijak untuk beberapa waktu. Kembali atau tidak ke sini itu nanti, jika kau masih punya ingin ke sini.”

Pikiranku menerawang ke kota baru. Begitu menggairahkan. Begitu meyakinkan jadi nafas hidup selanjutnya. Dan aku serasa telah berada di kota baru itu. Kota baru yang sungguh menawan, begitu emosional menyimpan kenikmatan tersendiri, kepuasan dan spirit yang seimbang. Lalu dia berpamitan tapi tak bercerita banyak. Sungguh tak terduga bertemu dia dan duduk di meja yang sama denganku untuk menit-menit yang tak lama, tak seperti dulu. Dia pergi. Aku berkomat-kamit doa untuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun