“Lakukan, jangan berhenti. Kota barumu menunggumu.”
“Apa kota baruku seperti di sini?, aku ingin tahu terawanganmu”, setengah bercanda aku mengatakannya.
“Kota ini tidaklah buruk, bukan juga tidak menyenangkan. Percayalah saja kota barumu berbeda.”
Kali ini aku yang tersenyum kecil. Dia lanjutkan yang tersisa.
“Tempat ini tempat berpijak untuk beberapa waktu. Kembali atau tidak ke sini itu nanti, jika kau masih punya ingin ke sini.”
Pikiranku menerawang ke kota baru. Begitu menggairahkan. Begitu meyakinkan jadi nafas hidup selanjutnya. Dan aku serasa telah berada di kota baru itu. Kota baru yang sungguh menawan, begitu emosional menyimpan kenikmatan tersendiri, kepuasan dan spirit yang seimbang. Lalu dia berpamitan tapi tak bercerita banyak. Sungguh tak terduga bertemu dia dan duduk di meja yang sama denganku untuk menit-menit yang tak lama, tak seperti dulu. Dia pergi. Aku berkomat-kamit doa untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H