Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemiskinan Struktural dan Siklus Kejahatan: Mengapa Masyarakat Tak Lepas dari Jerat ?

4 Oktober 2024   08:45 Diperbarui: 4 Oktober 2024   09:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teman-teman, pernahkah kita bertanya-tanya mengapa kasus pencurian semakin sering terjadi di lingkungan kita? Terutama di daerah pedesaan, fenomena ini seolah menjadi pemandangan yang "biasa" saja. Namun, jika kita melihat lebih dalam, di balik tindakan kriminal ini terdapat realitas sosial yang kompleks: kemiskinan, keterbatasan pendidikan, serta kecanduan judi online dan narkoba.

Beberapa minggu dan bulan terakhir, di daerah penulis terjadi peningkatan kasus pencurian komoditas seperti kelapa sawit, jagung, gabah, buah-buahan, bahkan apa saja yang bisa dijadikan uang. Hasil curian ini digunakan untuk memenuhi hasrat judi online dan narkoba. Di masyarakat, sudah muncul pameo baru: "depo, rungkad, maling barang orang, depo lagi," yang menggambarkan siklus berulang dari tindakan tersebut. Siklus ini terus terjadi, dan yang membuat miris, pelaku pencurian sering kali dengan mudah lolos dari jerat hukum meskipun tindakan mereka jelas merugikan masyarakat banyak.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa penyebab dari maraknya pencurian ini? Penulis akan mencoba membahas topik ini dengan teori Lucifer Effect dari Philip Zimbardo, Teori Kesenjangan Sosial dari Pierre Bourdieu, Teori Disorganisasi Sosial dari Clifford Shaw dan Henry McKay, Gambler's Fallacy, serta kritik dari Rocky Gerung soal pemeliharaan kemiskinan dan kebodohan oleh penguasa sebagai pisau analisinya.

Kebodohan dan Kemiskinan: Alat Pelanggeng Kuasa Penguasa?

Rocky Gerung, seorang intelektual Indonesia, sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya mempertahankan kebodohan dan kemiskinan. Dalam kritiknya, ia mengatakan bahwa kebijakan publik yang gagal menciptakan pendidikan berkualitas dan kesempatan kerja yang layak sama saja dengan "memelihara" kebodohan dan kemiskinan. Rocky Gerung percaya bahwa kebijakan yang tidak memperjuangkan kesejahteraan masyarakat justru memperpanjang penderitaan rakyat kecil.

Ketika pendidikan tidak diprioritaskan dan akses terhadap pekerjaan layak dibatasi, masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi cenderung terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Ini sejalan dengan kritik Rocky Gerung yang menegaskan bahwa pemerintah sering kali mengabaikan kebutuhan rakyat kecil dan membiarkan mereka berada dalam kebodohan, sehingga lebih mudah dikendalikan dan dipengaruhi.

Perkataan Rocky Gerung tentang bagaimana penguasa memelihara kebodohan dan kemiskinan menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Ketika masyarakat dibiarkan dalam kondisi miskin tanpa akses terhadap pendidikan yang memadai, mereka kehilangan kemampuan untuk mengembangkan potensi diri. Tidak ada kesempatan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, terutama karena lapangan pekerjaan yang layak semakin sulit ditemukan. Pendidikan yang seharusnya menjadi pintu keluar dari kemiskinan malah menjadi barang mewah yang tidak terjangkau oleh mereka yang paling membutuhkan.

Akibatnya, masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan ini terpaksa mengambil jalan pintas, seperti berjudi atau mencuri. Mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Penguasa yang tidak berusaha memperbaiki situasi ini justru mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Dengan masyarakat yang tidak teredukasi, kekuasaan menjadi lebih mudah dikendalikan. Sebab, rakyat yang bodoh dan miskin cenderung pasrah terhadap keadaan dan tidak mampu melakukan perlawanan yang berarti.

Kemiskinan Struktural: Lebih dari Sekadar Kekurangan Materi

Kemiskinan bukan hanya tentang kurangnya uang untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga tentang keterbatasan akses terhadap sumber daya, pendidikan, dan peluang kerja yang layak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkatkemiskinan di Indonesia mencapai 9,57%, dengan angka yang lebih tinggi di daerah pedesaan. Keterbatasan ini membuat masyarakat sulit untuk keluar dari siklus kemiskinan, karena kurangnya modal sosial dan budaya yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kemiskinan struktural menciptakan kondisi di mana individu merasa terjebak dan tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup mereka. Dalam kondisi ini, pekerjaan yang layak menjadi langka. Hal ini menyebabkan orang-orang di daerah miskin sering kali beralih ke pekerjaan informal, yang kurang stabil dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan jangka panjang.

Namun, masalah ini tidak berhenti di sini. Ketika pekerjaan layak tidak tersedia, tekanan ekonomi membuat individu mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di sinilah kecanduan judi online dan narkoba sering kali muncul sebagai "pelarian" dari tekanan hidup yang berat.

Teori Kesenjangan Sosial Pierre Bourdieu: Modal yang Tak Setara

Pierre Bourdieu menawarkan kerangka penting melalui konsep kesenjangan sosial yang berkaitan dengan "modal-modal" dalam masyarakat, yaitu modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Dalam teori ini, kesenjangan terjadi karena distribusi modal yang tidak merata di antara kelas-kelas sosial. Orang dengan lebih banyak modal budaya seperti pendidikan atau pengetahuan dan modal ekonomi seperti kekayaan dan aset akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk memperbaiki nasibnya.

Sebaliknya, mereka yang berada dalam kemiskinan struktural terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan karena kekurangan modal-modal tersebut. Mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan yang layak, keterampilan yang dibutuhkan untuk memasuki pasar kerja yang lebih baik, dan jaringan sosial yang mendukung mereka untuk keluar dari kemiskinan. Ketidakadilan ini memperparah kesenjangan dan mendorong munculnya fenomena seperti pencurian dan kriminalitas.

Dalam konteks masyarakat pedesaan, seperti yang saya alami di daerah saya sendiri, keterbatasan modal ini menciptakan ketidaksetaraan yang semakin dalam. Individu yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan pekerjaan layak merasa tidak ada pilihan selain terlibat dalam tindakan ilegal seperti pencurian untuk bertahan hidup. Teori Bourdieu membantu menjelaskan bagaimana kemiskinan dan kesenjangan ini diwariskan dari generasi ke generasi, karena mereka yang kurang beruntung tidak memiliki modal untuk memperbaiki nasibnya.

Di sini, teori Kesenjangan Sosial Bourdieu memberi landasan penting dalam memahami akar kemiskinan struktural dan bagaimana sistem sosial yang ada malah memperpanjang siklus kemiskinan tersebut.

Lucifer Effect: Ketika Korban Menjadi Pelaku

Lucifer Effect adalah teori yang dikemukakan oleh Philip Zimbardo setelah eksperimen penjara Stanford pada tahun 1971. Teori ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bisa berubah dari baik menjadi jahat ketika ditempatkan dalam situasi yang mendorong atau memaksa mereka untuk melanggar norma moral. Eksperimen Zimbardo memperlihatkan bagaimana individu, dalam peran sebagai sipir penjara, berubah menjadi kejam ketika diberi kekuasaan tanpa kontrol yang memadai.

Dalam konteks kemiskinan struktural di Indonesia, Lucifer Effect relevan karena tekanan ekonomi, sosial, dan psikologis dapat menciptakan situasi yang serupa. Kemiskinan yang berkepanjangan, keterbatasan akses pendidikan, dan kurangnya peluang kerja memaksa individu untuk memilih antara bertahan hidup dengan cara yang sulit atau melakukan tindakan yang secara moral salah, seperti pencurian atau terlibat dalam aktivitas ilegal seperti judi online dan narkoba.

Zimbardo berpendapat bahwa tidak semua orang yang melakukan tindakan buruk adalah orang yang "jahat secara alami." Lingkungan, tekanan, dan sistem sosial dapat mengubah perilaku seseorang. Di sini, situasi dan kondisi struktural yang mendorong kriminalitas, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, menciptakan kondisi di mana tindakan ilegal seperti pencurian menjadi "pilihan" bagi mereka yang merasa terdesak.

Lucifer Effect juga menunjukkan bahwa kejahatan sering kali bersifat situasional daripada personal. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana lingkungan sosial yang rusak, baik oleh ketidakadilan ekonomi maupun lemahnya penegakan hukum, bisa menjadi pemicu perubahan perilaku seseorang.

Dalam kasus pencurian komoditas yang marak di tempat saya, para pelaku sering kali adalah orang-orang yang dulunya juga merupakan korban dari ketidakadilan ekonomi. Mereka adalah korban dari sistem yang gagal menyediakan pendidikan yang layak dan akses terhadap pekerjaan yang bermartabat. Namun, karena tekanan ekonomi dan dorongan kecanduan, mereka akhirnya berubah menjadi pelaku yang merugikan orang lain.

Teori ini sejalan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Lingkungan yang penuh dengan kemiskinan, kurangnya kesempatan, dan ketidakadilan membuat seseorang yang awalnya baik-baik saja dapat berubah menjadi pelaku kriminal. Ini adalah efek dari tekanan lingkungan, di mana seseorang merasa tidak punya pilihan lain selain mengikuti jalan yang salah.

Gambler's Fallacy: Sesat Pikir yang Memerangkap Para Penjudi

Salah satu hal yang memperburuk situasi para penjudi, terutama yang terjebak dalam kemiskinan struktural, adalah Gambler's Fallacy atau kesalahan logika penjudi. Gambler's Fallacy adalah keyakinan irasional bahwa setelah mengalami serangkaian kekalahan, seorang penjudi merasa "berhak" untuk menang di kesempatan berikutnya. Keyakinan ini mendorong para penjudi untuk terus mempertaruhkan uang mereka meskipun statistik sebenarnya menunjukkan bahwa hasil perjudian bersifat acak dan tidak bergantung pada hasil-hasil sebelumnya.

Dalam konteks judi online, banyak penjudi dari kelompok ekonomi menengah ke bawah yang mempercayai bahwa mereka pada akhirnya akan menang besar jika terus bermain. Namun, yang sering terjadi adalah sebaliknya mereka malah kehilangan lebih banyak uang, yang mengarah pada kemiskinan yang semakin dalam.

Berdasarkan laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lebih dari 85% pelaku judi online mengalami kerugian finansial, bahkan sebagian besar melakukan transaksi kecil di bawah Rp 200.000. Meskipun nominalnya terlihat tidak terlalu besar, namun karena siklus perjudian terus berulang, jumlah kerugian secara akumulatif menjadi sangat signifikan. Banyak pelaku judi yang akhirnya terjerat utang besar hanya untuk terus bermain, dengan harapan kemenangan akan mengembalikan kerugian mereka sebelumnya.

Menurut laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat peningkatan tajam dalam aktivitas perjudian online, terutama selama pandemi, dengan jumlah situs judi yang diakses masyarakat meningkat drastis. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada ekonomi lokal. Uang yang seharusnya berputar di dalam masyarakat untuk mendukung bisnis-bisnis kecil dan kebutuhan rumah tangga, justru mengalir keluar menuju platform judi online yang sering kali berbasis di luar negeri.

Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi keuangan yang keluar dari akun-akun lokal ke situs judi online mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya, dan mayoritas pengguna melakukan transaksi di bawah Rp 200.000 per kali taruhan dengan mayoritas pelaku berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Meski kecil, jumlah ini jika diakumulasikan secara kolektif menjadi sangat besar, melemahkan daya beli masyarakat dan memperburuk perputaran ekonomi di tingkat lokal. Hal ini menyebabkan banyak komunitas mengalami penurunan aktivitas ekonomi, karena dana yang seharusnya berkontribusi pada konsumsi lokal justru terkuras ke platform perjudian ilegal.

Disorganisasi Sosial: Kegagalan Fungsi Sosial di Masyarakat

Teori Disorganisasi Sosial dari Clifford Shaw dan Henry McKay juga relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Disorganisasi sosial terjadi ketika lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, sekolah, dan komunitas tidak lagi berfungsi dengan baik dalam mengendalikan perilaku individu. Di banyak daerah yang mengalami kemiskinan struktural, kita melihat bahwa institusi sosial ini tidak mampu lagi menjalankan perannya. Keluarga-keluarga terpecah, pendidikan rendah, dan kontrol sosial menjadi lemah.

Ketika masyarakat tidak lagi memiliki mekanisme pengendalian sosial yang kuat, perilaku menyimpang seperti pencurian dan kecanduan judi menjadi semakin marak. Lingkungan yang tidak stabil ini memperparah kemiskinan yang sudah ada, menciptakan siklus tanpa akhir di mana masyarakat terus terperosok ke dalam kondisi yang semakin buruk. Ketidakmampuan institusi sosial untuk menjalankan perannya ini menyebabkan masyarakat semakin rentan terhadap pengaruh negatif, seperti kecanduan judi online dan narkoba.

Kesimpulan: Memutus Rantai Kemiskinan dan Kejahatan

Melihat maraknya kasus pencurian yang terjadi di masyarakat saat ini, kita dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks. Fenomena ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai tindakan kriminal, melainkan sebagai hasil dari kemiskinan struktural yang terus-menerus dibiarkan tanpa solusi nyata. Ketika pekerjaan layak sulit didapatkan, pendidikan terhambat, dan kecanduan judi online serta narkoba melanda, banyak orang merasa tidak punya pilihan selain terlibat dalam tindakan yang secara moral salah, seperti pencurian.

Teori Kesenjangan Sosial dari Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana ketimpangan distribusi modal baik ekonomi, sosial, maupun budaya mengakar dan memperparah kesenjangan sosial di masyarakat. Orang yang tidak memiliki akses terhadap modal-modal ini sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, dan hal ini menyebabkan kriminalitas sebagai salah satu efeknya. Teori Disorganisasi Sosial juga memperlihatkan bagaimana lemahnya kontrol sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan norma-norma moral dan hukum menjadi tidak efektif dalam mencegah kejahatan.

Lucifer Effect dari Philip Zimbardo menegaskan bahwa dalam situasi sosial yang tertekan, manusia yang normal bisa tergelincir menjadi pelaku kejahatan. Ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan, seperti kemiskinan dan ketidakadilan sosial, memainkan peran besar dalam membentuk perilaku seseorang. Lucifer Effect mengingatkan kita bahwa siapa pun bisa terjerumus dalam tindakan negatif ketika lingkungan sosialnya memungkinkan hal itu terjadi. Jika kita ingin memutus rantai kemiskinan dan kejahatan, kita harus memulai dengan memperbaiki sistem yang ada, termasuk kebijakan publik yang lebih berkeadilan. Ditambah lagi, Rocky Gerung mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggapnya gagal dalam mengatasi kebodohan dan kemiskinan, yang justru semakin memperpanjang masalah sosial ini.

Untuk memutus rantai kemiskinan dan kejahatan, kita harus memulai dengan merombak sistem secara menyeluruh. Akses terhadap pendidikan berkualitas harus ditingkatkan, lapangan kerja yang layak harus disediakan, dan ketimpangan ekonomi harus diminimalkan. Selain itu, penegakan hukum harus lebih tegas terhadap pelaku kejahatan, agar masyarakat tidak merasa bahwa mereka bisa lolos begitu saja dari jerat hukum setelah melakukan tindakan kriminal.

Kemiskinan struktural adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan langkah-langkah kecil dan sementara. Diperlukan reformasi besar-besaran dalam kebijakan publik, penguatan masyarakat sipil, dan peningkatan modal sosial serta budaya di kalangan masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Jika tidak, siklus ini akan terus berulang, dan pencurian serta kejahatan lainnya akan tetap menjadi bayangan gelap yang merusak tatanan sosial kita.

Pada akhirnya, solusi nyata terletak pada bagaimana kita sebagai masyarakat, bersama pemerintah, bisa menciptakan kebijakan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Kita harus memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosialnya, memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Hanya dengan cara inilah, kita dapat mengakhiri siklus kemiskinan dan kriminalitas yang telah mengakar dalam struktur sosial kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun