Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Korban Menjadi Penindas: Siklus Kekuasaan dalam Sejarah Indonesia

15 September 2024   08:42 Diperbarui: 15 September 2024   08:42 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Kita Memutus Siklus Ini?

Untuk memutus siklus kekuasaan yang berubah dari alat pembebasan menjadi instrumen penindasan, langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari bagaimana kekuasaan dapat merusak jika tidak diawasi secara ketat. Sejarah Indonesia, dari era londo ireng hingga Reformasi, menunjukkan bahwa ketika kekuasaan berada di tangan yang salah, ia dapat berubah menjadi alat untuk melanggengkan penindasan, meskipun awalnya digunakan untuk membebaskan.

Pendidikan politik yang lebih baik menjadi kunci dalam upaya ini. Masyarakat perlu diberikan pemahaman mendalam tentang hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Saat ini, pendidikan politik cenderung kurang ditekankan dalam kurikulum sekolah, padahal ini adalah elemen penting untuk menciptakan generasi yang peka terhadap masalah politik, demokrasi, dan keadilan sosial. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat dapat mengidentifikasi tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan sejak dini dan menuntut perubahan sebelum penindasan terjadi.

Lebih lanjut, pendidikan politik tidak hanya untuk memahami proses pemilihan atau peran pemerintahan, tetapi juga bagaimana sistem kekuasaan bekerja secara lebih mendalam. Ini termasuk memahami bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, tetapi tanggung jawab yang harus dijalankan dengan akuntabilitas. Pendidikan ini juga harus mencakup pelajaran dari sejarah, terutama bagaimana kekuasaan yang awalnya dimaksudkan untuk kebebasan sering kali digunakan untuk menindas mereka yang rentan.

Penguatan masyarakat sipil juga menjadi elemen penting dalam menjaga akuntabilitas kekuasaan. Organisasi masyarakat sipil harus lebih aktif dalam memantau, mengadvokasi, dan menantang kebijakan-kebijakan yang potensial merugikan rakyat. Peran media dalam mengungkap penyalahgunaan kekuasaan juga krusial. Media yang bebas dan berani mengkritik pemerintah tanpa ancaman pembungkaman bisa menjadi benteng terakhir yang melindungi demokrasi dari otoritarianisme yang terselubung.

Namun, solusi ini tidak cukup hanya diterapkan di tingkat elite. Masyarakat harus didorong untuk terus aktif dalam proses politik, mulai dari pemilihan umum hingga aktivitas di tingkat lokal. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal memastikan bahwa suara rakyat tetap didengar setelah pemilu selesai. Partisipasi ini bisa dilakukan melalui forum-forum diskusi publik, keterlibatan dalam organisasi masyarakat, hingga advokasi kebijakan yang lebih transparan.

Pada akhirnya, perubahan budaya politik diperlukan untuk mencegah kembalinya pola-pola penindasan yang terus berulang dalam sejarah. Pergantian pemimpin yang demokratis tidak boleh hanya menjadi ritual tanpa makna. Demokrasi yang sejati membutuhkan peran aktif dari masyarakat untuk menuntut transparansi dan keadilan, sambil menolak setiap bentuk otoritarianisme, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. Dengan memperkuat pendidikan politik dan masyarakat sipil, serta membangun budaya politik yang lebih sehat, kita dapat memutus rantai sejarah yang mengaitkan kekuasaan dengan penindasan.

Penutup

Sejarah adalah cermin bagi masa depan, dan dari perjalanan panjang bangsa Indonesia, kita dapat belajar bahwa kekuasaan yang tidak diawasi dapat berubah menjadi alat penindasan yang membelenggu. Dari era londo ireng hingga Reformasi, siklus ini terus berulang, mengingatkan kita bahwa perubahan tidak akan terjadi hanya dengan pergantian pemimpin. Solusi untuk memutus siklus ini terletak pada penguatan pendidikan politik dan masyarakat sipil yang mampu menuntut akuntabilitas tanpa takut. Ketika kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat yang berpendidikan, berani, dan kritis, masa depan yang lebih adil dan bebas dari penindasan dapat terwujud.

Dan sebagai penutup "Dalam sejarah ada istilah yang namanya gerak sejarah, jika ada yang naik pasti ada yang turun, setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, kekuasaan bukan soal siapa yang paling kuat tapi soal siapa yang paling cerdas (licik) lah yang berkuasa dan itulah cara yang ampuh untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan tersebut. Jika cara naiknya sebelumnya kotor maka ketika turun akan mendapatkan ganjarannya, sejarah selalu membuktikanya, dan ingatlah bahwa sejarah akan menglangi dirinya sampai akhir waktu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun