Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Korban Menjadi Penindas: Siklus Kekuasaan dalam Sejarah Indonesia

15 September 2024   08:42 Diperbarui: 15 September 2024   08:42 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa mereka yang dulunya tertindas, ketika berkuasa malah menjadi lebih represif daripada penindas mereka sebelumnya? Sejarah Indonesia memberikan pelajaran menarik tentang bagaimana kekuasaan dapat mengubah korban menjadi penindas. Dari masa kolonial hingga era Reformasi, kita menyaksikan pola yang berulang: mereka yang pernah menentang kekuasaan akhirnya terperangkap dalam lingkaran penindasan yang sama. Apa yang membuat ini terjadi, dan apakah kita bisa memutus siklus ini? Mari kita lihat lebih dalam perjalanan sejarah Indonesia melalui lensa transisi kekuasaan dari korban menjadi penindas.

Londo Ireng: Saat Korban Menjadi Alat Penindasan

Masa penjajahan Belanda di Indonesia memperlihatkan jelas betapa bangsa kita berada dalam posisi yang sangat tertindas. Pribumi dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi penjajah, dijauhkan dari kekuasaan dan hak-hak dasar. Namun, di tengah-tengah penindasan ini, ada satu fenomena yang sering terlupakan: londo ireng pribumi yang bekerja untuk kolonial.

Siapa sebenarnya londo ireng? Mereka adalah orang-orang pribumi yang mendapat posisi kekuasaan di bawah kendali penjajah, biasanya sebagai pegawai kolonial atau pemimpin lokal yang berperan mengawasi sesama pribumi. Fenomena londo ireng mencerminkan paradoks kekuasaan di bawah kolonialisme. Mereka yang berada dalam posisi tertindas justru menjadi bagian dari mekanisme penindasan, yang menciptakan hubungan rumit antara kekuasaan dan subordinasi. Londo ireng adalah representasi dari kompleksitas kolonialisme di mana penjajah Belanda memanfaatkan para elite pribumi untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan memudahkan eksploitasi sumber daya. Namun, bagi londo ireng, kekuasaan ini sering kali diartikan sebagai kesempatan untuk memperbaiki status sosial dan ekonomi mereka, meskipun dengan mengorbankan rakyat sebangsanya.

Pada dasarnya, londo ireng memainkan peran strategis dalam mempertahankan kolonialisme melalui struktur sosial yang dibentuk oleh kolonial. Mereka menjadi mediator antara penguasa kolonial dan rakyat biasa. Dalam sistem cultuurstelsel yang diterapkan pada awal abad ke-19, misalnya, londo ireng memegang kendali dalam memaksa petani pribumi untuk menanam komoditas yang diinginkan penjajah, seperti kopi, tebu, dan nila. Atau dalam kasus lain seperti pembangunan Jalan Raya Pos pada masa Deandels yang upahnya dikorupsi oleh para bupati, atau pada saat Kaum Pribumi diteror oleh Resimen Andjing NICA yang merupakan bagian dari KNIL pada masa agresi militer belanda I dan II. Meski mereka mungkin tampak sebagai bagian dari komunitas pribumi, kesetiaan mereka lebih berpihak pada penguasa kolonial yang memberi mereka status dan kekuasaan.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuasaan yang bersifat opresif menciptakan alat penindasan baru dari kalangan yang sebelumnya merupakan korban. Para londo ireng memanfaatkan kedudukan mereka untuk memastikan dominasi kolonial tetap berjalan, bahkan jika itu berarti berperan sebagai pengawas yang kejam terhadap saudara sebangsa. Pengalaman kekuasaan ini menunjukkan bahwa, dalam konteks kolonialisme, posisi sebagai korban tidak serta-merta menjamin solidaritas antarkorban. Sebaliknya, kekuasaan bisa membelokkan tujuan mereka dan menciptakan hierarki baru yang memperpanjang penindasan.

Posisi kekuasaan yang didapatkan tidak digunakan untuk melawan, melainkan untuk mendukung sistem yang menindas mereka. Seperti yang dijelaskan oleh filsuf Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya menekan, tetapi juga menciptakan sistem kendali sosial yang melibatkan penguasa lokal dalam struktur yang lebih besar. Mengenai teori Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang statis atau hanya berfungsi dari atas ke bawah. Sebaliknya, kekuasaan menyebar dan diterapkan melalui berbagai cara, termasuk melalui aktor-aktor lokal yang secara aktif mengambil peran dalam mekanisme kekuasaan itu. Londo ireng menjadi bukti bahwa kekuasaan bisa menciptakan kolaborator lokal yang, meskipun secara historis tertindas, kemudian mengambil peran penindas dalam struktur kolonial yang lebih besar.

Dalam konteks sejarah Indonesia, fenomena londo ireng dapat dilihat sebagai cikal bakal dari siklus yang berulang dalam sejarah bangsa. Setelah masa kolonial, fenomena korban yang menjadi penindas ini terlihat kembali dalam transisi kekuasaan dari penjajahan menuju kemerdekaan, dan bahkan dalam rezim pasca-kemerdekaan. Ketika kekuasaan berganti tangan, sering kali individu-individu atau kelompok yang pernah menjadi korban penindasan justru mengulangi pola-pola penindasan yang sama, menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat mengubah siapa saja yang memegangnya. Siklus ini berlanjut hingga masa Orde Lama dan Orde Baru, di mana banyak tokoh nasional yang awalnya berjuang melawan kolonialisme, kemudian terlibat dalam penindasan terhadap rakyat setelah mereka mencapai kekuasaan.

Para Pahlawan Mengambil Alih Kekuasaan: Apa yang Salah?

Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah titik balik yang sangat penting. Para pahlawan yang selama bertahun-tahun berjuang melawan penjajah akhirnya berhasil mengusir mereka. Nama-nama besar seperti Sukarno dan Hatta muncul sebagai pahlawan bangsa, membawa harapan baru bagi Indonesia merdeka. Akan tetapi dalam perwujudannya menemui permasalahan, pada rentang 1949-1959 roda pemerintahan republik ini mengalami kemandekan, terutama dalam stabilitas politik, hal ini dapat dilihat dengan tujuh kabinet berbeda dalam rentang waktu 10 tahun, hal ini juga menyebabkan perekonomian menjadi tidak jelas dikarenakan setiap kabinet berganti kebijakan sebelumnya langsung dirubah total. Parlemen juga gagal dalam menyusun undang-undang baru hal ini menyebabkan parlemen mendapatkan cap sebagai komedi omong dari rakyat. Hal tersebut membuat Presiden Sukarno menjadi geram dan akhirnya mengeluarkan dekrit yang berisi pembubaran Parlemen.

Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit presiden hal ini menandakan dimulainya Demokrasi Terpimpin kemudian dilanjutkan dengan Pembubaran konstituante dan penggunaan dekrit presiden pada 5 Juli 1959 untuk memusatkan kekuasaan pada sosok Presiden Sukarno, hal ini  menjadi bukti nyata dari sentralisasi kekuasaan, sentralisasi kekuaasan ini menyebabkan Otoritarianisme yang ditandai dengan pemberedelan pers, intimidasi lawan politik, dan beroposisi / kritik pada pemerintah menjadi semakin sulit. Hal ini tentu dianggap sebabagi bentuk pengekangan demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun