Mohon tunggu...
Amani Khalila
Amani Khalila Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Psikologi, Universitas Al-Azhar Indonesia

Love writing & coffe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dibalik Keputusan Childfree Gitasav: Psikologi dan Faktor Behaviorisme yang Mempengaruhinya

19 Juli 2024   10:50 Diperbarui: 19 Juli 2024   11:32 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Childfree menjadi kontroversi di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan pemikiran masyarakat Indonesia yang sebagian besar berpendapat bahwa tujuan pernikahan adalah mempunyai anak. Tanaka & Johnson seperti dikutip Miwa dkk mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang digolongkan sebagai negara yang mendukung adanya kelahiran anak dengan tingkat kelahiran sebesar 2.261 dan kehadiran anak adalah hal penting dalam perkawinan menurut 93% masyarakat Indonesia. 

Kali ini ada salah satu tokoh public yang menyuarakan pilihannya untuk childfree. Perempuan yang akrab disapa Gitasav ini yang berasal dari Aceh diketahui merupakan seorang Youtuber, penulis buku, sekaligus juga penyanyi. Gitasav sudah beberapa kali menjadi trending topik media sosial karena menyuarakan isu-isu hangat yang berkembang di masyarakat. Gita Savitri kembali ramai menjadi perbincangan publik karena opininya yang dinilai cukup kontroversial yaitu tentang pilihannya untuk childfree. 

Gitasav sempat mengatakan di sosial medianya bahwa childfree membuat awet muda dan tujuan ia untuk menikah bukan untuk memiliki anak. Banyak sekali yang bertanya-tanya apa yang membuat Gitasav yakin memilih keputusannya untuk childfree, dan faktor apa yang menyebabkannya? Ada 2 faktor yaitu psikologi dan aspek kepribadian behaviorisme.

Faktor Psikologis

Psikologi memainkan peran penting dalam hampir semua keputusan yang kita buat, mulai dari yang kecil dan sepele hingga yang besar dan life-changing, yang berarti keputusan untuk childfree juga pengaruh psikologis.

Secara psikologis ada ketidakpastian dan ketakutan akan tanggung jawab, beberapa individu mungkin merasa tidak siap atau tidak mampu bertanggung jawab untuk mengasuh anak. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa kecil yang negatif, kekhawatiran tentang stabilitas keuangan, atau keraguan tentang kemampuan mengasuh.

Ketakutan akan perubahan gaya hidup yang diartikan memiliki anak dapat membawa perubahan signifikan pada gaya hidup, seperti pengurangan waktu luang, keterbatasan finansial, dan berkurangnya spontanitas. Ketakutan akan persalinan dan pengasuhan juga berdasarkan jurnal "Childfree by Choice" 72% wanita childfree melaporkan ketakutan akan persalinan dan pengasuhan sebagai faktor utama dalam keputusan mereka.

Ada juga yang ingin fokus pada pengembangan diri dan karir yang ambisius, mereka mungkin memilih childfree untuk menghindari gangguan dan tanggung jawab yang datang dengan memiliki anak. Bagi beberapa individu, childfree merupakan pilihan untuk menikmati kebebasan dan kemandirian yang lebih besar dalam hidup mereka. Mereka mungkin ingin fokus pada hobi, perjalanan, atau mengejar minat pribadi tanpa batasan yang datang dengan memiliki anak.

Dan individu yang memiliki riwayat masalah kesehatan mental atau fisik mungkin memilih childfree untuk menghindari potensi stres dan tekanan yang dapat ditimbulkan oleh pengasuhan anak. Pandangan dan keyakinan pribadi serta ketidakpercayaan pada dunia, beberapa individu mungkin memiliki pandangan negatif terhadap dunia dan masa depan, dan mereka tidak ingin membawa anak ke dunia yang penuh dengan masalah dan ketidakpastian.

Lalu ketidakyakinan tentang peran gender tradisional ada individu yang tidak setuju dengan peran gender tradisional mungkin memilih childfree untuk menghindari ekspektasi dan tekanan sosial untuk memiliki anak dan menjadi orang tua. Dan keyakinan tentang populasi berlebihan,  individu mungkin memiliki keyakinan tentang populasi yang berlebihan dan dampaknya terhadap lingkungan, sehingga mereka memilih childfree untuk membatasi populasi manusia.

Mungkin para orang tua memiliki trauma masa lalu dan pengalaman negatif, individu yang memiliki pengalaman masa kecil yang traumatis terkait dengan pengasuhan anak atau hubungan keluarga yang disfungsional mungkin memilih childfree untuk menghindari mengulangi pola negatif tersebut.

Ketakutan akan mewariskan masalah mental individu dengan riwayat masalah kesehatan mental mungkin khawatir mewariskan kondisi tersebut kepada anak-anak mereka, sehingga mereka memilih untuk childfree. Yang terakhir pengalaman negatif dengan anak-anak seperti pelecehan atau pengabaian, dapat menyebabkan individu mengembangkan ketakutan atau kebencian terhadap anak-anak, sehingga mereka memilih childfree.

Faktor Aspek Kepribadian Behaviorisme

Selanjutnya yang mempengaruhi keputusan pilihan untuk childfree adalah aspek kepribadian behaviorisme. Behaviorisme adalah aliran yang berfokus pada perilaku yang dapat diamati dan diukur, dan bagaimana perilaku tersebut dipelajari dan dimodifikasi melalui interaksi dengan lingkungan. Aliran ini menekankan pada faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku, seperti penguatan, hukuman, dan stimulus. Menurut behaviorisme, keputusan childfree berdasarkan prinsip-prinsip belajar dan pengkondisian.

Penguatan dan hukuman yaitu ketidakhadiran penguatan positif individu childfree mungkin tidak merasakan pengalaman positif yang kuat terkait dengan memiliki anak, seperti kebahagiaan, kebanggaan, atau rasa terpenuhi. Sedangkan kehadiran penguatan negatif individu mungkin mengalami pengalaman negatif yang terkait dengan memiliki anak, seperti stres, tanggung jawab finansial, atau keterbatasan waktu luang.

Dan hukuman ketakutan akan konsekuensi negatif dari memiliki anak, seperti persalinan yang sulit, masalah kesehatan anak, atau keretakan hubungan, dapat mendorong individu untuk memilih childfree.

Dalam pengkondisian klasik terhadap asosiasi negatif adalah  pengalaman masa kecil yang negatif terkait dengan anak-anak, seperti pengasuhan yang kasar atau trauma, yang dapat memicu asosiasi negatif dengan memiliki anak di masa depan. Ada juga stimulus yang memicu faktor-faktor eksternal, seperti melihat anak-anak yang rewel di tempat umum, dapat memicu kecemasan atau stres pada individu childfree, memperkuat pilihan mereka untuk tidak memiliki anak. 

Ada juga pengkondisian operan yang melakukan penguatan perilaku childfree pada lingkungan sosial yang mendukung pilihan childfree dapat memperkuat perilaku ini melalui penguatan positif, seperti pujian, penerimaan, atau rasa hormat. Bisa terjadi juga karena hukuman perilaku memiliki anak seperti stigma sosial atau tekanan dari keluarga untuk memiliki anak dapat bertindak sebagai penguat negatif, mendorong individu untuk memilih childfree.

Terdapat pembelajaran observasional untuk melihat model childfree, Terkadang individu yang memilih untuk childfree mungkin terinspirasi oleh teladan orang lain yang telah memilih childfree, dan mereka mungkin meniru perilaku dan keyakinan mereka. Dan menghindari model orang tua, individu childfree mungkin secara tidak sadar menghindari meniru perilaku orang tua yang mereka anggap tidak ideal atau tidak bahagia.

Dalam sudut pandang agama islam, tujuan pernikahan sendiri adalah salah satu cara untuk meneruskan keturunan. Childfree dianggap bertentangan dengan tujuan ini. Terdapat juga di dalam hadis Nabi, ada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk memiliki banyak keturunan. Dan juga tanggung jawab terhadap umat, umat islam memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan agama islam. Childfree dikhawatirkan dapat menyebabkan berkurangnya jumlah umat islam di masa depan. Yang berarti agama islam tidak menganjurkan kita untuk memilih keputusan childfree.

Referensi : 

Friedman, H.S., & Schustack, M.W. (2006). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. (Edisi Ketiga Jilid 1). Jakarta: Erlangga.

Sapinatunajah, P., & Nasichah, N. (2022). Analisis Content Influencer Gitasav Pada Statement "Childfree" Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS), 2(1), 180-186.

Staats, A. W. (1993). Personality theory, abnormal psychology, and psychological measurement: A psychological behaviorism. Behavior modification, 17(1), 8-42.

Agrillo, Christian, dan Cristian Nelini. "Childfree by choice: A review." Journal of Cultural Geography 25, no. 3 (2008): 347--63. https://doi.org/10.1080/08873630802476292

Berry, J. W., Worthington, E. L., Parrott, L., O'Connor, L. E., & Wade, N. G. (2001). Dispositional forgivingness ; Development and construct validity of the Transgression Narrative Test of Forgivingness (TNTF). Personality and Social Psychology Bulletin , 1277-1290.

Blackstone, D. A. (2019). Childfree by choice : the movement redefining family and creating a new age of independence. New York: Penguin Random House LLC.

Flake, J. K., Pek, J., & Hehman, E. (2017). Construct validation in social and personality research: Current practice and recommendations. Social Psychological and Personality Science, 8(4), 370-378.

Anjani, Z. N. (2022). Childfree dalam perspektif Maqasid Al-Syari'Ah dan feminisme (pandangan dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga) [Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]. Repositori UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun