Ingat bingar petani porang di kampung kembali menggeliat pasca hujan deras yang dalam beberapa hari terakhir terus mengguyur.
Hujan yang mengguyur tiada henti seakan-akan membuat batin semua petani yang ada dag dig dug, alias galau karena terpaksa berjarak sebentar dengan lahan-lahan yang baru saja sudah dihijaukan oleh tanaman porang tersebut.
Oleh karena itu, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang petani porang milenial di atas pasca hujan kemarin kembali nge-gas, menyisir seluruh area porang sambil mengevaluasi keadaan yang terjadi.
Untuk diketahui, sebagian besar pola tanam yang berlaku masih menganut sistem lama. Alias yang penting lahan kosong masih ada dan langsung siap ditanam sambil menghitung-hitung waktu panen tiba.
Biasanya, umbi porang mulai dipanen ketika berusia dua tahun ataupun lebih tergantung dari usia bibit yang ditanam serta proses tanam dan perawatannya.
Sehingga sentuhan-sentuhan dari pola baru ke arah yang lebih modern ataupun sekelas budidaya tampaknya masih absen.
Hal ini bukan tanpa alasan, yakni selain sifat dari tanaman ini yang cukup adaptif dengan struktur atau topografi tanah yang ada, iklim yang ada juga tersebab oleh keyakinan petani akan tingkat kesuburan tanah yang masih alami dan terjaga.
Selain itu juga yang paling besar pengaruhnya adalah berguru pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, yaitu, beberapa petani sempat dijuluki sebagai miliarder berkat panen Porang yang ada, meskipun kala itu harga porang masih bercokol pada angka-angka yang relatif kecil.
Sedangkan motivasi lainnya yang paling termutakhir ialah, ihwal mewabahnya tren-tren nge-konten, menyebabkan hampir semua petani sangat rajin berkebun, biar ikut-ikutan nge-trend di medsos. Mereka tidak hanya menaruh perhatian penuh pada kebun porangnya juga memantik perhatian publik digital terkait aktivitas kesehariannya yakni berkebun.
Itulah sekiranya beberapa motivasi dasar dari petani untuk semakin bersemangat untuk terus menanam Porang.