Bukan orang Indonesia namanya kalau kita sudah 'minggat' dari fenomena-fenomena yang berbau takhayul atau mistis. Nih, salah satunya yang paling fenomenal adalah atraksi pawang hujan.
Mendengar atau membaca istilah Pawang Hujan, tentu memori kita langsung tertuju pada aksi Mba Rara yang pernah mengguncang jagad maya dan juga dunia internasional sekaligus.Â
Karena aksinya kala itu dipertontonkan secara langsung oleh masyarakat internasional yang hadir saat race MotoGP di sirkuit Mandalika yang lalu.Â
Saat itu, aksinya jauh lebih seru ketimbang kompetisi Quartararo vs Mac Marquez dan para rider lainnya.
Terkait dengan atraksi pawang hujan, sejatinya sudah sangat akrab dalam kebiasaan hidup masyarakat Indonesia. Lebih-lebih yang masih memegang teguh adat-istiadat setempat.Â
Sebagaimana halnya dalam konteks kebiasaan masyarakat Manggarai, tradisi pawang hujan sampai dengan era modern sekarang masih tetap eksis untuk dipraksiskan.
Istilah 'Toka Usang'
Istilah Pawang Hujan dalam Bahasa Manggarainya dikenal dengan nama 'toka usang'.Â
Toka berarti sebuah aksi menangkal atau menangkis supaya hujan tidak turun atau mengguyur. Dalam hal ini aktornya adalah seseorang yang memang diyakini mempunyai pengalaman khusus dan memiliki jurus jitu dalam hal menangkal hujan.
Ada beragam konteks di mana aksi Toka tersebut mesti dilakukan, yaitu ketika memulai musim tanam dan mengetam di sawah, menyelenggarakan sebuah acara penting dan lain sebagainya.Â
Khusus pada bulan April ini, kondisi iklim khususnya yang ada di wilayah Manggarai saat ini masih diguyuri oleh hujan deras bahkan angin kencang.Â
Kondisi ini tentu sangat mencemaskan bagi semua petani, apalagi bagi petani sawah yang hampir atau sudah mau mengetam padi di sawah.
Mengetam padi memang membutuhkan kondisi alam yang cerah, sebab kalau tidak, bisa-bisa jadi gagal panen.Â
Menghadapi situasi batas ini, maka tak pelak, Toka Usang' adalah alternatif yang mutlak untuk dilakukan.Â
Syarat dan Aturan praktik 'Toka Usang'
Supaya praktik ini 'berhasil' ada banyak cara dan syarat yang mesti dilakukan, baik itu oleh sang Pawang/ Toka sendiri maupun dari warga petani yang lainnya.Â
Pertama, harus benar-benar yakin atau tanpa adanya keraguan.
Kedua, peralatan Toka wajib disiapkan tanpa ada yang tertinggal atau belum ada. Seperti: tembakau rokok, linggis, garam kasar, jerami atau rumput-rumput kering ataupun yang masih basah, kayu bakar dan juga batu asah.
Ketiga, syarat yang mutlak dipenuhi oleh seorang Toka adalah dia sendiri selama menjalani ritual tersebut tidak boleh tersentuh air sama sekali seperti mandi ataupun kecebur di sungai. (Syarat yang paling serem nih, heu-heu).Â
Dia sebisa mungkin selalu berada di sekitar tungku api, menjaga supaya api selalu menyala dan mengeluarkan asap yang mengepul ke angkasa. Sampai-sampai dewa/Dewi pembawa hujan benar-benar kabur dari singgasananya.
Dalam praktiknya, si tuan Toka mulai melakukan jurus-jurus jitunya seperti membakar linggis dan Batu asah.Â
Ataupun juga dengan merokok secara non-stop dengan tembakau yang sudah dijampi-jampi, kemudian mengepulkan asapnya ke arah di mana langit mulai tampak gelap atau mau turun hujan.Â
Ataupun juga dengan cara membakar garam kasar pada tungku api yang sudah disediakan secara terus-terusan.
Alhasil, selama kurang lebih tiga hari yang lalu hingga hari ini, cuaca lumayan sedikit agak cerah. Yakni; mulai dari pagi hari sampai sekitar pukul 13.00 siang.
Ini merupakan 'fakta' yang berbeda dari sebelumnya, di mana matahari tidak pernah nongol sama sekali dari permukaannya.
Melihat situasi ini, tak ayal masyarakat pun mulai bereuforia dan mengapresiasi si tuan Toka atau Pawang dalam berbagai bentuk seperti, menyediakan lauk nasi yang hampir mencakupi 4 sehat 5 sempurna untuknya, berupa daging atau ikan yang sangat khusus untuknya. Stok rokok yang selalu stabil hingga jatah padi disiapkan secara khusus untuknya. Sangat istimewa, bukan.
Akan tetapi bila aksinya tidak 'berhasil' sama sekali, bersiap-siap si tuan Toka untuk mencurigai, kalau-kalau saja ada yang tengah melanggar syarat atau aturan mutlak yang sudah ditentukan dari awal.Â
Jadi, demikianlah fenomena aksi Pawang Hujan atau 'Toka Usang' di Manggarai khususnya menjelang musim mengetam padi saat ini, dengan hujan sebagai penantangnya.Â
Sekalipun zaman terus berubah berikut dengan peradaban manusia hingga di era modern yang penuh dengan pengaruh sains, ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi yang mengedepankan sisi rasionalitas dan bukti empiris, masyarakat kampung pun tetap pada kebajikan budayanya seperti 'Toka Usang' salah satunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H