Atau mungkin juga tersebab menguatnya asumsi 'nakal' lainnya yakni yang  namanya guru agama pasti sangat mapan sekali dalam memahami tema-tema  kebaikan dan keburukan, tentang etika dan norma kehidupan, tentang dosa, surga dan neraka dan sebagainya.
Namun, apapun motif dibalik penentuan ini, sebagai pribadi yang dalam bahasa Tan Malaka yakni TERBENTUR, TERBENTUR, TERBENTUR Dan TERBENTUK. Tentu saya  menerimanya dengan segenap hati dan pikiran, sekaligus sebagai sebuah pengalaman dan tantangan baru khususnya selama perjalanan pengabdian saya sebagai guru di sekolah.
Hal ini selaras dengan prinsip saya yakni apapun tugas yang diamanatkan, tentunya harus ditunaikan semaksimal mungkin, sembari terus belajar untuk kemudian mampu menimba hikmah di balik tugas tersebut.
Lalu bagaimana dengan konteks penanganan kasus kekerasan yang terjadi di sekolah?
Berkaca pada realitas persekolahan kami dengan kategori pelosok atau di luar kota, tentunya memiliki sebentuk tindakan kekerasan yang kerap terjadi khususnya antar siswa di sekolah.
Salah satu yang paling sering terjadi adalah perundungan atau bullying. Persoalan bullying ini telah mewarnai keseharian siswa dan siswi khususnya dalam berelasi satu sama lain.Â
Modusnya pun beragam, misalnya dengan berteriak-teriak keras menyebut nama orang lain dengan tujuan untuk membuatnya malu atau salah tingkah di hadapan mereka.Â
Ataupun mengucilkan teman yang memiliki bentuk tubuh 'aneh' (seperti pendek, kepala lonjong dan sebagainya). Atau juga mengolok-olok sesama siswa hingga membawa-bawa nama orang tua atau latar belakang suku atau marganya.
Ironisnya, perlakukan ini tidak hanya kepada sesama siswa, melainkan juga untuk guru-guru tertentu. Misalnya, guru matematika yang memiliki postur tubuh kecil dan pendek langsung diberikan julukan yang menggelitik seperti 'pa/bu guru kuntet' dan sebagainya.
Dan masih banyak jenis perundungan lainnya yang selalu meresahkan lembaga pendidikan khususnya yang berada di pelosok daerah.