Sejak ditegakkannya peraturan menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Sekolah. Maka pada pertengahan semester yang lalu, saya dan beberapa teman guru ditunjuk secara khusus oleh sekolah untuk menjadi tim PPKS di lingkungan sekolah tempat saya mengabdi.
Adapun alasan mendasar diterbitkannya Permendikbudristek tersebut ialah: bahwasanya perilaku kekerasan dan kejahatan kerap terjadi di lingkungan sekolah.
Ada banyak jenis kekerasan yang terus-menerus terjadi yakni kekerasan seksual, perundungan (bullying), kekerasan fisik hingga diskriminasi dan intoleransi. (ditpsd.kemdikbud.go.id)
Dikutip dari detik.com menunjukkan bahwa berdasarkan data dari Asesmen Nasional Kemendikbudristek tahun 2023, terdapat 34,51 persen peserta didik yang berpotensi mengalami kekerasan seksual. Di samping itu, ada 26,9 persen peserta didik lain yang berpotensi mengalami kekerasan fisik. Selain itu, 36,31 anak didik berpotensi mengalami perundungan.
Dengan melihat realitas tersebut, maka sudah sepatutnya lah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKS di terbitkan, tujuannya ialah untuk menjaga seraya memulihkan marwah lingkungan sekolah yang sejuk dan bebas dari kekerasan.
Pengalaman Menjadi Tim PPKS
Sebagaimana kriteria guru yang 'layak' untuk berada bersama di dalam Tim PPKS adalah yang mengampu mata pelajaran agama dan bimbingan konseling di sekolah. Sedangkan selebihnya sebagai partner adalah guru yang mengampu mapel lainnya.
Dengan demikian secara otomatis saya terpilih tersebab sebagai salah satu guru yang mengajarkan mata pelajaran agama di sekolah.Â
Sekalipun saya masih bertanya-tanya terkait alasan di balik keharusan tersebut untuk masuk menjadi Tim PKKS, khusus saya sebagai guru agama di sekolah. Entahlah!
Barangkali hanya karena anggapan bahwa guru agama itu satu-satunya guru yang 'suci' di sekolah. Jika memang demikian, maka saya pasti auto mundur seketika. Ini sudah lebih dari diskriminasi soal keprofesian di sekolah.
Atau mungkin juga tersebab menguatnya asumsi 'nakal' lainnya yakni yang  namanya guru agama pasti sangat mapan sekali dalam memahami tema-tema  kebaikan dan keburukan, tentang etika dan norma kehidupan, tentang dosa, surga dan neraka dan sebagainya.
Namun, apapun motif dibalik penentuan ini, sebagai pribadi yang dalam bahasa Tan Malaka yakni TERBENTUR, TERBENTUR, TERBENTUR Dan TERBENTUK. Tentu saya  menerimanya dengan segenap hati dan pikiran, sekaligus sebagai sebuah pengalaman dan tantangan baru khususnya selama perjalanan pengabdian saya sebagai guru di sekolah.
Hal ini selaras dengan prinsip saya yakni apapun tugas yang diamanatkan, tentunya harus ditunaikan semaksimal mungkin, sembari terus belajar untuk kemudian mampu menimba hikmah di balik tugas tersebut.
Lalu bagaimana dengan konteks penanganan kasus kekerasan yang terjadi di sekolah?
Berkaca pada realitas persekolahan kami dengan kategori pelosok atau di luar kota, tentunya memiliki sebentuk tindakan kekerasan yang kerap terjadi khususnya antar siswa di sekolah.
Salah satu yang paling sering terjadi adalah perundungan atau bullying. Persoalan bullying ini telah mewarnai keseharian siswa dan siswi khususnya dalam berelasi satu sama lain.Â
Modusnya pun beragam, misalnya dengan berteriak-teriak keras menyebut nama orang lain dengan tujuan untuk membuatnya malu atau salah tingkah di hadapan mereka.Â
Ataupun mengucilkan teman yang memiliki bentuk tubuh 'aneh' (seperti pendek, kepala lonjong dan sebagainya). Atau juga mengolok-olok sesama siswa hingga membawa-bawa nama orang tua atau latar belakang suku atau marganya.
Ironisnya, perlakukan ini tidak hanya kepada sesama siswa, melainkan juga untuk guru-guru tertentu. Misalnya, guru matematika yang memiliki postur tubuh kecil dan pendek langsung diberikan julukan yang menggelitik seperti 'pa/bu guru kuntet' dan sebagainya.
Dan masih banyak jenis perundungan lainnya yang selalu meresahkan lembaga pendidikan khususnya yang berada di pelosok daerah.
Terkait kekerasan seksual yang selalu terjadi juga adalah seperti menyebutkan bagian-bagian tubuh yang sensitif dari siswa lain hingga dengan sengaja sampai menyentuhnya. Pihak yang selalu menjadi korbannya adalah perempuan atau siswi di sekolah.
Salah satu kebiasaan lainnya yang kerap memunculkan tindakan kekerasan yang ekstrim adalah masih menguatnya sistem senioritas di sekolah.
Yang kakak kelas selalu menindas adik-adik kelasnya dengan macam-macam tindakan. Seperti wajib tunduk dan memberikan salam yang sopan dengan kakak-kakak kelas, dan lain sebagainya.
Pola relasi ini kerap memicu perkelahian yang sengit dan tak henti-hentinya kantor sekolah selalu sibuk mengurusi persoalan demikian.
Lalu sebagai tindakan pencegahannya pun hanya dibebankan kepada guru tertentu saja. Dalam hal ini kerap dibebankan kepada guru bimbingan konseling saja. Sehingga tak jarang, ketika persoalan serupa terjadi maka pihak pertama yang disalahkan itu pasti guru bimbingan konseling nya, berikut baru sesama guru lainnya.
Aksi Nyata Setelah menjadi TPPKS.
Sebelumnya, saya sendiri patut memberikan apresiasi kepada menteri pendidikan sendiri yang telah dengan sigap mengeluarkan peraturan yang tegas untuk mencegah dan menanggulangi segala jenis tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Melalui tim kecil ini, saya dengan beberapa guru lainnya, langsung melakukan aksi nyata.
Kehadiran kami sebagai tim PPKS sejatinya berpihak kepada korban.
Untuk memulihkan rasa dan perasaan kepercayaan diri mereka, dan membuat mereka merasa diterima dan berekspresi dengan bebas.
Pertama-tama yang kami lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi. Melalui sosialisasi ini kami diberikan waktu secara khusus untuk bertemu muka dengan semua siswa dan siswi di sekolah.
Berbagai materi tentang kekerasan dan akibat yang terjadi di balik itu. Lalu akar-akar munculnya kekerasan seperti tidak menghargai perbedaan atau melihat orang lain sebagai obyek.
Melengkapi materi sosialisasi kami menyertakan pula berbagai video atau gambar menyangkut perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah lainnya yang sempat viral di sosial media.
Sebagai tindak lanjut dari sosialisasi ini adalah kami melakukan survei dengan menyiapkan beberapa pertanyaan pada lembaran kertas lalu meminta seluruh peserta didik yang ada untuk mengisikannya sesuai dengan kenyataan yang mereka alami khususnya terkait relasi yang mereka jalani di sekolah.
Kejujuran adalah syarat mutlak dalam mengisinya.  Artinya, semua peserta didik harus mengisi kuesioner yang kami sediakan dengan jujur tanpa adanya intervensi dari pihak lain.
Adapun tujuan dari pengisian ini adalah untuk memudahkan kami sebagai tim dalam mendeteksi terjadinya kekerasan dan untuk memudahkan kami dalam meninjau seberapa kritisnya perilaku kekerasan yang dialami oleh pihak korban.
Sebelum membiarkan siswa dan siswi mengisikannya, terlebih dahulu kami bangunkan sebuah kesadaran yang sederhana sehingga memudahkan mereka merasakan diri sebagai korban.
Yakni, ketika dalam berelasi dengan sesama mulai muncul perasaan tidak aman akibat ulah atau perilaku dari seorang sahabat maka mulai di situlah Anda telah menjadi korban.
Selanjutnya adalah tugas kami sebagai tim untuk merekap penilaian terhadap masing-masing peserta didik lalu menghitung tingkat persentase kerentanan kekerasan yang terjadi di sekolah. Dan persentase banyaknya korban yang ada selama ini.
Lalu setelahnya, kami akan melakukan bimbingan secara khusus bagi pihak yang m mengalami korban.
Penting juga dalam aksi yang kami lakukan adalah dukungan penuh dari berbagai pihak mulai dari orang tua siswa hingga semua elemen sekolah.
Demikianlah secuil pengalaman ketika menjadi TPPKS. Semoga saja, pengalaman perdana ini akan membuahkan hikmah yang berlimpah.
Salam, sekolah bebas dari kekerasan!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H