Hari-hari ini, publik Indonesia dihebohkan oleh isu politik dinasti yang dipertontonkan dari penguasa tertinggi di Indonesia. Bagaimana tidak, munculnya praktik politik dinasti ini sejatinya sangat bertolak belakang dengan status Indonesia sebagai negara yang menganut demokrasi.Â
Tidak hanya deretan elit tertinggi yang ribut berdebat soal ini melainkan juga warga akar rumput pun turut menggerutu dan menolak secara keras terkait munculnya praktik politik dinasti ini.
Jika disimak hingga ke inti argumentasi penolakan, warga kelas bawah justru lebih agresif dalam melontarkan kata-kata penolakan.Â
Hal ini bukan atas dasar memadainya pengetahuan politik yang mereka ilhami melainkan atas dasar kekecewaan yang dialami oleh masyarakat terkait perubahan sikap sang penguasa.
Setelah hampir dua periode yang ditempuh, bantuan demi bantuan berupa BLT, Bansos dan lain sebagainya telah sukses melangitkan nama sang pemimpin. Sehingga yang terpampang di dalam benak hanyalah sederetan pujian terhadap sang pemimpin.Â
Namun, begitu isu politik dinasti mencuat, semuanya hancur total. Tak ada lagi pujian kebesaran, melainkan sebaliknya yakni pencemoohan.
Publik akar rumput pun telah kehilangan rasa kepercayaan terhadap sang pemimpin. Inilah realitas yang ditampilkan. Bukan karena kekecewaan tersebab bantuan yang kemungkinan besar tidak didapatkan kembali, melainkan perilaku busuk dari sang pemimpin sebut saja terhadap presiden Jokowi.Â
Politik dinasti sejatinya telah lama mengakar di Indonesia. Cara membuktikannya pun sederhana yakni hampir di setiap jabatan pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah, mulai dari presiden hingga kepala desa semua posisi strategis di dalamnya hampir selalu diisi atas dasar relasi kekeluargaan, kawan dekat dan sebagainya walaupun tanpa dibuktikan dengan kecakapan yang mumpuni selama berkiprah.Â
Ini semacam membangun sebuah istana kecil di tengah ancaman kemiskinan. Sayangnya praktik tersebut justru bertumbuh subur di sebuah negara yang demokratis.
Perilhal terdalam dari politik dinasti adalah ketamakan dan kerakusan dari sang penguasa itu sendiri. Ia tidak ingin kehilangan pamornya sebagai penguasa tertinggi dan serentak semua posisi strategis diambilnya demi status kekuasaan yang diraihnya.
Dengan begitu, maka kebaikan bersama jelas semakin jauh dari panggang api. Yang terjadi justru sebaliknya yakni kehancuran untuk semua dan kemakmuran untuk kaum tertentu. Jelas ini bertolak belakang dengan asas demokrasi dari sebuah negara layaknya Indonesia.
Lantas bagaimana sebaiknya?Â
Mau tidak mau politik dinasti mesti dilawan. Cara melawannya pun dapat ditempuh melalui pelbagai jalan diantaranya;Â
Pertama, melalui kritik. Kritik merupakan sebuah instrumen pengimbang di dalam sebuah negera setingkat demokrasi. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memberikan kritik asalkan kritis.Â
Hari ini perpolitikan dunia tidak terlepas dari perkembangan teknologi seperti halnya media sosial. Media sosial sudah semestinya dijadikan sarana untuk menyalurkan kritik terhadap penguasa.Â
Kedua, perlu dukungan dari semua orang yang memahami sungguh-sungguh terkait dengan hakikat demokrasi. Dukungan tersebut mampu diwujudkan melalui pembentukan organisasi massa dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Juga penting dalam hal ini adalah dukungan dari dunia internasional.Â
Bagaimanapun juga, dengan adanya sebentuk dukungan ini mampu menjaga stabilitas sebuah negara sehingga sedini mungkin mampu mencegah bercokolnya politik dinasti.
Itulah sekurang-kurangnya sebentuk upaya perlawan yang mesti dikedepankan dalam menentang adanya praktik politik dinasti yang mengemuka saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H