Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Anak-anak Dilatih Berbahasa Indonesia sejak Dini?

15 Desember 2022   16:05 Diperbarui: 15 Desember 2022   16:16 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bahasa Ibu (Sumber: Reviens.id) 

Sudah pasti di antara kita ketika membaca judul tulisan di atas sontak menjawab 'Ya memang harus'. Lalu dikuatkan dengan berbagai argumen yang muncul, seperti supaya anak-anak mulai mengenal sedini mungkin pengetahuan tentang nasionalisme terutama dalam hal penggunaan bahasa nasional, dan argumen serupa lainnya dengan maksud untuk mementalkan pernyataan pada judul tulisan saya ini.

Dan memang saya pun termasuk orang yang mendukung pernyataan bahwa anak-anak terkhusus yang berusia balita dan yang berusia Sekolah Dasar yang nota bene sudah mulai belajar untuk berbicara atau berkomunikasi dengan orang-orang sekitar wajib diajarkan untuk berbicara dengan bahasa nasional. Supaya selain jiwa nasionalisme tertanam sejak dini juga agar kelak ketika mulai bersekolah, bahasa nasional tidak asing lagi bagi mereka. 

Akan tetapi, semua argumen tersebut tentu sangatlah masuk akal bila konteks kehidupan anak-anak yang dimaksud adalah di lingkungan yang memang bahasa nasional (terlepas dari baku dan tidaknya) dijadikan sebagai bahasa keseharian dari masyarakatnya. 

Sebut saja itu di Jakarta, Bandung, Labuan Bajo dan sebagainya yang telah dikategorikan sebagai lingkungan urban. Sekalipun terlepas dari model dialek atau gaya yang digunakan itu unik atau khas seturut corak wilayah masing-masing. 

Lain halnya bila konteks yang disandingkan itu justru di pelosok negeri atau di daerah-daerah pinggiran alias di wilayah perkampungan sebagaimana tempat tinggal saya, realitanya justru terbalik dengan argumen-argumen pendukung di atas. Untuk itulah, mengapa saya lebih memakai seruan 'haruskah' ketimbang 'perlukah', karena ada sesuatu yang terselubung di dalamnya. 

Beberapa Musabab

Ketika saya coba merenung dan mengkaji terkait ihwal ketidakmungkinan anak-anak kecil yang tinggal di pinggiran untuk berbahasa Indonesia sejak dini, musababnya adalah antara lain:

Mulai dari yang paling umum yakni: hampir secara keseluruhan realitas masyarakat yang tinggal dan hidup di pelosok negeri sangat kental dengan bahasa ibu. Bahasa ibu dijadikan sebagai instrumen satu-satunya yang selalu digunakan dalam pola hidup sehari-hari. Terutama dalam hal berelasi, berkomunikasi dan mengungkapkan eksistensi hidup.

Jadi, bagi siapa pun kaum urban yang ingin mengalami hidup di kampung, syarat utama yang wajib dilakukan adalah harus siap dan mampu untuk belajar dan beradaptasi dengan bahasa ibu atau lokal. Memaksa orang kampung untuk berbahasa Indonesia itu ibarat memindahkan air laut ke gunung.

Kemudian, peradaban masyarakat kampung yang menempatkan budaya atau kultur adat sebagai sesuatu yang paling superior, menjadikan bahasa ibu sebagai perantara yang paling mutlak dan sakral untuk digunakan. Belum pernah terjadi dalam sebuah penyelenggaraan ritus adat menggunakan bahasa nasional dalam hal ini bahasa Indonesia. Kalaupun dipaksakan justru merusak entitas budaya.

Dua hal umum ini paling tidak menguatkan argumen mengafirmasi pernyataan keharusan anak-anak untuk berbahasa Indonesia sejak dini di kampung.

Realitas yang Terjadi

Sedangkan terkait alasan khusus yang hendak saya tegaskan adalah berangkat dari realitas yang saya alami dan saksikan sendiri di kampung.

Gejala umum yang lumrah terjadi dan justru menciptakan persoalan terselubung bagi perkembangan sosial anak-anak di kampung yakni, ada penciptaan kompleks-kompleks tertentu. (Baca: pemukiman). Misalnya di sekitar lingkungan sekolah ada kompleks guru-guru. Atau di sekitar lingkungan rumah sakit (Puskesmas) ada kompleks bidan atau perawat. Jelas semua penghuninya adalah kaum-kaum 'bermerek' sama semua. Dan 'mereknya' itu sedikit tinggi dengan masyarakat luas yang ada di luar kompleks. Sekalipun semuanya sama-sama di kampung. 

kenyataan ini sebenarnya memang sangat tidak mengandung masalah sama sekali. 

Namun yang membuat saya sedikit gelisah dalam hal ini yaitu: kebiasaan dari kaum-kaum 'bermerek' tersebut terkesan 'mewajibkan' anak-anak mereka untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian.

 Entah itu di dalam kompleks tempat tinggal mereka sendiri juga ketika di luar kompleks alias ketika berbaur dengan anak-anak kampung kebanyakan. Boleh saja kebiasaan demikian merupakan hak dari masing-masing orang tua. 

Apalagi tujuannya adalah sangat 'mulia' yaitu menanamkan benih nasionalisme sejak dini. Atau mungkin tujuan terselubung lainnya biar kelihatan beda dengan anak-anak luar kompleks. Atau menganggap bahasa lokal (ibu) sebagai bahasa yang kolot dan gak laku. Atau mungkin Biar identitas kebermerekkan selalu menonjol di mana-mana. Barangkali tujuan-tujuan terselubung ini hanyalah konstruksi dari pikiran subyektif saya semata.

Namun ketika disandingkan dengan kenyataan yang terjadi justru semua maksud terselubung tersebut telah menampakkan diri yakni ketika anak-anak dari dalam kompleks tersebut mencoba berbaur dengan anak-anak kampung tulen. Misalnya ketika berkesempatan untuk bermain bersama. Saat inilah persoalan jadi muncul. 

Suatu kali saya pernah jumpai mereka ketika sedang bermain bola di lapangan mini di samping dapur rumah saya. Lalu tiba-tiba bola yang ditendang melambung dan menyangkut di atas pohon mangga. Lalu salah satu anak kompleks katakan" aduh, bolanya tersangkut di atas pohon".  Anak-anak yang lain pun tiba-tiba saja bermuka linglung. Mereka tidak tahu "pohon" yang dimaksudkan oleh si anak tadi. 

Lalu tiba-tiba saja mereka langsung membentak si anak tadi bahwa itu bukan pohon tapi haju (bahasa ibu: pohon atau kayu). Lalu si anak tadi pun langsung nangis dan malu dan seketika pulang ke rumahnya.

Lalu dalam kesempatan lain pun mulai terjadi pemisahan kelompok bermain. Yakni anak kompleks bermain bersama dengan sesama kawan kompleksnya, sedangkan anak-anak luar kompleks alias anak-anak kampung bermain dengan sesama latar belakang kaumnya. Musababnya ya tak lain selain karena perbedaan bahasa. Semacam ada rasa minder dan kurang diterima bila mereka saling bermain bersama. 

Dan tak jarang ketika mau bermain bersama, khususnya bermain bola kaki, yang terjadi adalah selalu sebelah-menyebelah. Sebelahnya anak-anak kaum bermerek dan sebelahnya anak-anak kampung tulen. Yang sebelah ngomongnya pakai bahasa Indonesia dengan dialek setempat sedangkan sebelahnya lagi mengoceh dengan bahasa ibu. 

Tensi permainan pun serasa Timnas tengah melawan klub Persipura. Kerap terjadi baku hantam dan ricuh. Ditambah lagi dengan buli-bulian yang justru menyulutkan tensi permainan. Lagi-lagi musababnya ya, karena soal berbahasa dan doktrin hidup yang berbeda.

Dampak yang Terjadi

Akibatnya pun jelas: 

pertama, relasi sosial anak-anak menjadi terhambat

kedua, anak-anak mulai diajarkan untuk memperkuat identitas sejak dini

Ketiga, anak-anak menjadi asing di lingkungan hidup mereka sendiri. 

Kenyataan seperti inilah yang selalu menggelisahkan alam pemikiran saya selama ini. Dan jelas di sini saya sangat tidak setuju bila anak-anak di kampung dipaksakan  berbahasa Indonesia sejak dini. Kasihan dengan perkembangan karakter Dan relasi sosial dari anak-anak itu sendiri.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun