Lalu dalam kesempatan lain pun mulai terjadi pemisahan kelompok bermain. Yakni anak kompleks bermain bersama dengan sesama kawan kompleksnya, sedangkan anak-anak luar kompleks alias anak-anak kampung bermain dengan sesama latar belakang kaumnya. Musababnya ya tak lain selain karena perbedaan bahasa. Semacam ada rasa minder dan kurang diterima bila mereka saling bermain bersama.Â
Dan tak jarang ketika mau bermain bersama, khususnya bermain bola kaki, yang terjadi adalah selalu sebelah-menyebelah. Sebelahnya anak-anak kaum bermerek dan sebelahnya anak-anak kampung tulen. Yang sebelah ngomongnya pakai bahasa Indonesia dengan dialek setempat sedangkan sebelahnya lagi mengoceh dengan bahasa ibu.Â
Tensi permainan pun serasa Timnas tengah melawan klub Persipura. Kerap terjadi baku hantam dan ricuh. Ditambah lagi dengan buli-bulian yang justru menyulutkan tensi permainan. Lagi-lagi musababnya ya, karena soal berbahasa dan doktrin hidup yang berbeda.
Dampak yang Terjadi
Akibatnya pun jelas:Â
pertama, relasi sosial anak-anak menjadi terhambat
kedua, anak-anak mulai diajarkan untuk memperkuat identitas sejak dini
Ketiga, anak-anak menjadi asing di lingkungan hidup mereka sendiri.Â
Kenyataan seperti inilah yang selalu menggelisahkan alam pemikiran saya selama ini. Dan jelas di sini saya sangat tidak setuju bila anak-anak di kampung dipaksakan  berbahasa Indonesia sejak dini. Kasihan dengan perkembangan karakter Dan relasi sosial dari anak-anak itu sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H