Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awasan Ketika Mengalami Kerumunan di Kampung

5 November 2022   14:17 Diperbarui: 5 November 2022   14:27 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret kerumunan Warga kampung di atas bagasi Oto kol, ketika terjadi seremoni adat perkawinan di Manggarai. (Kredit Foto: Facebook: Saverius) 

Salah satu kekayaan terbesar bangsa Indonesia adalah corak masyarakat yang suka hidup dalam kelompok atau berkomunitas. Dalam hidup berkelompok tersebut kerumunan sudah menjadi penampakan umum. Ada banyak momen atau event-event tertentu yang secara tidak langsung menciptakan kerumunan. Seperti konser akbar, ritual agama di jalanan, pertandingan sepak bola, iklan atau pameran produk-produk tertentu dan lain sebagainya.

Semua event tersebut sangat membutuhkan kerumunan atau kumpulan orang banyak. Sebab begitulah adanya, sama-sama saling membutuhkan. Relasi mutualisme sangat dimungkinkan terjadi. 

Mana mungkin iklan atau pameran produk terbaru tidak memerlukan orang banyak (konsumen). Atau pertandingan sepak bola kalau tidak ditonton orang banyak itu ibarat pisang yang tumbuh di daerah gurun. Dan contoh-contoh lainnya. hendak membuktikan bahwa kerumunan sejatinya sebuah fenomena logis dari corak hidup berkelompok.

Terlepas dari fenomena kerumunan tersebut di atas yang sangat kental dengan konteks urban (perkotaan), di kampung pun ternyata mengalami cerita atau hal yang serupa namun beda narasi. Masyarakat kampung (orang pinggiran) sejatinya sangat tak bisa lepas dengan yang namanya fenomena kerumunan. Atau saling berkerumun. 

Seperti: berkerumun di tempat jaringan (yang bisa berinternet), berkerumun ketika ada ritual adat atau seremoni tarian adat. Berkerumun ketika ada hajatan syukuran keluarga, pesta sekolah (mendukung anak sekolah yang hendak ke perguruan tinggi), berkerumun ketika ada turnamen bola voli atau bola kaki (biasanya dalam rangka memeriahkan hari raya agama atau hari raya Nasional) dan kerumunan-kerumunan lainnya.

Secara kasat mata, fenomena kerumunan ini ibarat ada gula ada semut. Di mana ada kerumunan di situ pasti ada sesuatu yang menarik. Akan tetapi dari hal atau sesuatu yang menarik ini justru bisa mendatangkan hal sebaliknya yang membuatnya tidak menarik lagi. Beberapa penyebab yang bisa ditilik secara langsung terkait hal-hal buruk yang terjadi seperti:

Pertama, yang namanya masyarakat kampung, di mana terjadi atau ada perkumpulan di situ pasti ada rokok dan sopi. Kenapa rokok dan tuak atau sopi? Yah barang-barang 'haram' ini sejatinya berdaya magnetis dalam setiap perkumpulan atau kerumunan orang banyak. Dan memang keduanya dalam konteks adat memiliki nilai magis tersendiri. Seperti sebagai sarana penyampaian adat, sebagai simbol pengungkap persatuan dan kebersamaan dalam konteks budaya. 

Misalnya ketika ada seremoni adat perkawinan yang mengundang banyak massa. Massa yang dimaksudkan adalah dua buah kubu keluarga sebagaimana dalam relasi adat Manggarai yaitu: anak rona (keluarga besar dari pihak wanita) dan anak wina (keluarga besar dari pihak laki-laki). Untuk diketahui seremoni ini hampir terjadi setiap tahun. Bahkan ketika pandemi kemarin, perkumpulan dalam bingkai seremoni adat ini terus dilakukan.

Mulai dari akomodasi pengangkutan biasanya menggunakan oto kol (truk kayu) semua keluarga yang datang dari jauh bahkan melintasi dua kabupaten (Manggarai Barat dan Manggarai Timur) semuanya membludak memenuhi setiap sisi oto kol tersebut. 

Ada yang duduk hingga berdesak-desakkan di bagian dalam, berdiri gantung di bagian bokong oto juga duduk manis dan berdesakkan di bagian atas oto kol tersebut. 

Biasanya yang duduk bagian dalam adalah mama-mama atau nona-nona manis atau anak kecil, sedangkan yang menggantung bagian belakang dan duduk manis di bagian bagasi adalah bapak-bapak dan anak muda. 

Terkhusus kaum bapak-bapak, mereka tidak hanya berdiri menggantung begitu saja atau duduk manis berkerumun begitu saja sambil menikmati asyiknya perjalanan yang penuh bebatuan, melainkan sambil menikmati berjerigen-jerigen tuak atau sopi dan berbungkus-bungkus rokok.

Mereka menikmati setiap alur perjalanan dengan menenggak sopi hingga berteriak-teriak menyanyikan lagu adat juga berdiri dan bergoyang sekalipun oto kol melaju dengan kencang. 

Fenomena seperti ini kelihatannya sangat lumrah dan biasa-biasa saja, sebagai bagian dari ekspresi budaya. Hingga tak disadari sebagai sebuah ancaman hidup yang menakutkan.

Pernah terjadi kejadian yang sangat fatal, di mana seorang om muda tengah asyik berdiri dan bergoyang di atas bagasi oto dengan membuka baju, seakan-akan tengah merayakan kemenangan yang besar. Ia melakukan itu ketika oto sedang berhenti sejenak. Namun, tanpa ia sadari oto tiba-tiba ngegas dan ia pun jatuh terpelanting dengan kepala tertancap di atas sebuah batu. Dan nyawa pun melayang seketika. Tragis dan seram bukan? Hingga kejadian ini terjadi, kapok dan tobat pun tak urung datang. 

Kedua, tuak atau sopi menjadi pisau peruncing situasi kerumunan ketika terjadi turnamen bola kaki dan bola voli di kampung. 

Ya, kerumunan dalam hal menonton pertandingan bola kaki tidak hanya seseram yang terjadi di Kanjuruhan dengan penyebab dan akibat yang terjadi. Juga di kampung pun situasi demikian juga terjadi sekalipun dengan kadar yang berbeda. 

Ya, setiap kali terjadi turnamen bola kaki dan bola voli yang menghadirkan semua pemain-pemain dari masing-masing kampung, kerumunan para penonton atau suporter pun membludak memenuhi bagian pinggir lapangan. ya maklum saja, stadion di kampung itu kondisinya sangat alamiah. 

Gerbangnya terdapat di segala lini dan tidak ada tribun khusus sebagai tempat duduk. Harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa menyaksikan jalannya pertandingan. Bahkan saking serunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir lapangan pun menjadi tribun pilihan. 

Jadi siapa saja dengan bebas menonton dan memberi dukungan kepada tim dari kampungnya masing-masing. Bahkan dengan segala bentuk fanatisme dukungan yang dilontarkan. Dan ini wajar-wajar saja.

Akan tetapi yang menjadi tidak wajar, ketika tuak atau sopi menjadi penyulut dalam fanatisme dukungan tersebut. Hingga hal yang paling ekstrimnya ketika 'manajer' mendoping para pemainnya dengan menenggak tuak atau sopi. 

Kalau sudah demikian, maka pertandingan sudah seperti Rusia VS Ukraina. Entah itu antara pemain dengan pemain, penonton dan pemain, penonton dengan wasit dan dengan-dengan lainnya. 

Dan kalau sudah begini, maka otomatis pelaku dan korban selalu ada. Semuanya saling beradu otot. Sekalipun tidak sampai mengorbankan nyawa. Namun bila dibiarkan terus maka peristiwa Kanjuruhan pun pasti akan terus berulang menghiasi wajah sepak bola kampung.

Anehnya kalau sudah terjadi baku pukul, selain memicu citra buruk di kampung lainnya, juga memunculkan kebanggaan tersendiri. Semacam sebuah prestasi tersendiri bagi yang berhasil menciptakan terjadinya pertikaian tersebut. Karena namanya sudah 'mendunia' di kampung. 

Sebagai Awasan

Oleh karena itu, melihat kedua fenomena tersebut, maka hal-hal berikut perlu dikaji sebagai awasan ketika suatu saat Anda dan kita pun turut bergabung dalam kerumunan di kampung.

Pertama, bangun kesadaran penuh bahwa saya sedang berada "di sini dan saat ini" dan di sekitarku banyak pribadi-pribadi lainnya. Terutama kesadaran akan tujuan dan inti dari kerumunan yang terjadi. 

Kedua, tidak langsung tergiur buta dengan aksi-aksi yang terjadi terutama di kampung, seperti minum tuak atau sopi dan rokok. Usahakan untuk pikiran selalu menaruh pikiran satu atau dua langkah ke depan.

Misalnya ketika ikut menenggak sopi, kira-kira setelah itu apa yang terjadi. Kalau baik-baik saja ya tidak apa-apa. Tapi kalau malah sebaliknya mending tidak usah nurut saja. 

Atau pikiran kita hendaknya selalu tertuju pada inti atau tujuan dari terciptanya kerumunan tersebut. Jangan sampai karena hal sepele, semuanya jadi berantakan dan batal seketika. Terutama yang berkerumun dalam kendaraan dan di lapangan ketika terjadi turnamen bola kaki. 

Ketiga, perhatian dan arahan dari para tetua adat dan pemangku kepentingan hendaknya selalu diutamakan. Karena nasihat atau petuah dari mereka sangat berguna bagi setiap orang yang turut ada.

Keempat, kalau sudah terjadi persilihan atau bentrok di tengah kerumunan, maka langkah selanjutnya ya langsung pulang saja. Atau menghindar dengan menarik diri dari kerumunan. Atau sebisanya langsung menghubungi pihak keamanan kalau memungkinkan.

Kelima, jika poin pertama di atas diwujudkan secara baik maka, hal negatif selanjutnya pasti dengan sendirinya terhindar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun