Biasanya yang duduk bagian dalam adalah mama-mama atau nona-nona manis atau anak kecil, sedangkan yang menggantung bagian belakang dan duduk manis di bagian bagasi adalah bapak-bapak dan anak muda.Â
Terkhusus kaum bapak-bapak, mereka tidak hanya berdiri menggantung begitu saja atau duduk manis berkerumun begitu saja sambil menikmati asyiknya perjalanan yang penuh bebatuan, melainkan sambil menikmati berjerigen-jerigen tuak atau sopi dan berbungkus-bungkus rokok.
Mereka menikmati setiap alur perjalanan dengan menenggak sopi hingga berteriak-teriak menyanyikan lagu adat juga berdiri dan bergoyang sekalipun oto kol melaju dengan kencang.Â
Fenomena seperti ini kelihatannya sangat lumrah dan biasa-biasa saja, sebagai bagian dari ekspresi budaya. Hingga tak disadari sebagai sebuah ancaman hidup yang menakutkan.
Pernah terjadi kejadian yang sangat fatal, di mana seorang om muda tengah asyik berdiri dan bergoyang di atas bagasi oto dengan membuka baju, seakan-akan tengah merayakan kemenangan yang besar. Ia melakukan itu ketika oto sedang berhenti sejenak. Namun, tanpa ia sadari oto tiba-tiba ngegas dan ia pun jatuh terpelanting dengan kepala tertancap di atas sebuah batu. Dan nyawa pun melayang seketika. Tragis dan seram bukan? Hingga kejadian ini terjadi, kapok dan tobat pun tak urung datang.Â
Kedua, tuak atau sopi menjadi pisau peruncing situasi kerumunan ketika terjadi turnamen bola kaki dan bola voli di kampung.Â
Ya, kerumunan dalam hal menonton pertandingan bola kaki tidak hanya seseram yang terjadi di Kanjuruhan dengan penyebab dan akibat yang terjadi. Juga di kampung pun situasi demikian juga terjadi sekalipun dengan kadar yang berbeda.Â
Ya, setiap kali terjadi turnamen bola kaki dan bola voli yang menghadirkan semua pemain-pemain dari masing-masing kampung, kerumunan para penonton atau suporter pun membludak memenuhi bagian pinggir lapangan. ya maklum saja, stadion di kampung itu kondisinya sangat alamiah.Â
Gerbangnya terdapat di segala lini dan tidak ada tribun khusus sebagai tempat duduk. Harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa menyaksikan jalannya pertandingan. Bahkan saking serunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir lapangan pun menjadi tribun pilihan.Â
Jadi siapa saja dengan bebas menonton dan memberi dukungan kepada tim dari kampungnya masing-masing. Bahkan dengan segala bentuk fanatisme dukungan yang dilontarkan. Dan ini wajar-wajar saja.
Akan tetapi yang menjadi tidak wajar, ketika tuak atau sopi menjadi penyulut dalam fanatisme dukungan tersebut. Hingga hal yang paling ekstrimnya ketika 'manajer' mendoping para pemainnya dengan menenggak tuak atau sopi.Â