Pertama kali saya berjumpa dengan  Kompasiana adalah pada tahun 2020. Waktu itu saya diajak oleh seorang Kompasioner muda yang cukup fenomenal dengan konten cengkeh dan pertaniannya. Beliau adalah Guido Areso (Nama Profil K-nya).Â
Ketika itu saya berkomentar pada salah satu artikel Cengkeh yang beliau share ke laman Facebook. Ya, waktu itulah bang Reba Lomeh (Nama K lainnya dari Guido Areso) secara langsung  mengajak saya untuk bergabung ke dalam rumah Kompasiana. Beliau juga yang mendaftarkan akun K saya dan mengasi tahu saya terkait syarat dan ketentuan konten yang layak masuk ke rumah Kompasiana.Â
Dan sejak itu saya pun dinobatkan sebagai kompasioner baru. Entah kenapa, sapaan Kompasioner ini menjadi candu tersendiri bagi saya untuk selalu menggores di kompasiana.Â
Sebelumnya memang saya merupakan salah satu pecinta Koran Harian Kompas ketika masih kuliah. Setiap hari saya memburu opini dan artikel bernas pada halaman koran tersebut. Karena bagi saya semua rubrikan yang termaktub di dalam harian Kompas itu jauh lebih bernas dan handal.
Oleh karena itu, dari kebiasan membaca Kompas hingga menulis di Kompasiana sejatinya merupakan suatu anugerah yang luar biasa bagi saya untuk mengembangkan bakat berliterasi.
Jika Kompas adalah Koran cetak (sekarang sudah ber-online juga) dan saya sebagai penikmat berita dan opininya, maka Kompasiana menjadi sarana bagi saya untuk turut berbagi goresan sekalipun tak seelit rubrikan harian cetak Kompas.Â
Menulis untuk platform blog sekelas Kompasiana bagi saya adalah sebuah narasi yang tak ternilai harganya.
Sejak saya bergabung dua tahun lalu, saya mulai membangun komitmen untuk selalu menulis. Awalnya saya lebih cenderung untuk menulis rubrikan puisi saja karena dunia sastra juga merupakan kecintaan saya sejak kuliah dulu.
Akan tetapi ketika saya membaca konteks saya akhirnya mulai menulis dari situasi hidup dan kehidupan yang saya alami.Â
Sejak selesai kuliah 2019 silam, saya langsung turun gunung untuk kembali ke kampung halaman tempat saya bermula dan berasal.Â