Sebagaimana halnya tubuh butuh makanan, jiwa pun demikian. Pepatah Latin kuno mengatakan Mens Sana in Corpore Sano, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia yakni Dalam Tubuh yang Sehat, Terdapat Jiwa yang Kuat.Â
Pepatah ini sudah saya dengar sejak masih di bangku SD dulu. Tepatnya ketika pelajaran olahraga berlangsung. Pepatah ini sekenanya ditafsir sebagai pemantik untuk berolahraga dengan giat agar tubuh bugar dan jiwa pun selalu kuat. Singkatnya, saya anggap itu sebagai bahasa ajakan saja supaya rajin dalam hal berolahraga.
Akan tetapi seiring saya besar dan dewasa di kampung, tentu saya sudah mulai berhadapan dengan kenyataan hidup yang berbeda yang nantinya akan saya kaitkan dengan pepatah Latin kuno tersebut di atas.
Konteks
Konteks tempat saya meniti hidup saat ini adalah kampung atau pedesaan. Dimana, yang menjadi corak eksistensi masyarakatnya sangat radikal dengan warisan budaya dari para leluhur.Â
Setiap perilaku hidup sehari-hari mesti selalu ditengarai oleh ritus budaya. Entah itu dalam bentuk sukacita panen hasil ladang ataupun ketika sedang mengalami sakit atau penderitaan hidup. Semuanya selalu diteguhkan dan dikuatkan melalui pelaksanaan ritual adat.
Dengan menyelenggarakan ritual adat sejatinya merupakan salah satu tata cara untuk merawat serta membina relasi yang kuat dengan para leluhur kampung yang telah meninggal dunia. Namun dalam keyakinan budaya, Â jiwa mereka masih hidup dan ada.Â
Oleh karena itu, apa pun bentuk peristiwa buruk seperti sakit berat atau karena kecelakaan atau juga ketika terjadi pertentangan antar sesama warga atau sanak saudara dan lain sebagainya.Â
Yang paling pertama dilakukan adalah mengkaji dulu kira-kira apa penyebab atau musabab hingga persoalan itu terjadi.Â
Sebagaimana yang dilakukan oleh tim medis di rumah sakit yaitu mendiagnosa jenis penyakit atau gejala yang dialami oleh si pasien.Â
Dimana dokter adalah orang yang paling layak dalam hal mendiagnosa pasien, maka di kampungnya adalah tua adat atau orang yang dipercaya paling mengetahui tentang adat.
Oleh karena itu, salah satu kebiasaan ketika sedang mendiagnosa persoalan adalah dengan cara membaca petunjuk mimpi. Entah itu mimpi si pasien sendiri atau juga mimpi dari Keluarga-keluarga sekitar. Â Dengan membaca petunjuk mimpi inti dari masalah atau persoalan hidup dapat dikaji. Dan orang yang paling dipercaya Atau dianggap berkompeten dalam hal ini adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan adat lebih. Sehingga mereka dapat memutuskan untuk membuat ritual adat seturut penglihatan mereka. Dalam istilah adat Manggarai nya ialah kando nipi (menghapus mimpi buruk).Â
Kebiasaan seperti ini sejatinya telah dilakukan  secara turun temurun sejak nenek moyang dahulu.Â
Kemudian, ketika diagnosa sudah dilakukan maka tindakan selanjutnya adalah melakukan ritual adat. Tema dari ritual tersebut adalah sasa mbolot (memecahkan persoalan).Â
Yang pertama, dengan melakukan torok (ujud) di kubur orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Materi yang digunakan biasanya telur sebagai simbol sarana perjumpaan dengan mereka. Yang kedua, melakukan torok manuk (doa adat dengan ayam sebagai korban) di rumah keluarga pasien, dengan materinya ialah seekor ayam. Biasanya ayam berbulu putih atau bulu lainnya, tergantung  permintaan si tua adat seturut penglihatannya.
Dari ayam korban yang sudah di torok (doa adat) akan dilihat bagian urat (bagian dalam tubuh ayam yang menyerupai benang atau tali) Â oleh si tua adat sendiri. Jika uratnya baik atau mulus, maka keselamatan akan segera datang atau turun ke atas keluarga bersangkutan. Kemudian juga leluhur telah merestui seluruh niat dan harapan yang disampaikan melalui ritual tersebut.Â
Sedangkan, ketika bentuk dari urat ayam tersebut rusak atau tidak baik maka mesti melakukan ritual adat lainnya lagi. Artinya leluhur belum merestui apa yang menjadi harapan keluarga melalui ritual adat, karena dianggap masih ada yang belum beres atau masih kurang. Atau mungkin saja dari ada anggota keluarga bersangkutan masih memiliki persoalan pribadi lainnya yang belum terungkap. dll.Â
Karena, syarat mutlak agar ritual adat sungguh bermakna dan direstui oleh leluhur ialah setiap orang yang hadir dan mengikutinya sungguh-sungguh memiliki niat dan kerinduan yang tulus. Jika tidak, maka urat ayam akan menjadi petunjuk ketidakberesan dan ketidakjujuran yang terjadi.Â
Makna
Makna yang patut dipetik dari penyelenggaraan ritus adat tersebut adalah:Â
Pertama, untuk menjalin relasi yang intim dengan leluhur yang telah mendahului keluarga yang masih hidup. Meminta mereka agar Tuhan yang Maha-Kuasa selalu menyertai mereka dalam seluruh persoalan hidup. Terutama ketika sedang jatuh sakit ataupun ketika sedang mengalami pertentangan hidup baik pribadi maupun bersama orang lain.Â
Dengan menyelenggarakan ritus budaya sebagaimana yang dimaksud, tujuan utamanya adalah memohon rahmat kesehatan jiwa dan raga dari yang Sang Empunya kehidupan. Melalui ujud (torok) yang disampaikan oleh tua adat supaya keluarga yang bersangkutan tersebut dijauhkan dari segala macam jenis penyakit juga persoalan-persoalan hidup lainnya.Â
Kemudian, dari segi ritual adat yang dilaksanakan dimana ayam dijadikan materi sebagai simbol pelepasan semua hal yang mendatangkan bencana mau menerangkan bahwa, nenek Moyang atau leluhur selalu ada bersama keluarga sekalipun tidak secara lahiriah. Kemudian daging dari ayam tersebut dapat dijadikan sebagai sumber protein bagi keluarga.Â
Sehingga dengan demikian, tujuan serta makna yang mau disampaikan dari penyelenggaraan ritual budaya di kampung adalah untuk merawat jiwa yang kuat sekaligus raga yang sehat kepada seluruh warga kampung tanpa terkecuali. Inilah proses healing yang paling mujarab bagi warga kampung selain rumah sakit atau berdoa ke tempat ibadah atau ke tempat meditasi atau yoga sebagaimana layaknya di wilayah urban.
Mens Sana in Corpore Sano,Â
Salam budaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H