Tepat hari minggu yang lalu, saya mendapat sebuah pesan WA dari seorang teman. Isinya adalah mengajak jalan-jalan alias ‘pesiar’ di hari Minggu. Saya pun awalnya agak enggan karena kondisi badan yang kurang fit.
Namun, ketika kawan saya itu merekomendasikan untuk pesiar ke salah satu tempat wisata air terjun yang letaknya tidak begitu jauh, yaitu di desa seberang. Maka, tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakannya.
Biar sekali-kali hirup udara segar dari alam yang hijau dan asri. Apalagi di tengah situasi pandemi virus korona yang kian meresahkan.
Jadi berwisata alam seperti air terjun bisa menjadi pilihan alternatif. Terutama jika berwisata pantai masih belum memungkinkan untuk dikunjungi.
Nama tempat wisata yang hendak kami kunjungi itu adalah air terjun Sunsa Namo (sunsa: bahasa setempat yang artinya tebing atau air terjun; sedangkan Namo merupakan nama dari air terjun itu).
Air terjun ini sejatinya sudah mulai dikenal oleh banyak orang khususnya di seputaran wilayah Manggarai Barat. Hal ini berlaku setelah diresmikan oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLF) pada Juni yang lalu. Dengan begitu, Sunsa Namo sah sebagai salah satu spot wisata alam yang anggun di Manggarai Barat, Flores-NTT.Â
Letaknya itu persis di bagian utara kabupaten Manggarai Barat. Jaraknya sekitar 70 KM dari ibukota Labuan Bajo. Keberadaannya tepat di Desa Loha, kecamatan Pacar-Manggarai Barat.
Ok. Lanjut cerita. Pada waktu itu, kami bergegas dengan dua sepeda motor dengan boncengan masing-masing. Jarak dari desa kami sekitar 10 Km, dengan kondisi jalan yang hampir sebagian besarnya masih luput dari pelukan aspal. Rata-rata berkerikil tajam dan bebatuan. Cukup menantang terutama bagi para tamu wisata yang datang dari luar Manggarai Barat.
Akan tetapi, bagi kami penikmat wisata lokal, keadaan demikian terbilang ‘asyik’ sebagai penyemangat petualang. Namanya petualangan, tidak asyik kalau tidak ada tantangan. Begitu kira-kira.
Setelah kira-kira satu jam perjalanan, akhirnya, kami pun tiba di pintu masuk menuju air terjun. kendaraan roda dua kami parkirkan di area yang sudah disediakan khusus.
Di sekitar area masuk itu juga terpampang tulisan selamat datang. Dan di situ juga kami baru tahu bahwa bukan hanya air terjun saja yang menarik. Tetapi juga ternyata terdapat juga spot wisata lainnya yaitu Nua Waka dan Tiwu Roh.
Rasa penasaran pun semakin menggelora. Kami langsung buru-buru masuk setelah istrahat sejenak di situ sembari mengambil gambar.
Kami harus menuruni tangga kayu yang terbuat seadanya sebagai akses langsung menuju air terjun Sunsa Namo tersebut.
 Gemericik air terjun yang jatuh dari atas tebing mulai terdengar jelas. Gemuruhnya itu bak ledakan guntur yang tak pernah lelah.
Namun, sebelum sampai di air terjun itu, mesti harus melewati beberapa pohon besar yang tubuh di tepi air terjun itu.
Mendekati air terjun itu, hawa dingin dan tetesan air embun dari dedaunan pohon membasahi kami.
Tak lama kemudian, akhirnya kami melihat langsung pesona air terjun Sunsa Namo. Luapan kekaguman pun memuncak ketika melihat secara langsung  rintikan besar air yang jatuh dari atas tebing yang tingginya sekitar 15 meter.
Sontak kami berteriak meluapkan rasa kagum yang luar biasa terhadap kemolekan alam air terjun Sunsa Namo itu. Kami merasa bak sedang berada di puncak keindahan hidup. Sungguh suatu ciptaan Tuhan yang mengagungkan.
Akan tetapi untuk mengitari seluruh area air terjun itu harus serba hati-hati. Sebab, hampir seluruh permukaannya dipenuhi oleh batu-batu besar berlumut. Jika tidak focus maka siap tergelincir dan, yah lain lagi ceritanya.
Sebagai pengunjung yang milenial, bersama air terjun itu kami pun saling berpose. Menggunakan ponsel android masing-masing, mengabadikan moment indah di air terjun itu.
Pemandangan di sekitar air terjun itu terlihat asri dan asali. Belum ada riasan-riasan yang menonjol yang mengubah keasliannya. Dan airnya pun putih jernih dan segar sekalipun masih dipertengahan musim kemarau panjang tahun ini.
Dari air terjun itu, kami pun lanjut ke Nua Waka sebuah gua bawah tanah yang letaknya sekitar 20 meter dari air terjun tadi. Kami berempat memilih berjalan kaki mengikuti aliran air sungai yang dalamnya setinggi mata kaki.
Sampai di Nua Waka itu, kami berhenti sebentar untuk memotret gambar di bagian muka gua.
Dari dalam gua itu air mengalir dengan begitu tenang. Namun terasa dingin di kulit kaki.
Kami pun bersepakat untuk masuk menjelajahi bagian dalam dari gua. Gelap gulita dalam gua itu memunculkan sedikit kesan horor. Bagaimana tidak, kami hanya menggunakan senter HP sebagai cahaya penuntun jalan. Sementara lintasan ke dalam agak sulit karena penuh dengan batu besar dengan air yang terus mengalir dari dalam.
Namun, dengan penuh keberanian, kami bergerak terus ke dalam. Merangkak pelan berlawanan arah dengan aliran air dari dalam gua.
Sedangkan di bagian atap gua yang berlapis batu, kami temukan penuh dengan sarang burung walet. Ada banyak induk walet yang menggantung dan beterbangan di atas kepala. Apalagi bila mata mereka berpapasan dengan senter HP kami.
Di beberapa tempat di dalam gua itu, tak lupa kami memotret gambar seadanya saja.
Dan penjelajahan kami pun terpaksa berhenti akibat kondisi jalan yang semakin mengecil dan sempit. Juga ada genangan air seperti waduk kecil namun rupanya lumayan dalam juga. Itu sekitar di jarak 25 meter dari muka gua. Akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali ke muka gua. Walaupun belum sepenuhnya kami melintasi gua besar itu, rasanya tetap puas menikmati ‘seremnya’ Nua Waka itu, dengan hanya mengandalkan modal nekat.
Selanjutnya, dari Nua Waka itu dengan tenaga yang masih tersisa, kami melanjutkan lagi petualangan menuju Tiwu Roh. Sebuah kolam alam yang asli. Khusus untuk berenang. Jaraknya sekitar 50 meter dari Nua Waka. Kami berjalan mengikuti aliran sungai dari Sunsa Namo tadi sambil memotret gambar.
Setibanya di Tiwu Roh itu, nampak kolam air yang cantik dengan air yang segar untuk dinikmati terutama bagi yang suka berenang.
Namun, saat itu, kami tidak berenang melainkan menikmatinya dengan berdiri di tepi sambil memotret beberapa gambar.
Setelah lama bergurau dengan pesona Tiwu Roh itu, kami pun sepakat untuk pulang dengan kondisi badan agak lelah.
Kami pun bergegas pulang, menyusuri jalan pulang dengan perasaan lega. Semua capek dan lelah terbayar tuntas oleh kemolekan alam yang kami nikmati saat itu. Mulai dari Sunsa Namo, Nua Waka hingga Tiwu Roh.
Dan akhirnya melalui cerita wisata ini, saya mengajak teman-teman K sekalian apabila sudah jenuh dengan kesibukan masing-masing, mari berwisata pada alam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H