Dari kisah di atas hendak menunjukkan bahwa fakta tentang hari tua tidak selalu indah untuk setiap orang. Ada yang beruntung, ada yang kurang beruntung. Ada yang kaya, biasa-biasa, dan ada yang miskin. Ada yang berpensiun besar, ada yang biasa, dan ada yang tidak. Ada yang sehat dan ada yang sakit-sakitan. Ini, antara lain, digambarkan oleh Paul Cann dan Malcolm Dean (2009) dalam Unequal Ageing: The Untold Story of Exclusion in Old Age. (Bdk. Huuh Subandy Ibrahim, Â Kompas 12/6/2021).
Barangkali, lain halnya dengan Pakde Tjiptadinata Effendi yang dalam artikelnya berbagai pengalaman terkait masa pensiunan mereka sebagai sebuah kebahagiaan tak ternilai dan yang patut disyukuri. Selain karena kondisi financial freedom tetapi sekaligus freedom on time. Permisi pakde.Â
Akan tetapi, sebagai kenyataan yang pasti bahwa kisah hari tua itu antara medan kecemasan dan harapan. Harapannya semoga baik-baik saja atau indah adanya. Sedangkan kecemasannya justru timbul karena dianggap sebagai urusan pribadi dan hal yang patut dihindari adalah seperti mengalami marjinalisasi dan eksklusi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat.Â
Maka tak pelak, negara pun hadir melalui politik kebijakan dan ekonomi politik dengan membaptis para orang tua dengan sebutan "manula" (manusia usia lanjut), "lansia" (Lanjut usia) atau jompo demi tercapainya kepentingan politis. Diantaranya dengan menyalurkan bantuan khusus untuk mereka. Sebab usia-usia tersebut tergolong tidak produktif (ekonomi) lagi. Sebut saja misalnya Kartu Lansia untuk DKI Jakarta, dan lain sebagainya.
Akan tetapi hal tersebut justru hanya melihat hari tua sebagai angka stastik yang bertujuan sebagai obyek intervensi kebijakan bantuan politik belaka. Sehingga solusi tersebut sifatnya kuantitatif dari keseluruhan permasalahan akan hari tua. Sedangkan dimensi humanistiknya  justeru kurang diperhatikan sama sekali.Â
Lebih lanjut, dalam paparannnya, Subandy Ibrahim membedah realitas hari tua manusia berdasarkan strata atau kelas.
Bagi kelas menengah atas, hari tua sekian lama diidentikkan dengan industri kenangan atau bisnis memori, seperti mengisi waktu luang dengan wisata dan komunitas-komunitas eksklusif atau menulis memori atau biografi untuk mengabadikan masa lalu.
Bagi kelas menengah bawah, hari tua menjadi sasaran industri kecemasan dengan menjanjikan jaminan hari tua yang tak pasti. Seperti dengan maraknya industri asuransi, yang hanya bersemangat saat menagih pembayaran premi tetapi lesu darah ketika diminta komplain.
Barangkali kedua realitas ini, memperkuat hipotesis bahwa hari tua itu antara proyek masa muda ataukah kesunyian masing-masing orang. Seperti halnya kisah kakek tua yang meninggal di atas dengan kesan menyusahkan orang lain. Tentu setiap kita pasti mengalami nya nanti. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H