Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Kisah Hari Tua

28 Juni 2021   15:40 Diperbarui: 28 Juni 2021   16:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Liputan6.com

Beberapa waktu yg lalu, sebuah peristiwa kedukaan melanda sebuah keluarga di kampung. Seorang kakek yang berumur 70-an meninggal dunia. Saat itu hari masih subuh.

Terdengar lautan isak tangis dari keluarga yang berduka  pecahkan keheningan subuh kala itu. 

Tak lama berselang, seluruh warga kampung juga mulai memadati rumah duka itu.
Turut meluapkan empati yang mendalam melalui deraian air mata bersama keluarga yang berduka. 

Sedangkan sebagian besar lainnya hiruk pikuk memasang tenda/kemah duka dan pembantaian hewan.
Biasanya oleh kaum adam sedangkan ibu-ibu biasanya sibuk mengurus bagian dapur.

Ada juga yang lain duduk ngobrol satu sama lain sambil hisap rokok tetapi dalam situasi duka. Yang paling nampak dalam obrolan itu biasanya perihal kematian dari kakek tua itu.

Ada yang menyela, sudah sebaiknya si kakek meninggal saja. Daripada bertahan hidup dengan keadaan yang memilukan. 

Terdengar dari keluarga bahwa satu penyakit yang menimpa almarhum selama hidup beberapa tahun terakhir adalah pikun. Ngomong terkadang tidak nyambung. Sering kencing di celana. Dan parahnya lagi sering kemana-mana tapi lupa kembali rumah. Pernah menghilang dari rumah selama dua hari dan ditemukan oleh warga dalam keadaan terkapar lemas di dekat hutan.

Kondisi demikianlah yang dipandang sangat menyusahkan pihak keluarga yang merawatnya setiap hari.
Maka, tak heran yang lain menyahut mendingan 'mati' daripada hidup menyusahkan orang lain. 

Realitas pembicaraan yang terakhir inilah yang menarik perhatian saya untuk membuat tulisan ini. Perihal kematian kakek tua di atas adalah mungkin satu contoh kecil  mengenai kisah hari tua hidup manusia. Saya dan pembaca sekalian tentu akan merasakan bagaimana kisah hari tua nanti. Kecuali bagi yang meninggal muda atau meninggal sebelum memasuki usia tua. 

Pandangan tentang hari tua tidak hanya sebagai hasil dari apa yang dipupuk sejak usia muda. Melainkan mesti mencakup juga sejarah sosial dan budaya yang meliputi setiap orang. 

Dari kisah di atas hendak menunjukkan bahwa fakta tentang hari tua tidak selalu indah untuk setiap orang. Ada yang beruntung, ada yang kurang beruntung. Ada yang kaya, biasa-biasa, dan ada yang miskin. Ada yang berpensiun besar, ada yang biasa, dan ada yang tidak. Ada yang sehat dan ada yang sakit-sakitan. Ini, antara lain, digambarkan oleh Paul Cann dan Malcolm Dean (2009) dalam Unequal Ageing: The Untold Story of Exclusion in Old Age. (Bdk. Huuh Subandy Ibrahim,  Kompas 12/6/2021).

Barangkali, lain halnya dengan Pakde Tjiptadinata Effendi yang dalam artikelnya berbagai pengalaman terkait masa pensiunan mereka  sebagai sebuah kebahagiaan tak ternilai dan yang patut disyukuri. Selain karena kondisi financial freedom tetapi sekaligus freedom on time. Permisi pakde. 
Akan tetapi, sebagai kenyataan yang pasti bahwa kisah hari tua itu antara medan kecemasan dan harapan. Harapannya semoga baik-baik saja atau indah adanya. Sedangkan kecemasannya justru timbul karena dianggap sebagai urusan pribadi dan hal yang patut dihindari adalah seperti mengalami marjinalisasi dan eksklusi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat. 

Maka tak pelak, negara pun hadir melalui politik kebijakan dan ekonomi politik dengan membaptis para orang tua dengan sebutan "manula" (manusia usia lanjut), "lansia" (Lanjut usia) atau jompo demi tercapainya kepentingan politis. Diantaranya dengan menyalurkan bantuan khusus untuk mereka. Sebab usia-usia tersebut tergolong tidak produktif (ekonomi) lagi. Sebut saja misalnya Kartu Lansia untuk DKI Jakarta, dan lain sebagainya.

Akan tetapi hal tersebut justru hanya melihat hari tua sebagai angka stastik yang bertujuan sebagai obyek intervensi kebijakan bantuan politik belaka. Sehingga solusi tersebut sifatnya kuantitatif dari keseluruhan permasalahan akan hari tua. Sedangkan dimensi humanistiknya  justeru kurang diperhatikan sama sekali. 

Lebih lanjut, dalam paparannnya, Subandy Ibrahim membedah realitas hari tua manusia berdasarkan strata atau kelas.

Bagi kelas menengah atas, hari tua sekian lama diidentikkan dengan industri kenangan atau bisnis memori, seperti mengisi waktu luang dengan wisata dan komunitas-komunitas eksklusif atau menulis memori atau biografi untuk mengabadikan masa lalu.

Bagi kelas menengah bawah, hari tua menjadi sasaran industri kecemasan dengan menjanjikan jaminan hari tua yang tak pasti. Seperti dengan maraknya industri asuransi, yang hanya bersemangat saat menagih pembayaran premi tetapi lesu darah ketika diminta komplain.

Barangkali kedua realitas ini, memperkuat hipotesis bahwa hari tua itu antara proyek masa muda ataukah kesunyian masing-masing orang. Seperti halnya kisah kakek tua yang meninggal di atas dengan kesan menyusahkan orang lain. Tentu setiap kita pasti mengalami nya nanti. Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun