Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Simbolis Belis Manggarai

26 Januari 2021   19:26 Diperbarui: 26 Januari 2021   19:34 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nona-nona cantik Manggarai (gambar: travel.detik.com)

Belis atau maskawin sebagaimana yang ditayangkan dalam pembicaraan kita saat ini merupakan sebuah fenomena aktual dan faktual diperbincangkan oleh sebagian besar manusia yang bernaung dalam rumah kebudayaan yang mana di dalamnya terkandung warna dan filosofi adat-istiadatnya masing-masing. 

Belis Manggarai dalam setiap khazanah pembicaraan selalu menuai problem yang mesti dituntaskan seiring dengan berjalannya waktu. Sampai di sini kita mesti akui bahwa kebudayaan tak pernah statis dalam alunan sang waktu melainkan ia dinamis dan mengalami progres in se seiring waktu melahirkan banyak peradaban baru. Singkatnya bahwa waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya (tempora mutantur et mutamur illis).  

Oleh karena itu, untuk menyikapi atau menerima tawaran perkembangan yang terjadi kita mesti melihat kembali substansi dari belis itu sendiri. G. Wilken seorang atropolog (1847-1891) dalam tulisan-tulisannya pernah memuat tentang belis sebagai survival dari masa peralihan antara masyarakat yang matriarkat ke yang patriarkat.

Perlu diketahui bahwa G. A. Wilken adalah penganut pandangan yang mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia telah terjadi evolusi, yakni perubahan dari tingkat promiskuitas, dari matriarkat ke patriarkat dan parental sebagai tingkat tertinggi. Dalam pandangannya ini beliau mencamkan bahwa istilah patriarkat, matriarkat sudah ditinggalkan, dan lebih banyak menggunakan istilah patrilineal dan matrilineal.

Bruidschat atau maskawin adalah sejumlah harta yang oleh pihak lelaki diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam, karena salah seorang gadis di antara mereka dilarikan atau bruidchaking (melarikan anak gadis). 

Jika tidak demikian, setiap lelaki yang hendak menjadikan seorang gadis sebagai calon isterinya harus mendatangi dan berdiam di rumah keluarga gadis itu. 

Kenyataan ini tentu tidak disenangi dan menjengkelkan sehingga dirasa perlu untuk melarikannya ke rumah lelaki. Atas dasar pertimbangan ini,  Wilken berpendapat bahwa maskawin adalah suatu zoengave atau silih dan bukan suatu leoopprijs atau harga pembelian (Bdk. Hans J. Daeng: 2008).

Setelah mengikuti jalan pikiran Wilken tersebut dapat dikemukakan bahwa maskawin itu adalah keseluruhan prosedur penyerahan barang yang oleh adat telah ditentukan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang pria secara resmi mengambil seorang gadis sebagai isterinya. 

Namun, pandangan spekulatif Wilken tidak sepenuhnya diterima, karena di balik maskawin itu masih tersimpan sejumlah nilai lainnya. Nilai-nilai itu mencakup keseluruhan moral dan etika kebudayaan masyarakat yang menggambarkan jati diri pria dan wanita di dalamnya.

Entitas nilai yang paling tinggi di balik upacara pemberian maskawin di Manggarai adalah untuk menghadirkan kembali perkawinan yang sakral sebagaimana yang diwariskan sejak dahulu. 

Nilai ini dapat disajikan melalui filosofi besarnya maskawin atau belis bukan atas dasar berapa banyak yang diinginkan tetapi atas dasar pertimbangan nilai-nilai simbolis di balik itu. Misalnya dalam tata upacara adat perkawinan di Manggarai ada simbol khusus yang selalu digunakan oleh para sesepuh. Ayam dan babi sebagai tanda keselarasan, kerbau sebagai simbol rejeki dan manifestasi harapan terhadap hidup perkawinan itu sendiri sekaligus simbol kesempurnaan tertinggi.

Kerbau umumnya menjadi hewan kurban dan mempunyai nilai magis yang dilihat sebagai sumber rejeki, antara lain berupa keuntungan dalam hidup perkawinan, khususnya dalam jumlah anak yang dilahirkan. Babi umumnya disembelih pada upacara-upacara adat dan dihadiahkan sebagai balasan untuk maskawin yang diserahkan oleh pihak keluarga lelaki, dilihat pula sebagai lambang kesuburan (Bdk. Hans J. Daeng: 2008).

Namun seiring bergulirnya waktu, nilai-nilai simbolik yang termaktub melalui hewan kurban yang dipakai dalam tata upacara pemberian belis tersebut kebanyakan telah disubstitusikan dengan uang. 

Tentu esensinya menjadi berubah, sebab orang lebih banyak memikirkan nilai besar kecilnya uang bukan nilai magis yang terkadung dalam hewan kurban yang diberikan. Ini saya katakan sebagai bentuk kekeliruan awal dari tata upacara pemberian maskawin atau belis kita di Manggarai saat ini.

Kekeliruan yang berikutnya adalah pengaruh sistem kapitalisme pasar yang melahirkan gaya hidup yang materialistik juga mempengaruhi pandangan masyarakat terkait dengan makna belis Manggarai itu sendiri. Belis bukan lagi ditelisik secara sakral melainkan lebih mengarah pada kegiatan transaksional pasar. 

Pasalnya bahwa, harta benda yang digunakan dalam pemberian belis adalah barang-barang yang memiliki daya tawar tinggi dalam dunia perdagangan. Komoditi pasar seolah-olah menawarkan jasa keterlibatan mutlak kepada masyarakat sebab memang tuntutan ekonomi semakin terdesak.

Lalu kenyataan lain dalam tata adat pemberian belis di Manggarai saat ini adalah lebih didasarkan pada status dan kedudukan pria dan wanita dalam masyarakat. Bahwa makin tinggi kedudukan sosial seorang gadis biasanya makin tinggi pula maskawin yang diminta. 

Namun perlu diketahui bahwa maskawin yang demikian dikumpul dari seluruh anggota keluarga, baik karena hubungan keturunan darah maupun karena hubungan kawin mawin, karena mereka yang berhak menerima bagian dari maskawin telah ditentukan melalui adat, dan jumlahnya pun banyak. Karena itu, maskawin yang terdiri dari beberapa macam diberikan secara bertahap pula. 

Barang bawaan dari pihak lelaki tidak diterima prodeo, tetapi harus diimbangi dengan harta pemberian balasan. Hadiah balasan biasanya berupa hasil karya wanita, seperti kain-kain tradisional tenunan sendiri dan barang-barang lainnya.

Terbayar lunas tidaknya maskawin turut berpengaruh terhadap pola tempat tinggal setelah kawin. Jika maskawin disepakati untuk tidak dilunaskan atau dibayar habis, pola tempat tinggal yang berlaku adalah auxorilokal (wajib diam di keluarga istri). Jika disepakati untuk membayar lunas  maka isteri diboyong ke rumah keluarga suami.

Oleh karena itu sampai di sini apabila masih ditemukan pengertian maskawin sebagai harga pembelian, itu dapat dikatakan sebagai akibat salah tafsir terhadap istilah lokal untuk maskawin itu atau belis itu sendiri. Konon orang mengira bahwa beli(s) itu berarti beli. Kekeliruan interpretasi itu dapat terjadi karena dalam kenyataan, maskawin adalah sejumlah barang yang diserahkan untuk memperoleh seorang gadis. 

Padahal artinya bukan demikian. Karena itu perlu kiranya ditegaskan bahwa maskawin bukanlah harga pembelian dengan beberapa alasan berikut:

Pertama, seandainya belis adalah harga pembelian seorang gadis, maka keluarga gadis tidak akan memberi hadiah untuk kelurga lelaki yang datang membawa maskawin. Hadiah balasan dari pihak gadis biasanya lebih dari yang diberikan pihak lelaki.

Kedua, besar kecilnya maskawin sudah digariskan sesuai dengan kedudukan sosial atau keturunan orang-orang yang berkawin. Jika terjadi tawar menawar tentang besarnya maskawin, sering itu diadakan sebagai suatu cara penolakkan yang halus. Dengan mengajukan maskawinan yang tinggi, orang seringkali hendak sekedar memberi kesan keluar bahwa anak gadis mereka bukan murahan dan , karena itu, jangan dianggap rendah.

Ketiga, dalam kenyataan pada banyak kelompok masyarakat adat di Manggarai pihak pemberi gadis biasanya dianggap lebih tinggi dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat. Hormat bukan karena menganggap diri rendah melainkan betapa mulianya harkat gadis yang hendak dikawini itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun