Nilai ini dapat disajikan melalui filosofi besarnya maskawin atau belis bukan atas dasar berapa banyak yang diinginkan tetapi atas dasar pertimbangan nilai-nilai simbolis di balik itu. Misalnya dalam tata upacara adat perkawinan di Manggarai ada simbol khusus yang selalu digunakan oleh para sesepuh. Ayam dan babi sebagai tanda keselarasan, kerbau sebagai simbol rejeki dan manifestasi harapan terhadap hidup perkawinan itu sendiri sekaligus simbol kesempurnaan tertinggi.
Kerbau umumnya menjadi hewan kurban dan mempunyai nilai magis yang dilihat sebagai sumber rejeki, antara lain berupa keuntungan dalam hidup perkawinan, khususnya dalam jumlah anak yang dilahirkan. Babi umumnya disembelih pada upacara-upacara adat dan dihadiahkan sebagai balasan untuk maskawin yang diserahkan oleh pihak keluarga lelaki, dilihat pula sebagai lambang kesuburan (Bdk. Hans J. Daeng: 2008).
Namun seiring bergulirnya waktu, nilai-nilai simbolik yang termaktub melalui hewan kurban yang dipakai dalam tata upacara pemberian belis tersebut kebanyakan telah disubstitusikan dengan uang.Â
Tentu esensinya menjadi berubah, sebab orang lebih banyak memikirkan nilai besar kecilnya uang bukan nilai magis yang terkadung dalam hewan kurban yang diberikan. Ini saya katakan sebagai bentuk kekeliruan awal dari tata upacara pemberian maskawin atau belis kita di Manggarai saat ini.
Kekeliruan yang berikutnya adalah pengaruh sistem kapitalisme pasar yang melahirkan gaya hidup yang materialistik juga mempengaruhi pandangan masyarakat terkait dengan makna belis Manggarai itu sendiri. Belis bukan lagi ditelisik secara sakral melainkan lebih mengarah pada kegiatan transaksional pasar.Â
Pasalnya bahwa, harta benda yang digunakan dalam pemberian belis adalah barang-barang yang memiliki daya tawar tinggi dalam dunia perdagangan. Komoditi pasar seolah-olah menawarkan jasa keterlibatan mutlak kepada masyarakat sebab memang tuntutan ekonomi semakin terdesak.
Lalu kenyataan lain dalam tata adat pemberian belis di Manggarai saat ini adalah lebih didasarkan pada status dan kedudukan pria dan wanita dalam masyarakat. Bahwa makin tinggi kedudukan sosial seorang gadis biasanya makin tinggi pula maskawin yang diminta.Â
Namun perlu diketahui bahwa maskawin yang demikian dikumpul dari seluruh anggota keluarga, baik karena hubungan keturunan darah maupun karena hubungan kawin mawin, karena mereka yang berhak menerima bagian dari maskawin telah ditentukan melalui adat, dan jumlahnya pun banyak. Karena itu, maskawin yang terdiri dari beberapa macam diberikan secara bertahap pula.Â
Barang bawaan dari pihak lelaki tidak diterima prodeo, tetapi harus diimbangi dengan harta pemberian balasan. Hadiah balasan biasanya berupa hasil karya wanita, seperti kain-kain tradisional tenunan sendiri dan barang-barang lainnya.
Terbayar lunas tidaknya maskawin turut berpengaruh terhadap pola tempat tinggal setelah kawin. Jika maskawin disepakati untuk tidak dilunaskan atau dibayar habis, pola tempat tinggal yang berlaku adalah auxorilokal (wajib diam di keluarga istri). Jika disepakati untuk membayar lunas  maka isteri diboyong ke rumah keluarga suami.
Oleh karena itu sampai di sini apabila masih ditemukan pengertian maskawin sebagai harga pembelian, itu dapat dikatakan sebagai akibat salah tafsir terhadap istilah lokal untuk maskawin itu atau belis itu sendiri. Konon orang mengira bahwa beli(s) itu berarti beli. Kekeliruan interpretasi itu dapat terjadi karena dalam kenyataan, maskawin adalah sejumlah barang yang diserahkan untuk memperoleh seorang gadis.Â