Manusia dalam peradaban kebudayaan memiliki kepercayaan akan "Yang Lain" yang berada di luar kemampuannya untuk memahaminya. Objek dari "Yang Lain" misalnya matahari, air, bumi, bulan, dan pohon.Â
Dalam perspektif setiap orang objek tersebut memiliki daya ikat tersendiri dan melaluinya manusia dapat memperoleh kekuatan dan bahkan mendatangkan keuntungan bagi kehidupan setiap saat. Kepercayaan seperti ini seyogianya telah mendarah daging sejak nenek moyang atau para leluhur dahulu.
Namun salah satu wacana yang cukup pelik yang kerap mewarnai kehidupan manusia khususnya dalam masyarakat tradisional adalah pandangan tentang suanggi. Setiap orang memiliki pengalaman yang internal menegenai bagaimana suanggi itu hadir dan tampak secara lahiriah ke dalam hidup mereka. Salah satu pengalaman yang kerap dikaitkan dengan pengaruh dari kekuatan suanggi itu adalah pengalaman penderitaan sakit, perpecahan dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini saya hendak mengkaji fenomena suanggi dalam konteks masyarakat Pacar, Manggarai Barat. Kiranya tulisan ini juga mampu membuka cara pandang kita tentang fenomena suanggi yang kerap kali selalu menimbulkan problematif tersendiri bagi dalam kehidupan masyarakat.
Suanggi: arti dan asal
Sesungguhnya ada begitu banyak pandangan dan nama tentang suanggi. Pater Kirch menganggap suanggi sebagai manusia atau semacam manusia yang berkekuatan gaib atau jahat. (Georg Kirchberger: Allah Menggugat, 2012).Â
Adapaun istilah lainnya yaitu suwangi atau swanggi untuk menjelaskan tentang seorang perempuan berkekuatan magis atau semacam hantu yang berhati dengki. Dalam pengembaraannya di Maluku dan Halmahera, hantu ini sering beraksi pada saat malam dengan wajah seram dan kepala yang bersayap hendak mencari korban.
Orang Manggarai sendiri memakai kata suanggi untuk membedakannya dari poti (iblis/roh jahat). Mereka bisa merasuki siapa saja, tanpa pandang bulu. Korban yang dijangkiti akan meninggal dengan cara-cara yang kadang kala tidak masuk akal. Ada yang sakit tanpa penyakit yang jelas. Ada pula yang mengalami gangguan jiwa, depresi, hingga akhirnya meninggal dalam situasi yang tak wajar.Â
Tidak cukup banyak data yang saya capai untuk mencari tahu asal muasal suanggi. Namun setidaknya, term ini masih berhubungan erat dengan iblis dan roh jahat. Suanggi barangkali lebih dihubungkan dengan seorang tukang sihir.Â
Bisa dikatakan, setan yang bersekutu dengan manusia. Roh jelmaan itulah yang belakangan dianggap sebagai suanggi. Itu berarti, istilah suanggi sendiri mesti dilepaspisahkan dari istilah setan atau roh jahat; walaupun pada dasarnya cara kerja roh jahat tak bisa dilepaspisahkan dari manusia.
Bagaimana menurut Orang Pacar Sendiri?
Masyarakat Pacar merupakan satu dari sekian masyarakat lainnya yang bermukim di bagian utara kabupaten Manggarai Barat dengan pola kehidupan tradisi yang masih terbilang kental. Pola kehidupan masyarakat yang masih terikat dengan adat-istiadat yang dianut memiliki pandangan tersendiri mengenai suanggi dan keberadaannya.Â
Dalam perspektif mereka suanggi diistilahkan dengan poti/kokong (setan/iblis/roh halus yang berwujud binatang dan sebagainnya) yang bersumber dari sesama manusia yang dalam istilah mereka berasal dari ata janto/ata mbeko (dukun/tukang santet). Poti/kokong ini biasanya menyerang warga pada waktu malam hari dalam rupa hewan/binatang.Â
Adapun binatang yang kerap dianggap sebagai suanggi  yaitu  meong (kucing), po (burung hantu), kuis/toak (salah satu jenis binatang malam yang tidak bisa dilihat secara langsung dan hanya bisa mendengarkan suaranya pada malam tertentu. Biasanya pada malam Jumat) dan wiu (jenis suanggi berupa burung besar yang muncul pada malam tertentu juga dan biasanya muncul sekitar jam 1 dan 2 dini hari).Â
Apabila tengah malam terdengar suara kucing atau suara aneh lainnya semua warga dengan segera melakukan ritual khusus seperti tapa ci'e (bakar garam yang telah diracik atau diritualkan secara khusus oleh orang tertentu yang memiliki kekuatan), tapa sendal (bakar sandal) yang menurut mereka apabila suanggi tersebut mencium bau sandal yang terbakar akan lari dan hilang dalam sekejap.
Motif adanya suanggi Â
Pada dasarnya suanggi itu muncul ketika manusia tidak percaya lagi pada manusia lain. Mereka saling mencurigai. Tak ada kebenaran yang dapat dipandang sebagai sebuah nilai penting yang mesti ditanamkan oleh kedua belah pihak. Tak jarang, orang pun saling bertentangan, saling menuduh, dan saling menjatuhkan.
Dalam pandangan orang Pacar, suanggi merupakan setan atau iblis yang sengaja diciptakan melalui daya kerja manusia dengan menggunakan kekuatan gaib, sihir dan sebagainya.Â
Dalam istilah mereka, orang-orang yang memiliki kekuatan gaib tersebut dinamakan ata janto/ata mbeko. Â Umumnya, motif atau alasan yang menganggap Ata janto/ata mbeko sebagai biang kerok adanya suanggi yakni: Beti nai agu ata (cemburu sosial); sikap cemburu ini kerap terjadi apabila melihat sesama yang lainnya sukses atau berhasil dalam pekerjaan, sekolah dan sebagainnya. Adapun motif lainnya itu muncul dari dalam diri ata janto/ata mbeko tersebut yang ingin membuat orang lain menderita bahkan mati.
Salah satu gejala yang sering dikaitkan dengan daya suanggi pada seseorang yakni sakit secara tiba-tiba bahkan ada yang langsung meninggal secara mendadak. Bila demikian, dapat dipastikan bahwa orang tersebut telah menjadi korban serangan suanggi yang mana dalam sebutan warga setempat "sumang agu poti". Apabila sudah demikian, bila korban masih menderita sakit, maka dengan segera melakukan penyembuhan secara tradisional pula.
Hingga kini keyakinan terkait keberadaan suanggi dalam lingkup warga Pacar masih begitu kuat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suanggi itu benar-benar ada dan keberadaanya tidak terlepas dengan kehidupan social masyarakat khususnya masyarakat tradisional.Â
Pola kehidupan msyarakat yang berpegang teguh pada tradisi dan adat-istiadat yang di anut memiliki perspektif tersendiri terhadap hal-hal yang bersifat mistik-magis khususnya mengenai suanggi sebagaimana yang nampak dalam kebiasaan hidup orang Pacar.
Seacara antropologis, Suanggi telah menjadi salah satu penyakit sosial yang dapat menjadi wacana dan ancaman bagi siapa saja di tengah masyarakat. Dengan demikian justru  menghambat perkembangan kehidupan masyarakat.Â
Oleh karena itu sejauh ini pun tidak ada solusi yang pasti untuk melenyapkan paradigma suanggi tersebut selain dengan mengafirmasinya seraya melawannya dengan kekuatan tertentu yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ikatan tersendiri terhadap hal-hal yang mistik-magis tersebut. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H