Polarisasi politik menuju Pemilu 2024 telah membawa dampak yang luas terhadap kondisi sosial-psikologis masyarakat Indonesia. Sebagai mahasiswa psikologi, fenomena ini menarik untuk dianalisis karena tidak hanya memengaruhi hubungan antarindividu, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental dan harmoni sosial secara keseluruhan. Polarisasi terjadi ketika masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok pendukung kandidat tertentu dengan intensitas dukungan yang sering kali emosional. Penelitian dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 65% masyarakat merasa terpolarisasi secara politik, sebuah angka yang menunjukkan tingginya ketegangan dalam interaksi sosial.
Dari perspektif psikologi, polarisasi ini diperkuat oleh mekanisme bias konfirmasi, di mana individu cenderung hanya mencari dan menerima informasi yang sejalan dengan pandangan politik mereka. Bias konfirmasi, menurut Baron dan Byrne (2000), adalah kecenderungan seseorang untuk lebih memperhatikan informasi yang mendukung keyakinannya dan mengabaikan informasi yang bertentangan. Hal ini diperburuk oleh algoritma media sosial yang sering kali memprioritaskan konten sesuai preferensi pengguna, menciptakan apa yang disebut sebagai "echo chamber." Akibatnya, masyarakat terpapar pada informasi yang homogen dan semakin memperkuat keyakinan mereka, bahkan jika informasi tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), terdapat lebih dari 2.800 konten hoaks terkait Pemilu yang terdeteksi dalam enam bulan terakhir, sebagian besar menyebar melalui media sosial. Hoaks ini tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga memicu kecemasan dan ketegangan antarpendukung.
Efek psikologis dari polarisasi tidak dapat diabaikan. Ketika individu merasa terisolasi dari kelompok yang berbeda pandangan politik, mereka cenderung mengalami stres sosial yang berkepanjangan. Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi atau perasaan ketika seseorang merasa tuntutan lingkungan melebihi sumber daya yang dimilikinya untuk mengatasi situasi tersebut. Stres ini dapat berkembang menjadi konflik interpersonal, terutama di lingkungan kerja, komunitas, atau bahkan dalam keluarga. Konflik ini diperkuat oleh rendahnya tingkat empati dan meningkatnya prasangka terhadap kelompok lain. Selain itu, survei Indikator Politik Indonesia pada 2023 mencatat penurunan signifikan dalam kepercayaan publik terhadap institusi politik, yang menunjukkan adanya krisis psikologis kolektif berupa ketidakpercayaan dan kecemasan terhadap masa depan bangsa.
Polarisasi yang terus berkembang ini juga memiliki implikasi luas terhadap perkembangan emosi kolektif masyarakat. Ketika emosi negatif seperti marah, kecewa, dan frustrasi mendominasi, kemampuan masyarakat untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan rasional menjadi terhambat. Hal ini berdampak pada proses diskusi dan pengambilan keputusan dalam masyarakat, terutama pada isu-isu yang memerlukan konsensus. Studi tentang dinamika kelompok menunjukkan bahwa dalam situasi polarisasi, individu cenderung menunjukkan "groupthink," di mana mereka hanya mengikuti pandangan kelompok mereka tanpa mempertimbangkan alternatif atau pendapat berbeda. Irving Janis (1972) menjelaskan bahwa groupthink adalah kecenderungan kelompok untuk membuat keputusan tanpa evaluasi kritis, yang sering kali mengarah pada hasil yang suboptimal. Dalam konteks politik, hal ini berbahaya karena dapat mempersempit ruang dialog yang konstruktif.
Selain itu, polarisasi juga berdampak pada dinamika psikososial dalam komunitas. Ketegangan yang muncul sering kali berujung pada penurunan solidaritas sosial. Orang-orang yang sebelumnya hidup rukun dalam satu lingkungan mulai menghindari percakapan yang berhubungan dengan politik, bahkan cenderung menjauh dari hubungan interpersonal. Sebagai contoh, terdapat kasus di mana anggota keluarga saling memutus komunikasi karena perbedaan pilihan politik, sebuah situasi yang mencerminkan bagaimana polarisasi bisa menghancurkan hubungan yang sudah terjalin lama. Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa hubungan sosial yang tegang dapat memicu perasaan kesepian, yang pada akhirnya meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Sebagai mahasiswa psikologi, solusi terhadap fenomena ini dapat dilihat dari pendekatan intervensi sosial dan pendidikan. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan literasi emosional dan sosial masyarakat. Daniel Goleman (1995) mendefinisikan literasi emosional sebagai kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain. Program pendidikan yang mengajarkan pentingnya berpikir kritis, empati, dan toleransi perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal maupun nonformal. Selain itu, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dapat menyelenggarakan lokakarya atau kampanye publik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya polarisasi dan pentingnya dialog terbuka. Program-program ini harus dirancang untuk menjangkau berbagai kelompok usia dan latar belakang sosial sehingga dampaknya dapat dirasakan secara luas. Pendidikan tentang literasi digital juga menjadi sangat penting, mengingat sebagian besar polarisasi saat ini terjadi di dunia maya. Masyarakat perlu diajarkan cara mengenali hoaks, memahami bias informasi, dan menggunakan media sosial secara bijak.
Peran media sosial juga sangat penting dalam mengatasi polarisasi. Regulasi yang lebih ketat terhadap penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian harus diterapkan, dengan melibatkan platform media sosial untuk meningkatkan transparansi algoritma mereka. Selain itu, platform ini dapat mendukung inisiatif positif seperti kampanye lintas kelompok yang mempromosikan kesatuan dan harmoni sosial. Pendekatan ini tidak hanya menargetkan individu, tetapi juga komunitas yang lebih besar, sehingga dapat menciptakan dampak yang lebih luas. Media sosial juga dapat dimanfaatkan sebagai alat edukasi untuk menyebarkan konten positif yang menginspirasi dialog dan pemahaman lintas kelompok. Sebagai contoh, platform dapat bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mempromosikan cerita-cerita inspiratif tentang kolaborasi dan toleransi dalam keberagaman.
Dialog nasional juga merupakan solusi efektif untuk menjembatani perbedaan pandangan. Dialog ini dapat melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan berbagai kelompok untuk menciptakan ruang diskusi yang inklusif. Dengan pendekatan ini, masyarakat dapat belajar untuk saling mendengarkan, memahami perbedaan, dan menemukan titik temu yang bermanfaat bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan dialog, penting untuk menggunakan pendekatan fasilitasi yang netral agar semua pihak merasa dihargai dan didengarkan. Pendekatan ini juga dapat diperkaya dengan metode-metode psikologi kelompok, seperti permainan peran atau simulasi, yang membantu peserta memahami perspektif orang lain secara mendalam.
Selain itu, penting untuk memahami bahwa polarisasi tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat umum, tetapi juga di tingkat elite politik. Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi dan dialog juga perlu dilakukan di antara para pemimpin politik. Ketika para pemimpin menunjukkan sikap saling menghormati dan bekerja sama meskipun berbeda pandangan, hal ini akan menjadi contoh positif bagi masyarakat. Dalam hal ini, media memiliki peran penting dalam mempublikasikan narasi yang menonjolkan kerja sama dan persatuan, daripada hanya berfokus pada konflik atau perbedaan yang ada.
Di sisi lain, pendekatan komunitas berbasis nilai juga perlu diperkuat. Komunitas dapat menjadi wadah yang efektif untuk mempertemukan individu dari berbagai latar belakang politik. Kegiatan bersama seperti olahraga, seni, atau kerja bakti dapat membantu mengurangi ketegangan antarindividu dengan memberikan fokus pada tujuan bersama. Interaksi positif yang terjadi dalam komunitas ini secara perlahan dapat mengikis prasangka dan memperbaiki hubungan yang rusak akibat polarisasi.
Namun, dalam mengatasi polarisasi, perlu juga diperhatikan peran pendidikan dalam jangka panjang. Pendidikan tidak hanya mencakup pembelajaran formal di sekolah atau universitas, tetapi juga mencakup pembelajaran sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Keluarga, sebagai unit terkecil dari masyarakat, memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan nilai-nilai anak-anak mereka terhadap perbedaan. Orang tua dapat mengajarkan pentingnya saling menghormati dan toleransi sejak dini, sehingga anak-anak tumbuh dengan kemampuan untuk menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar.
Media massa juga dapat memainkan peran penting dengan menyajikan narasi yang lebih seimbang. Alih-alih memperbesar konflik, media dapat berkontribusi dengan menyampaikan kisah-kisah inspiratif tentang bagaimana masyarakat dengan pandangan berbeda dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Media juga dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya berpikir kritis dan mendorong masyarakat untuk melihat isu dari berbagai sudut pandang.
Polarisasi politik memang menjadi tantangan besar menjelang Pemilu 2024, tetapi dengan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat dikelola secara konstruktif. Mengintegrasikan ilmu psikologi dalam memahami dan mengatasi dampak polarisasi dapat menjadi kontribusi nyata mahasiswa psikologi dalam menjaga harmoni sosial dan kesehatan mental masyarakat. Dengan langkah-langkah yang berfokus pada literasi emosional, regulasi media, dialog inklusif, dan pendekatan komunitas, Indonesia dapat memastikan jalannya Pemilu yang lebih damai dan demokratis. Langkah-langkah ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku media untuk menciptakan strategi yang holistik dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H