Berdiri menjadi negara demokrasi, Indonesia pernah kehilangan salah satu ciri demokrasinya. Kehilangan ciri tersebut dapat dilihat pada masa rezim orde baru, dimana kebebasan pers masih mengalami kekangan.
Kekangan tersebut ditandai dengan tidak bebasnya media dalam menyampaikan konten mereka di media massa. Bahkan media yang dianggap melanggar peraturan atau berani mengkritik penguasa akan dibredel. Dimana mekanisme media massa dikontrol oleh 'Rezim SIUPP'.
Sehingga karena hal tersebut, pada akhirnya Indonesia dapat mencapai tahap terbaik dalam perkembangan dunia jurnalistiknya. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang No.40 Tahun 1999 yang membahas tentang Pers.
Jurnalisme Indonesia terus berproses seiring perkembangan zaman dan teknologi. Proses pembuatan berita dalam media tentu saja juga akan ikut berkembang dan berubah. Perubahan ini terlihat dari media konvensional berubah menjadi media online.
Namun kebebasan pers tidak menjadi hal yang selalu dianggap baik dalam dunia jurnalis, karena kebebasan tersebut dapat menimbulkan semakin banyaknya masyarakat yang akan menyuarakan atau menyampaikan pendapatnya di media online tanpa adanya saringan.
Maka dengan adanya peningkatan kuantitas penerbitan pers di media, membuat kurangnya pernyataan kualitas dari seorang jurnalis yang menulis informasi maupun berita tersebut.
Bahkan tidak jarang, para jurnalis masih kurang memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam tulisannya. Dimana hal tersebut dijumpai saat ada judul maupun kalimat yang digunakan masih bersifat rancu untuk dipahami.
Sarana KomunikasiÂ
Bahasa adalah sarana komunikasi yang sangat penting bagi seorang jurnalis dalam membuat konten beritanya pada media online.
Bahasa Indonesia telah diperjuangkan sejak sebelum mengalami kemerdekaan oleh Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Namun penggunaan bahasa Indonesia di kehidupan masyarakat, terkhusus kalangan jurnalis masih mengalami permasalahan.
Maka sangat disayangkan jika pemakaian bahasa Indonesia yang benar juga tidak diperhatikan dengan baik pada kalangan pers. Yang dimana nantinya kelalaian tersebut dapat merusak arti yang sebenarnya dari sebuah konten yang ingin diterbitkan.
Jurnalis harus benar-benar memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia dalam media sebelum dipublikasikan ke khalayak. Agar tidak menimbulkan kebingungan hingga ketidaksesuaian arti antara tujuan jurnalis dengan pembacanya dalam informasi atau berita yang disampaikan.
Adapun masalah-masalah yang dapat ditemui dalam penulisan berita atau informasi oleh jurnalis adalah, pemilihan kalimat yang belum tepat, kalimat yang belum efektif, penyusunan kalimat yang belum logis, pemakaian gaya bahasa dan penempatan kata dalam kalimat (Dr Hawe Setiawan, dlm detiknews).
Hawe mengangkat sebuah contoh yang menunjukkan penggunaan bahasa kurang tepat di media online, yakni dari kutipan cnnindonesia.com pada 28 Juli 2022. Dalam artikel tersebut adalah sebuah kalimat yang dianggap masih membingungkan atau bersifat rancu.
Isi kalimat tersebut yaitu, "Beberapa remaja tanggung yang kerap nongkrong di Citayam Fashion Week mengaku tak setuju jika dipindahkan ke tempat lain, termasuk jika pindah ke kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara."
Kalimat ini dianggap masih kurang tepat, karena jika diperhatikan dan disimak dengan baik, isi dan tujuan dari kalimat tersebut masih menimbulkan kebingungan.
Karena dari kalimat tersebut tidak diketahui siapa yang akan dipindahkan. Apakah remaja-remaja tanggung yang ada di sana atau tempat penyelenggaraan Citayam Fashion Week itu sendiri?
Contoh kesalahan lainnya yang sering dilakukan oleh jurnalis adalah penggunaan kata-kata seperti, 'sementara itu', 'seperti yang diketahui', 'selanjutnya', dan sebagainya. Kata-kata tersebut dianggap kurang tepat karena masih bersifat mubazir dan jenuh.
Kesalahan lainnya juga dapat dilihat dari penggunaan kata 'dan'. Kata ini adalah penghubung dua hal/benda yang sering kali masih digunakan secara salah. Misalnya, "di meja itu ada sendok, garpu dan piring".
Menurut ejaan yang disempurnakan, kalimat itu sudah salah yang semestinya harus menggunakan koma, yakni "di meja itu ada sendok, garpu, dan piring".
Dendy Sugono selaku salah satu pakar pemerhati bahasa Indonesia dan Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 2001 hingga 1 Juni 2009, turut menyampaikan pendapatnya.
Dendy mengatakan bahwa penggunaan bahasa Indonesia media massa masih memprihatinkan. Dendy juga mengatakan jika bahasa di media massa adalah bahan pergunjingan masyarakat, karena bahasa yang dilihat bersifat terbuka dan dianggap sebagai cermin.
Pedoman Penggunaan BahasaÂ
Peran jurnalis dalam pembuatan dan penerbitan berita yang ada di media sangatlah penting. Sehingga layaknya jurnalis akan menggunakan bahasa jurnalistik dalam membuat berita dalam medianya.
Bahasa jurnalis memiliki sifat-sifat khas yakni, singkat, padat, jelas, lugas, sederhana, lancar, dan menarik. Tidak hanya itu, bahasa jurnalis juga didasari oleh bahasa baku dan penulisannya harus memperhatikan ejaan yang benar.
Pada tanggal 10 November 1978 di Jakarta, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menerbitkan sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers.
Pedoman-pedoman ini membahas terkait bagaimana penggunaan ejaan, akronim, imbuhan, kalimat pendek, ungkapan klise, kata asing, istilah teknik, dan tiga aspek bahasa jurnalistik pada penulisan berita atau informasi dalam media.
Adapun sepuluh pedoman tersebut yaitu:
- Wartawan wajib melaksanakan pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
- Hendaknya wartawan membatasi diri dalam penggunaan singkatan atau akronim
- Wartawan jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awal, atau prefiks
- Wartawan menulis dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek (subjek, predikat, objek)
- Jauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype
- Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir, seperti adalah (sebagai kata kerja kopula), telah (sebagai kata penunjuk masa lampau) dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang
- Hindari pencampuran kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me)
- Hindari kata-kata yang bersifat asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah
- Wartawan hendaknya menaati kaidah tata bahasa
- Wartawan hendaknya mengingat bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya. Serta dinilai dari tiga aspek yakni isi, bahasa, dan teknik persembahan.
Â
Penyebab dan DampakÂ
Perkembangan teknologi pada media yang berbasis internet atau media online, mendorong kerja jurnalisme menjadi semakin cepat. Perusahaan media melalui media online berlomba-lomba menawarkan kecepatan mereka dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Hal tersebutlah yang membuat banyak kalimat maupun kata-kata yang tidak di cek kembali oleh jurnalis sebelum diterbitkan. Penulisan yang terburu-buru demi mencapai kecepatan akan menyebabkan banyak kesalahan yang mungkin tidak disengaja oleh jurnalis.
Hal ini berdampak kepada kualitas dari penulisan seorang jurnalis yang disediakan kepada khalayak melalui media online. Tidak hanya itu, melalui penulisan yang kurang tepat, khalayak sebagai pembaca juga akan merasakan kebingungan dan dapat salah dalam memaknai berita yang ada.
Contoh berita-berita yang masih mengalami kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia pada media online klik disini!