Rabu, 2 Maret 2022 masyarakat Hindu di Bali merayakan kemenangan tradisi, seni dan budaya Bali. Tahun Caka 1944 menjadi momentum kebangkitan kekuatan pekraman Bali. Sejumlah umat Hindu di Bali mengikuti upacara Tawur Agung Kesanga, untuk menyambut hari raya Nyepi. Upacara Taur Agung dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan bumi sebelum umat Hindu mekalsanakan Catur Brata Penyepian. Â
Upacara Tawur Agung Kesanga ini dilaksanakan pada Tilem sasih Kesanga, tepatnya pada siang atau tengah hari. Tawur berarti membayar atau mengembalikan atau diartikan dengan mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari-sari alam tersebut dikembalikan melalui upacara ini yang dipersembahkan kepada para Bhuta. Upacara Tawur Agung Kesanga atau biasa disebut juga dengan upacara penyucian ini bertujuan agar para Bhuta tidak mengganggu umat manusia sehingga dapat hidup dengan harmonis.
Tahun ini upacara Tawur Agung dilaksanakan dengan berbeda karena adanya pandemi Covid-19. Biasanya upacara ini diikuti oleh seluruh masyarakat Hindu di bali, namun sekarang diterapkan pembatasan masyarakat yang dihadiri oleh perwakilan keluarga atau pekraman demi menghindari Covid-19 dan taat akan protokol kesehatan.
Runtutan Prosesi Pecaruan di Rumah saat Pengerupukan
Pelaksanaan hari raya Nyepi diisi rangkaian upacara pemelastian dan tawur Agung. Masing-masing prosesi disertai upakara tersendiri. Khusus upacara tawur Agung kesanga, ada upakara dan rangkaian prosesi yang harus dijalankan di masing-masing rumah. Ketua PHDI Provinsi Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si mengungkapkan, untuk pecaruan di Merajan atau sanggah, masyarakat diwajibkan menghaturkan banten sakasidan atau Pejati di Kemulan.
Di depan Pelinggih dihaturkan segehan Agung dan segeran cacah sebanyak 33 tanding. Segehan tersebut dipersembahkan untuk Bhuta Bucari. Sedangkan di halaman rumah dihaturkan segehan warna sebanyak 9 tanding. Segehan itu berisi daging ayam Brumbun boleh yang matang atau dibungkus daun. Persembahannya disertai tabuhan arak berem atau  toya anyar. Segehan dan siap brumbun ini dihaturkan kepada sang Bhuta Raja dan kala Raja.Â
Sementara di pintu masuk atau gerbang rumah dipasang sanggah cucuk berisi banten peras, daksina, tipat kelanan, dan arak berem serta toya anyar. Lalu dibawah sanggah cucuk dihaturkan segehan cacah sebanyak 100 tanding maulam jejeroan matah dan segehan agung disertai arak berem dan toya anyar. Banten ini dipersembahkan untuk Sang Kala Bala dan Sang Bhuta Bala. Upacara pecaruan ini dilakukan disaat waktu Sandi Kala (pukul 18.30 WITA).
Usai melakukan pecaruan di lingkungan rumah dan merajan, masyarakat yang telah menek kelih harus menatap banten byakala, prayascita dan sesayut pamyakala di halaman rumah. Tujuannya untuk pembersihan. Setelah natap barulah melaksanakan mebuu-buu dengan menyulut api klaras atau obor, membuat berbagai bunyi-bunyian, menyemburkan bawang merah dan mesui.
Tradisi Lain saat Tawur Agung Kesanga
Upacara Tawur Agung Kesanga dikuti juga dengan tradisi yang tidak kalah khas dari perayaan Nyepi yakni Pengarakan Ogoh-Ogoh. Ogoh-Ogoh digambarkan dalam wujud makhluk hidup di Mayapada, surga, dan neraka seperti naga, gajah, garuda, widyadari, dan dewa. Ogoh-Ogoh melambangkan pengakuan manusia akan kuasa alam semesta dan waktu dengan kekuatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
Masyarakat Bali percaya bahwa Ogoh-Ogoh merupakan representasi dari sifat buruk dalam diri manusia, sehingga, setelah Ogoh-Ogoh diarak menuju Sema yaitu tempat persemayaman umat Hindu sebelum dibakar dan pada saat pembakaran mayat, Ogoh-Ogoh itu dibakar sebagai simbol telah hilangnya sifat buruk di dalam diri manusia. Sehingga, setelah itu siap dilakukan tapa brata pada Hari Raya Nyepi keesokan harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H