Akan tetapi, sungguh disayangkan kebersamaan ini tidak dapat lama kami nikmati, karena di malam hari ketiga diadakan acara perpisahan dan pelepasan kami dari kegiatan live in di Desa Raraatean. Acara perpisahan berlangsung dengan meriah hingga larut malam; makanan tersaji dengan mewah dan melimpah – yang merupakan wujud dari kebiasaan gotong royong warga dengan membawakan 1 jenis makanan dari masing-masing keluarga ke dalam suatu pesta rakyat, dengan demikian sesuai dengan pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” – diselingi dengan musik dan tarian khas kedua daerah (khas Sulawesi dan Jawa) yang dengan akrab dilantunkan bersama dan tanpa sekat, mengelilingin api unggun. Dalam malam perpisahan ini, perwakilan dari semua pihak saling menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan kesan dan pesan atas 3 hari kebersamaan. Di penghujung acara, salah satu OMK berinisiatif mengajak semua peserta live in untuk menyampaikan ucapan terima kasih secara langsung dan personal kepada orang tua angkat masing-masing, yang membuat suasana malam itu diliputi haru. Kemudian, sebagai penutup malam itu, seluruh OMK bergoyang bersama dalam alunan musik disko yang meriah dan musik daerah yang unik dan penuh semangat.
Pagi-pagi sekali pada 4 Oktober 2016, rombongan warga Raraatean dan desa-desa lainnya di Tompasobaru mengantarkan seluruh Kontingen Keuskupan Bogor untuk berkumpul di Pusat Paroki St. Paulus sebagai penutup perjumpaan singkat live in tersebut. Masing-masing dari kami dibekali dengan makan siang dan buah tangan dari orang tua angkat, seta kenang-kenangan berupa baju OMK Paroki Tompasobaru. Tidak disangka perpisahan atas pertemuan yang terbilang singkat ini terasa begitu mengharukan, dan tanpa terasa air mata pun diteteskan.
Tidak hanya Kontingen Kesukupan Bogor, pada hari itu seluruh peserta IYD II berpisah dengan keluarga live in-nya untuk kemudian berkumpul di Lapangan Wolter Mongisidi Sario Manado sebelum kemudian dilakukan defile – perarakan barisan atau parade – ke stadion Klabat di mana puncak dari rangkaian acara Pembukaan Indonesian Youth Day II dilangsungkan. Defile peserta IYD dari Keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia ini luar biasa – rasa kesatuan dan kebanggaan akan tanah air sangat dirasakan pada saat defile ini. Meskipun berasal dari budaya yang berbeda-beda, kita semua adalah satu, yaitu OMK yang 100% Katolik dan 100% Indonesia. Defile ini merupakan ajang untuk menampilkan budaya inkulturatif Indonesia yang sangat kaya; masing-masing kontingen menunjukkan kekhasan daerah Kesukupannya dengan busana, penampilan, serta yel-yel yang unik dan meriah. Sukacita dirasakan tidak hanya oleh peserta IYD saja, tetapi juga seluruh warga Manado yang mengiringi defile peserta dan yang telah menunggu untuk menyambut di Stadion Klabat; sebagai rasa terima kasih kepada warga Tompasobaru, OMK Bogor mengenakan kaos Paroki St. Paulus sebagai seragam kontingen di acara pembukaan IYD ini.
Kemeriahan perayaan pembukaan pertemuan OMK Se-Indonesia ini berlanjut dengan lebih meriah di Stadion Klabat. Penampilan-penampilan menarik dari seluruh penjuru Nusantara bergantian memeriahkan panggung utama Stadion Klabat. Pembukaan IYD II ini diresmikan dengan Misa yang dipimpin secara konselebrasi oleh para Uskup dari masing-masing Kontingen secara inkulturatif, dengan seremonial perarakan Salib IYD dari seluruh Keuskupan dan penyerahan Salib Utama dari tuan rumah IYD I, yaitu Keuskupan Sanggau, ke tuan rumah IYD II, yaitu Keuskupan Manado. Rasa nasionalisme dan semangat jiwa muda sungguh sangat dirasakan ketika seluruh umat di Stadion Klabat bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Theme Song IYD II.
Malam itu, seluruh peserta IYD bersama dengan kontingen masing-masing berangkat menuju Seminari Tinggi Hati Kudus Yesus Pineleng, Skolastikat dan Pra-Novisiat MSC Pineleng, Susteran DSY Lotta, dan Sentrum Agraris Lotta, untuk kegiatan lainnya, dan yang juga telah ditentukan sebagai tempat untuk beristirahat selama acara pokok kedua IYD berlangsung; dari tanggal 4-6 Oktober 2016. Seluruh lokasi penginapan ini terletak di sekitar venue utama – yaitu Wisma Lorenzo dan Emmanuel Amphitheater, Catholic Youth Center, Lotta – dan venue-venue peninjang tempat seminar-seminar yang disebut sebagai “Tempat Ngopi: Ngobrol Pintar” dilangsungkan. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Desa Lotta secara historis mempunyai catatan sejarah sebagai pusat pembinaan iman umat Katolik (Sentrum Kateketik) Keuskupan Manado, khususnya pembekalan dan pengkaderan pimpinan-pimpinan umat. Selain itu, Desa Lotta dapat dijangkau dengan mudah dari berbagai arah: Manado, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Tomohon dan sekitarnya. Pemanfaatan tempat-tempat pembinaan (seminari tinggi, skolastikat, pronovisiat, susteran dan sentrum agraris) pun tidak hanya ditujukan sebagai venue penunjang selama IYD berlangsung, tetapi juga sekaligus memberikan dampak pastoral bagi para frater dan suster.
Ikut mengantarkan kami ke Biara Hati Kudus Skolastikat MSC adalah teman-teman OMK Raraatean, yang pada sepanjang acara pembukaan ikut menemani dan bersukacita bersama kami. Mereka – yang pada awalnya hanya merupakan orang-orang asing yang ramah, kini menjadi keluarga baru bagi kami – bahkan kerap kali datang berkunjung ke Lotta di sela-sela kegiatan kami yang padat hanya untuk bertegur sapa dan membawakan buah tangan. Keluarga live in ini ialah salah satu dari sekian banyak hikmah positif yang kami dapatkan dari pekan IYD II di Manado ini.
Selama 3 hari di Desa Lotta, seluruh peserta IYD berkumpul bersama dalam kegiatan pembinaan melalui sesi seminar dan katekese, yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil dan kelompok besar dengan para narasumber yang sangat ahli di bidangnya. Kelompok kecil dinamai dengan nama jenis-jenis makanan khas Minahasa Selatan; sebagai contoh ialah kelompok Babi Garo, yang pada sesi-sesi Ngobrol Pintar (Ngopi) mengusung tema “OMK dan Moralitas Hidup”.
Dengan subtema “Pentingnya Moralitas Katolik, terutama bagi OMK”, Mgr. Antonius Benyamin, OCD (Uskup Bandung), sebagai narasumber sesi 1, menjelaskan perbedaan moralitas dan etika. Pada dasarnya, selain bersifat praktis, moralitas berkaitan dengan suara hati dan ditentukan oleh pakem masyarakat – sementara etika bersifat filosofis, berkaitan dengan tindakan etis sesuai dengan kaidah rasional, dan ditentukan oleh akal budi/ hati nuani. Moralitas Katolik ialah penilaian baik buruknya manusia menurut tata cara dan nilai2 Katolik (terutama kasih) sebagai tanggapan atas iman kita kepada Yesus di bawah bimbingan Roh Kudus dalam Gereja Katolik. Pakem Moralitas Katolik ialah pada 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, dan Perintah Utama Allah, yaitu:
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (Im 19: 18, Mat 22: 39, Luk 10: 27).”
Hal utama yang disoroti dalam Moralitas Katolik menurut Mgr. Antonius ialah hal kasih terhadap sesame, seperti ditemukan dalam penggalan ayat berikut: “Hendaklah kamu saling mengasihi satu sama lain, sama seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 13: 14).” Perumpamaan tentang Pria Samaria pada Lukas 10: 25 – 37 merupakan contoh konkret Moralitas Katolik yang tajam. Menanggapi pertanyaan peserta mengenai etika dan moral yang memudar dan digantikan dengan munculnya egosentrisme dan apatisme di kalangan OMK, Mgr. Antonius mengatakan bahwa, “Sebagai tonggak gereja di masa kini dan masa depan, orang muda harus dapat melawan godaan yang menumpulkan suara hati; jangan mengkhianati suara hati, dan segeralah bertobat jika terjatuh. Jadilah orang katolik yang tidak biasa di tengah orang-orang yang biasa.” Terhadap kecenderungan tumpulnya moralitas OMK, Mgr. Antonius mengajak OMK untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Ketika diri sendiri sudah memiliki moral dan etika baik, baru bisa membuat perubahan bagi sekitar; dengan kata lain, untuk menjadi garam dan terang dunia pun harus dimulai dari diri sendiri. Baru-baru ini di Bandung diadakan Sinode OMK untuk menentukan arah gereja dengan fokus pada orang muda yang unggul sebagai pilar gereja, dan orang muda yang menjadi teladan bagi gereja, keluarga, dan masyarakat.
Berbeda dengan sesi 1 yang menekankan pada moralitas dari segi batiniah (spiritualitas), sesi 2 pada Ngopi hari itu lebih berfokus pada moralitas dari segi lahiriah (seksualitas), dengan narasumber Dr. Alix Mulyani Budi dan Rico Arivano. Membahas secara gamblang mengenai penyebaran HIV AIDS dan efeknya bagi masyarakat sebagai penyebab menurunnya moralitas, Dr. Alix mengatakan bahwa dengan tumpulnya moralitas, terdapat suatu stigma atau penolakan terhadap suatu hal berdasarkan prasangka yang mengubah perilaku seseorang. Dewasa ini, seks pranikah sudah mulai dianggap lumrah, yang merupakan ciri lain penurunan moralitas – di sisi lain, kelumrahan tersebut tidak sejalan dengan keberanian untuk mau memperjuangkan kebenaran atas kenyataan yang ada; sebagai contoh: dokter menolak membantu persalinan ibu yang positif HIV AIDS, atau dokter terpaksa berbohong merahasiakan status HIV seseorang karena terikat sumpah medis, atau pelayanan kepada pasien dibedakan berdasarkan jumlah uang yang dibayarkan. Penurunan moralitas ini umumnya didasarkan pada alasan kemiskinan, kurangnya pengetahuan, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar.