Pandangan Pihak Kontra terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap Kedudukan Anak di Luar Perkawinan
Putusan MK tersebut, mendasari adanya pihak yang pro serta kontra di tengah masyarakat. Pihak kontra khawatir bahwa putusan tersebut akan menjadi awal dari legalisasi dan afirmasi kepada pernikahan beda agama, pernikahan siri, serta perbuatan zina.
Pihak yang kontra terhadap putusan tersebut tidak terkecuali MUI, yang kemudian menerbitkan fatwa mengenai anak hasil zina.Â
MUI menganggap hal ini dapat menimbulkan kegelisahan, kerisauan, keguncangan serta dapat mengubah tatanan kehidupan umat agama Islam.Â
Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan penilaian MUI, keputusan tersebut bukan hanya sekedar menginginkan hubungan keperdataan antara ayah dan anak biologis yang tidak tercatat dalam Kantor Urusan Agama (KUA) saja, melainkan menyejajarkan kedudukan antara anak sah dengan anak yang lahir akibat zina.
Berdasarkan fatwa MUI pada 10 Maret 2012, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan karena sekilas terlihat bertentangan terhadap keputusan MK, namun berdasarkan fatwa tersebut, MUI juga tetap melindungi anak hasil perzinahan. Â
Menurut Asrorun Ini'am (sekkom MUI), fatwa MUI tersebut bertujuan menegaskan Mk dalam memberi pertimbangan hukum dalam rangka menjamin perlindungan anak. Dinyatakan dalam bahwa anak tidak sah tidak memiliki hak sebagai ahli waris ayah kandungnya, namun ayah kandung tetap mempunyai tanggung jawab terhadap anak tersebut, yaitu dengan memberi nafkah serta menghibahkan harta saat ayah tersebut meninggal. (Asrorun Ini'am (Ini'am, Asrorun dalam wawancara fatwa MUI, 2010).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa putusan MK hanya menegaskan tentang masalah keperdataan dari anak di luar perkawinan dan tidak membahasa tentang nasab sama sekali. Karena pada dasarnya masing-masing agama memiliki hukum dan peraturan sendiri dalam menyelesaikan permasalahan anak di luar perkawinan.
Stigma Negatif Masyarakat terhadap Anak di Luar Perkawinan
Suatu perbuatan hukum yang berdampak luas serta bersifat privat disebut dengan pernikahan (D. Y Witanto, 2012:225). Pernikahan menimbulkan norma hukum yaitu: kewajiban serta hak antar pasangan, harta, kedudukan anak, perwalian dan lain sebagainya. Sedangkan, kelahiran anak di luar perkawinan dianggap aib karena tidak dianjurkan oleh ajaran agama maupun norma yang berlangsung di masyarakat.
Anak yang lahir tanpa pernikahan atau anak tanpa ayah biasanya disebut sebagai "anak haram". Stigma negatif tersebut mengakibatkan anak di luar perkawinan menjadi dikucilkan dan tersisih dari pergaulan sehingga mereka sulit untuk melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik. Anak di luar perkawinan biasanya menjadi individu yang tertutup dan tidak percaya diri karena stigma negatif yang telah melekat pada diri mereka.
Perlindungan Hukum yang Memadai terhadap Anak di Luar Perkawinan
Seluruh manusia pada umumnya, tanpa adanya anggapan bahwa anak tersebut anak sah maupun anak tanpa perkawinan, keduanya memiliki hak perdata menurut hukum karena mereka merupakan seorang anak. Pasal 1 KUHP menjelaskan bahwa "hak keperdataan dan hak kenegaraan tidak memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain".Â
Karena terdapat perbedaan antara hak kenegaraan dengan hak keperdataan, meskipun secara mendasar hak kenegaran juga mengatur tentang hak keperdataan.
Menurut Undang-undang nomor 35 tahun 2014 menyatakan semua kegiatan yang bertujuan melindungi serta menjamin anak dan hak berkehidupan serta tumbuh kembang serta optimal dalam keikutsertaannya sesuai dengan martabat serta harkat kemanusiaan juga perlindungan terhadap diskriminasi maupun kekerasan disebut perlindungan anak
Pada masalah perlindungan anak, didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang perlindungan anak memaparkan bahwa anak memiliki hak dirawat oleh orang tua kandungnya, akan tetapi dengan adanya aturan atau alasan hukum yang menunjukkan bahwa pemisahan tersebut merupakan pertimbangan terakhir serta demi kebaikan dan kepentingan anak, maka pernyataan di atas dapat dikecualikan.
Menurut Undang-undang Perlindungan Anak pasal 21 ayat (1) dinyatakan "Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban serta tanggung jawab dalam memenuhi hak anak tanpa diskriminasi agama, ras, golongan, etnik, jenis kelamin, golongan, bahasa dan budaya, urutan kelahiran, status hukum, kondisi mental dan fisik".
Upaya dalam Memberi Perlindungan terhadap Anak di Luar Perkawinan
Upaya perlindungan terhadap anak di luar perkawinan dari risiko penelantaran diatur dalam Pasal 71 Undang-undang nomor 35 tahun 2004, yaitu upaya pencegahan, perawatan, pengawasan, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial serta konseling Sehingga, jika timbul tindak pidana pada anak di luar perkawinan, pelaku dapat dikenai hukuman pidana sesuai ketentuan Pasal 341 dan Pasal 342 KHUP sebagaimana ditujukan saat anak dilahirkan. Menurut Pasal 346, 347, 348 KHUP sebagaimana dimaksud pada saat anak masih berada dalam kandungan, mengingat sering terjadi tindak pidana seperti aborsi dan sebagainya.
Putusan MK tersebut juga merupakan upaya perlindungan hukum agar anak tetap menerima haknya dari ayah kandung. Dengan adanya putusan tersebut maka seorang anak akan terhindar dari anggapan "anak haram" atau "tidak mempunyai ayah". Putusan tersebut juga dapat meminimalisir adanya stigma negatif dari masyarakat sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H