PENDAHULUAN
         Prespektif merupakan cara pandang terhadap suatu objek atau tindakan menafsirkan informasi untuk menggambarkan dan memahami lingkungan. Prespektif seringkali menjadi penentu seseorang dalam mengambil tindakan, pasalnya masih banyak dari mereka yang lebih mendengarkan apa kata orang dibanding mengikuti kata hatinya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2024, terjadi peningkatan signifikan dalam angka pengangguran di antara lulusan sarjana, dengan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,18%, naik dari 4,8% pada tahun 2023. Namun jika melihat data secara keseluruhan, kelompok lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi penyumbang terbesar terhadap angka pengangguran, dengan tingkat pengangguran mencapai 9,31% pada tahun 2023. Lulusan sekolah menengah atas (SMA) mencapai 8,15%, sementara diploma/sarjana hanya mencapai angka sebesar 4,78%. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan tingkat upah diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kualitas seseorang maka peluang bekerja semakin luas. Namun, dengan adanya prespektif lulusan sarjana yang pengangguran, masyarakat Indonesia menganggap bahwa pendidikan tidak penting karena tidak menjamin seseorang dalam mendapatkan pekerjaan. Jika hal ini ada terus menerus, maka akan berdampak pada poduktivitas, politik, sosial, dan ekonomi negara.Â
ISI
        Masalah pengangguran merupakan polemik bagi suatu negara. Salah satu faktor yang terkait dengan pengangguran adalah alumni tingkat pendidikan tertentu seperti dari sekolah menengah maupun perguruan tinggi yang tidak terserap dalam pasar tenaga kerja. Lulusan sekolah menengah atas dihadapkan pada persaingan yang tidak berimbang dengan lulusan sekolah menengah kejuruan dari segi keterampilan. Ketersediaan lapangan kerja untuk menyerap lulusan SMA masih sangat sedikit dibanding dengan lulusan SMK. Di sisi lain, melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tidak dapat memberikan jaminan kesuksesan dalam meraih pekerjaan sesuai dengan harapan.Â
Kuliah Hanyalah Pengangguran dengan Gaya
        Ungkapan tersebut sering muncul dari orang-orang yang tidak menempuh bangku kuliah dan merasa dirinya lebih baik dari pada yang berkuliah. Mereka merasa lebih baik dari segi ekonomi karena telah memiliki pekerjaan dan berpenghasilan, sehingga membuat mereka memandang para sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan lebih buruk karena menyia-nyiakan waktu. Terlebih lagi biaya UKT yang dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta tidak jarang membuat segelintir orang menganggap bahwa kuliah hanya menghabiskan uang tanpa ada jaminan pekerjaan. Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan karena terdapat faktor lain seperti ketimpangan antara lapangan pekerjaan dan angkatan kerja. Isu bahwa beberapa orang berhasil tanpa gelar sarjana memang benar adanya. Namun, menyimpulkan bahwa kuliah sama dengan pengangguran bisa memberikan pandangan yang sempit tentang nilai pendidikan tinggi. Kuliah merupakan bentuk investasi diri untuk berkontribusi terhadap masyarakat.Â
       Meskipun pasar tenaga kerja semakin kompetitif, peluang mendapatkan pekerjaan masih terbuka lebar selama sarjana tersebut mampu menggabungkan gelar yang diperoleh dengan pengalaman relevan. Pada dasarnya arti pengangguran adalah tidak bekerja dan berpenghasilan. Tidak sedikit mahasiswa yang hanya berkuliah tanpa bekerja, jadi bisa dibilang mahasiswa juga pengangguran. Namun arti lain dari pengangguran yang tidak melakukan apaapa sangat tidak relevan bagi mahasiswa. Tidak adil jika mahasiswa disamakan dengan pengangguran yang orang pikir hanya rebahan dan hidup tanpa tujuan. Lagi pula lulusan sarjana memang tidak menjamin atas pekerjaan tapi memperbesar peluang mendapatkan posisi yang menjanjikan di industri, karena seorang sarjana memiliki pengetahuan dan keahlian lebih banyak daripada lulusan lain.Â
Apakah Hidup Hanya Sebatas Persoalan Uang?Â
       Mayoritas mahasiswa setelah lulus kuliah adalah mencari pekerjaan, memang itu salah satu tujuan pendidikan, yakni meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Namun hal itu akan menjadi salah ketika tujuan kuliah 'hanya' untuk bekerja. Hakikat berkuliah tidak hanya untuk mencari pekerjaan, tetapi jauh dari pada itu. Kesalahan paling fatal dan sudah menjalar dalam pola pikir masyarakat kita adalah menganggap bahwa berkuliah untuk mencari kerja. Untuk itu kita harus luruskan paradigma kita bahwa kuliah bukan untuk mencari pekerjaan saja, melainkan kita sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan hidup, menjadi pelaku dalam kegiatan hidup, dan mengubah kemampuan diri agar sesuai dengan kebutuuhan hidup melalui peningkatan kualitas diri agar dapat bersaing mengikuti perkembangan zaman. Ingat, kita kuliah dan menjadi mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk lingkungan dan sesama agar terjadi perubahan ke arah yang lebihi baik. Maka singkirkan jauhjauh pemahaman bahwa kuliah itu hanya untuk mencari kerja.Â
Indonesia Susah Maju Karena Keinginan dari Masyarakatnya Sendiri
       Banyak orang berpendapat bahwa kuliah itu tidak penting. Hal ini didasarkan pada banyaknya fakta yang menunjukkan bahwa wisuda tidak menjamin orang untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak maupun penghidupan yang layak. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa banyak lulusan sarjana yang gamang dengan hidup mereka sendiri. Banyak dari mereka yang kurang beruntung dalam mendapatkan pekerjaan dan bahkan banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah selesai kuliah. Fakta ini akhirnya menggiring orang sampai pada kesimpulan kuliah itu tidak penting. Toh, kuliah tidak menjadi jaminan orang akan sukses di masa depan. Jika sumber daya manusianya lemah dan minim pengetahuan, negara kita akan semakin jauh untuk mengejar ketertinggalan kemajuan zaman, sehingga kekayaan alam Indonesia akan tergerus habis dihisap oleh negara-negara asing. Kita dapat melihat bagaimana negara dapat tumbuh menjadi negara hebat yang sejahtera dengan menguasai ekonomi, pertahanan, dan teknologi berkat pendidikan. Indonesia harus berbenah lebih keras lagi membuat gebrakan tegas dengan fokus pembangunan pada aspek pendidikan yang berkarakter dan maju.Â
        Tercapainya pendidikan yang baik akan mendapatkan penghargaan dari negara lain untuk menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Adanya anggapan yang salah justru menyebabkan minat masyarakat pada perguruan tinggi berkurang, sumber daya manusia merupakan kunci untuk sebuah negara maju. Jika hanya sumber daya alamnya yang melimpah, hal itu akan siasia apabila tidak ada manusia yang mampu mengelolanya dengan baik. Pemanfaatan teknologi untuk sumber daya alam tersebut tentunya tida terlepas dari peran pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia berkualitas. Sumber daya alam terbatas jika manusianya jenius akan mampu menghasilkan inovasi dan kreativitas di berbagai bidang. Sebaliknya, pembangunan insfrastruktur akan cepat dirusak oleh masyarakatnya sendiri jika sumber daya manusianya masih rendah.Â
Mau Jadi Apa Indonesia Nanti Jika Masyarakatnya Masih Memiliki Steorotip yang RusakÂ
       Steorotip dan prasangka adalah akar berbagai bentuk dehumanisasi dalam kehidupan manusia. Prasangka terkait kuliah tidak penting, jika dibiarkan terus menerus akan memengaruhi suatu negera. Pasalnya tingkat kualitas sumber daya manusia akan berpengaruh pada struktur dari negara tersebut. Generasi muda nantinya akan menduduki posisiposisi penting dalam sebuah negara. Ketika orang-orang yang mengelola negara tidak benar-benar memiliki kualitas baik, masyarakat dan infrastruktur yang dikelola juga akan kurang optimal, karena rakyat merupakan bentuk hasil dari suatu kinerja seorang pemimpin. Fakta menariknya lagi, tidak semua orang bisa memacu dirinya untuk konsisten belajar dan menjadi pintar, begitu pula tidak semua orang tua mampu mengajar anaknya sendiri. Untuk itu diperlukan sistem yang mengikat yang namanya sekolah. Dalam hal ini, saya kira pendidikan itu sangat penting. Sayangnya, pemerintah Indonesia hanya mewajibkan pendidikan wajib 9 tahun. Itu artinya setelah pendidikan wajib 9 tahun, orang bisa memilih untuk melanjutkan ke perguruan atau sekolah tinggi atau tidak. Tetapi seharusnya pendidikan tinggi melengkapi pendidikan wajib 9 tahun. Justru dengan kuliah, orang mampu memiliki pemikiran sendiri. Itu artinya cakrawala berpikirnya diubah dan cara dia melihat realitas dan dunia pasti berbeda dengan mereka yang hanya sampai menyelesaikan pendidikan wajib 9 tahun.
        Kita sementara tidak berbicara tentang bakat atau telenta masing-masing orang. Tentu berhadapan dengan orang-orang yang berbakat dan bertalenta, lain lagi ceritanya. Tetapi bakat dan talenta itu akan semakin dipertajam dan dieksplorasi dengan maksimal apabila mendapat pendidikan yang cukup. Bakat dan minat saja tidak cukup, perlu diasah dan dipertajam melalui pendidikan. Indonesia akan semakin tertinggal dan tidak dapat bersaing secara global jika sumber daya manusianya tidak mau terbuka dengan pemikiran lain. Indonesia akan hancur oleh masyarakatnya sendiri, krisis ekonomi akan menerjang dan masyarakat tidak dapat berpikir kritis untuk menyelesaikan permasalahan tesebut. Hal itu memungkinkan Indonesia akan kembali dijajah oleh bangsa lain mengingat sumber daya alamnya yang melimpah tetapi sumber daya manusianya tidak dapat mengelola dengan optimal. Ini menjadi kesempatan emas bagi bangsa lain untuk menguasi Indonesia demi kepentingan bangsanya sendiri, dan berakhir dengan Indonesia yang hidup diselimuti kemiskinan, kelaparan, kriminalitas, dan kesenjangan.Â
PENUTUP
       Tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan sarjana di Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi serta kualitas sumber daya manusia. Masyarakat cenderung mengurangi minat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ketika melihat banyaknya lulusan yang menganggur. Hal ini menyebabkan mereka lebih memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan setelah SMA, dengan anggapan bahwa gelar sarjana tidak menjamin pekerjaan yang layak. Pengangguran lulusan sarjana menciptakan persepsi negatif di masyarakat, terutama di kalangan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan tinggi tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan biaya dan waktu yang dikeluarkan. Ketidakpuasan terhadap hasil pendidikan tinggi, yang tidak menghasilkan lapangan kerja, dapat mengarah pada skeptisisme terhadap nilai pendidikan itu sendiri. Ini menciptakan siklus di mana rendahnya minat untuk kuliah dapat memperburuk kualitas sumber daya manusia di masa depan.Â
      Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana menunjukkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Banyak lulusan yang tidak siap menghadapi tantangan di dunia kerja, baik dari segi keterampilan teknis maupun soft skills. Pengangguran dapat menyebabkan masalah sosial seperti frustrasi, kecemasan, dan penurunan kesehatan mental di kalangan sarjana yang tidak bekerja. Ini berdampak pada produktivitas dan kontribusi mereka terhadap masyarakat dan ekonomi. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, perlu adanya reformasi dalam sistem pendidikan tinggi agar lebih relevan dengan kebutuhan industri. Hal ini termasuk pengembangan kurikulum yang lebih sesuai dan program pelatihan yang efektif bagi mahasiswa. Secara keseluruhan, tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan sarjana berpengaruh negatif terhadap minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi serta kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan. kolaborasi antara institusi pendidikan, pemerintah, dan sektor industri dalam menciptakan program yang mendukung kesiapan kerja lulusan serta meningkatkan persepsi positif tentang pentingnya pendidikan tinggi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H