Subsidi bahan bakar fosil adalah salah satu kebijakan yang telah lama dipertahankan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, di balik manfaat jangka pendeknya, subsidi ini menyimpan konsekuensi serius bagi lingkungan dan ekonomi. Seperti yang disampaikan oleh aktivis lingkungan Bill McKibben, subsidi bahan bakar fosil merupakan "investasi ke masa depan yang tidak berkelanjutan." Di Indonesia, subsidi ini memperburuk ketergantungan pada energi kotor, menghambat transisi ke energi terbarukan, dan melemahkan upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan.
Komitmen global terhadap pengurangan subsidi bahan bakar fosil semakin nyata, salah satunya tercermin dalam Bali Leaders' Declaration pada KTT G20 tahun 2022. Deklarasi tersebut menekankan perlunya mempercepat transisi energi rendah emisi. Keseriusan ini juga kembali ditegaskan dalam COP28 Dubai, dengan fokus pada percepatan investasi energi terbarukan di negara-negara berkembang. Indonesia, yang memiliki potensi besar dalam energi baru terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, biomassa, mikrohidro, dan nuklir, berpeluang besar menjadi pionir transisi energi bersih di kawasan Asia Tenggara.
Namun, potensi tersebut membutuhkan dukungan yang lebih nyata. Berdasarkan Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Indonesia menargetkan kontribusi EBT sebesar 17% dalam bauran energi nasional pada 2025. Sayangnya, pencapaian target ini membutuhkan percepatan signifikan, terutama dalam hal pendanaan dan implementasi kebijakan yang konsisten. Di sinilah penghentian subsidi bahan bakar fosil menjadi langkah krusial untuk membuka ruang bagi pengembangan energi bersih.
COP29: Meleset dari Target Pendanaan Krisis Iklim
Dalam konteks global, hasil Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (COP29), yang baru saja berakhir pada 22 November 2024 di Baku, Azerbaijan, menunjukkan betapa mendesaknya untuk mempercepat transisi energi dan penghentian subsidi bahan bakar fosil. Meskipun telah menetapkan target pendanaan mitigasi krisis iklim sebesar 1 triliun dollar AS per tahun, hanya tercapai 300 miliar dollar AS, yang dirasa jauh dari cukup untuk menanggulangi krisis yang semakin mendalam.
Sekretaris Jenderal PBB, Antnio Guterres, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pencapaian ini, namun tetap berusaha bersikap positif dengan menyebut bahwa dana yang terkumpul setidaknya menjadi langkah awal dalam upaya penanggulangan krisis iklim. Kekecewaan juga datang dari banyak negara berkembang yang merasa bahwa dana yang dijanjikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, terutama terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan peralihan menuju energi terbarukan.
Pentingnya dana tersebut tidak hanya untuk menanggulangi dampak langsung perubahan iklim, tetapi juga untuk mendukung negara-negara berkembang dalam peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. Ini mencakup pembiayaan proyek-proyek energi bersih dan pengurangan emisi karbon, yang sangat diperlukan untuk menghindari dampak lebih lanjut dari pemanasan global.
Indonesia Berdagang Krisis Iklim pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29)
Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) yang diadakan di Baku, Azerbaijan, pada 22 November 2024, Indonesia menghadapi sorotan tajam terkait komitmennya terhadap penanggulangan krisis iklim. Sementara COP29 menunjukkan kemajuan terbatas, dengan dana mitigasi iklim yang jauh dari target yang diharapkan, Indonesia mengambil pendekatan pragmatis dengan mempromosikan solusi berbasis pasar, seperti perdagangan karbon dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS). Dalam pidato yang disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo, Kepala Delegasi Indonesia, yang juga merupakan utusan khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Indonesia menekankan pentingnya pendanaan untuk proyek reforestasi dan potensi pasar karbon, namun kurang menyoroti upaya serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dominasi kepentingan bisnis korporasi dalam kebijakan iklim Indonesia. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dalam tanggapannya mengkritik keras pendekatan pemerintah yang lebih mengutamakan model bisnis karbon ketimbang langkah nyata untuk menurunkan emisi secara signifikan. WALHI menganggap bahwa langkah ini hanyalah bentuk perdagangan krisis iklim yang tidak menjamin perlindungan rakyat dan lingkungan hidup. Bisnis karbon yang melibatkan grup-grup besar seperti Adaro, Saratoga, dan Harita Group, yang memiliki konsesi untuk restorasi ekosistem dan penyimpanan karbon, dapat memperburuk ketidakadilan ekologi, karena banyak dari mereka adalah aktor utama dalam pengrusakan hutan untuk perkebunan monokultur dan ekstraksi sumber daya alam.
Di tengah pembicaraan tentang ambisi penurunan emisi karbon Indonesia menuju nol bersih pada 2060, pemerintah Indonesia tetap mempertahankan model pertumbuhan ekonomi yang mengutamakan sektor ekstraktif dan energi fosil, yang dipandang oleh WALHI sebagai ancaman bagi keberlanjutan lingkungan. Selain itu, upaya reforestasi yang diumumkan oleh Presiden Prabowo, yaitu penanaman kembali 12,7 juta hektar lahan kritis, menjadi sorotan, dengan pertanyaan apakah ini akan melibatkan tanah yang sudah dialokasikan untuk Perhutanan Sosial atau justru akan menjadi alat perampasan tanah rakyat.