Mohon tunggu...
Tika Amanda
Tika Amanda Mohon Tunggu... -

Karena rasa itu untuk diungkapkan dengan wadah yang halal..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamuflase Derit Jendela

6 September 2012   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bosan. Itulah kira-kira gambaran masa yang harus kulalui waktu liburan SD dulu. Entah itu liburan kelas berapa saja aku sudah lupa. Tapi satu tak ku lupa. Moment kecil itu.

Fajar sudah melepas kepergian sang waktu. Tentunya tidak pagi lagi sekarang. Jam 10.00 WIB!! Tapi, itu bukan waktuku keluar sarang. Sudah tentu ibuku yang cantik melarang, apalagi hanya untuk alasan bermain sepeda sama kawan. Mau ajak kawan main ke sini, ibu bilang nanti saja karena rumah masih berantakan habis rehab. Terpaksa, kupendam inginku dulu.

Ada satu makhluk manusia bertubuh kering dan legam, masih asyik di peraduan. Yah, manusia itu abangku. Dia saat itu masih murid SMA. Dan pertanyaan polosku saat itu, "Akankah aku sepertinya jika aku seusianya?"

Sengaja kubangunkan abangku yang masih terlena dalam dekapan selimut, tak peduli matahari sudah meninggi. "Bangunlah bang, temenin aku main yok!", pintaku sedikit merengek. Tak mempan satu kali. Tarik selimut, tarik baju, goyang kaki. Untung saja kasurpun tak kuguncang. Dan akhirnya. Mata sayunya sedikit terbuka, walau belum sepenuhnya terbuka.

Dengan berat hati, abang  lantas merelakan dirinya lepas dari hangatnya dekapan selimut dan empuknya busa kasur. Tak berkata apapun. Tapi pasti mengoceh dalam hati, hanya malas saja mengeluarkan kata pedasnya. Dia diam berlalu. Malas ku mengikuti, menempel, atau menjadi intel. Yah..biarkanlah dulu. Abangku masih terkena  efek bangun tidur, apalagi dia juga libur.

***

Sudah dua jam kuberi waktu. Sekarang saatnya! Ya, saatnya cari teman bermain di rumah! Daripada ku mengering bagai cabai yang tak terpakai berhari-hari, lumut kerak pun muncul sampai aku menunggui liburan ku usai tanpa sesuatu yang dapat kumainkan. (Yah, begitulah pikiran khayal luar biasa anak SD dulu)

“Ayolah, bang! Kita main..!! Kasian aku tak punya kawan main di rumah, mau keluar main belum bisa..Teganya tak ada yang mau mengajakku main di rumah”, rengekku mengasihani diriku sendiri.

Ya, aku bungsu tiga saudara dimana saudaraku laki-laki semua. Tak ada cara mengajak saudaraku bermain mengikuti inginku kecuali dengan rengekkan seperti itu. Di saat itu. (Hahaaa)

“Ya sudah, ayo kita main! Tapi kali ini, tak ada main boneka-bonekaan. Kalau merengek, boneka barbie adek abang jadikan korban lagi kayak Chucky. Kali ini ikut abang main..”.

(Mau tahu sobat? Kalau abangku mau main denganku karena terpaksa, maka boneka barbieku menjadi sasarannya. Tanpa rasa bersalah dan berdosa, sigap segera boneka-boneka cantik itu di gunduli atau wajahnya dicoret jadi garong, bahkan ada yang mirip Si Chucky. Olalaaa..)

Ternyata permainan yang mau dia ajak adalah catur setengah. Sampai sekarang aku tak tahu nama permainan itu. (Yang ku tahu itu hanya memainkan setengah bagian papan catur dimana buahnya dipilih sendiri dan mengisi dua baris di ujung. Mainnya dengan cara pion tersebut melangkahi satu kotak pion disebelahnya hingga sampai di tempat lawan dengan formasi yang lengkap.)

Ya sudah, aku pasrah saja. Daripada tak diajak main.

***

Sudah hampir satu jam main permainan itu. Ngantuk! Tapi abangku sepertinya berekspresi biasa saja. Jelas saja aku mengantuk. Untuk anak seumuran itu, siapa tidak mengantuk diajak main seperti itu dengan suasana seperti sedang tanding catur skala nasional saja? Lengkap dengan suasana sunyi rumah bak di kuburan. Maklum jam siang biasanya tivi rumah diistirahatkan dulu. Huufh...terima sajalah nasibku..

Untunglah datang angin yang bersemilir lembut mengendap dari balik jendela. “Aah, segar..”, dalam hatiku. Tetap sunyi. Hingga terdengar suara derit jendela perlahan namun panjang, setidaknya memecah kesunyian sesaat. Mataku masih fokus pada papan catur. Sampai akhirnya terdengar suara terkekeh kecil yang tidak kusadari sebelumnya, membuyarkan fokusku. Kuangkat wajahku. Kulihatlah tubuh makhluk manusia didepanku itu bergetar. Makin lama makin kecang hingga gelak tawa menggelegar membuncah. Apa ada sesuatu yang tak kusadari terjadi?

Abangku, yang dari tadi super serius, memecah keheningan itu. Tapi apa penyebabnya?

“Ada yang aneh, Bang?”

“Bwahahahaaa..Tidak, tidak..”

“Lantas kenapa tertawa?”

“Alhamdulillah tidak apa-apa..”, jawab abang sambil terkekeh.

Beberapa detik suasana netral dan terkendali. Saat aku kembali fokus dengan papan catur. Kudengar kembali suara terkekeh dari abangku. Mungkin dia benar-benar tak bisa menahan gelinya.

“Jadi adek bener-bener tak tau?”

“Apaa??!”

“Suara tadi. Yang "piuuuuuuuuuutttt" itu lho..”, kata abang mencontohkan.

Otakku tidak menemukan koneksi.

“Suara jendela kena angin kan tadi..”, jawabku.

“Bwahahahahahahahahaaa...”, tawa semakin menggelegar.

Sejurus aku tahu. Aku benar-benar thau maksudnya. Ternyata, suara pertama yang memecah keheningan itu, yang kukira dengan polosnya itu suara derit rintih jendela terhembus angin, ternyata adalah....KAMUFLASE KENTUT ABANGKU!!

END.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun