Taaruf lebih dianjurkan dalam Islam bagi pria dan wanita yang sama-sama ingin menjajaki untuk ke jenjang pernikahan. Sebab Islam tak mengenal pacaran. Nah, dalam perkembangannya, taaruf bisa dilakukan secara online. Ustaz Yusuf Mansur menyebutkan tata cara taaruf online sesuai syariah Islam.
Taaruf harus benar-benar dilakukan untuk tujuan pernikahan, bukan bercanda atau mempermainkan orang lain. Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam mengingatkan kepada semua pemuda yang sudah mampu untuk segera menikah. Dengan menikah seseorang akan lebih dapat menahan pandangan dan kemaluan. Itulah spirit yang dibawa oleh taarufindonesia.com.
Tren taaruf digital mulai berkembang di Indonesia. Sebuah website taaruf dengan biaya pendaftaran Rp50.000, misalnya, digunakan sekitar 10.000 laki-laki dan perempuan. Menurut pernyataan salah satu pengguna situs taarufindonesia.com
Taaruf biasanya dilakukan dengan melalui perantara seperti teman, anggota keluarga, guru mengaji, atau kenalan lain yang bersedia menjadi makcomblang.
Namun, di era digital seperti sekarang, proses taaruf makin mutakhir. Kini peminat taaruf di Indonesia dapat memilih mencari calon pasangannya lewat aplikasi taaruf, media sosial, dan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp.
Taaruf menjadi salah satu elemen gerakan antipacaran yang lebih luas di Indonesia. Mereka yang menolak pacaran memandang pacaran sebagai hal yang dapat merusak generasi muda, terutama bagi perempuan.
Sementara kritik dari gerakan antipacaran menilai gerakan ini adalah salah satu contoh bergeraknya Indonesia ke arah yang lebih konservatif dari segi agama.
Di tengah pro kontra yang terjadi, tren taaruf digital menarik minat ribuan laki-laki dan perempuan Indonesia.
Yanuar Ari Saputro misalnya, ia bertemu dengan istrinya, Zara Oktavianita, pada Juni tahun lalu melalui aplikasi taaruf.
Yanuar, seorang karyawan swasta di bidang teknologi informasi,mengaku mengetahui tentang taaruf dari film Ayat-Ayat Cinta yang tayang pada 2008. Di film tersebut, pemeran utama Fahri dijodohkan oleh Aisha melalui seorang ulama besar Mesir. Setelah taaruf atau berkenalan, keduanya menikah dalam waktu satu minggu.
'Banyak pintu' menuju jodoh
Namun proses taaruf yang dijalani Yanuar tidaklah semudah Fahri. Ia mengaku sudah mulai taaruf selama lebih dari dua tahun melalui "banyak pintu".Â
"Ada yang lewat titip CV (curriculum vitae) ke ustadz, ke teman. Saya dari remaja belum pernah pacaran sama sekali, Alhamdulillah," ujar pria berusia 30 tahun tersebut.
"Pacaran menunjukkan ketidakseriusan. Kalau (seseorang) pacaran, dia belum siap bertanggung jawab atas kehidupan seorang wanita dan dia tidak serius. Dia memandang wanita itu mungkin dari wajahnya saja, tapi tidak dari kepribadian sifat dan pemikirannya. Makanya saya kurang setuju dengan pacaran."
Hal yang sama juga dirasakan Zara, yang baru memutuskan taaruf tahun lalu. Sebelum mencoba mencari pasangan lewat aplikasi, Zara memutuskan untuk bergabung dengan sebuah grup WhatsApp taaruf yang dikelola oleh seorang ustadz dari sebuah pesantren. Untuk bergabung dengan grup WhatsApp tersebut, Zara mengatakan bahwa calon peserta taaruf biasanya membayar biaya registrasi senilai sekitar Rp50.000.
Jika seorang peserta telah setuju menerima CV peserta lain, admin grup akan membuat grup terpisah dengan kedua peserta, dan admin, di dalamnya.
Dalam grup WhatsApp ini, peserta perempuan dan laki-laki ditempatkan dalam grup yang berbeda.
Peserta ta'aruf laki-laki berjumlah sekitar 30 orang, sementara perempuan kurang lebih 100 orang.
"Jumlah perempuan memang lebih banyak dari laki-laki karena biasanya perempuan lebih siap untuk menikah langsung," ujar Zara.
Dari grup taaruf tersebut, tiga laki-laki telah datang ke rumah Zara di Bekasi dengan maksud nadzor, tahapan kedua dalam taaruf di mana laki-laki datang ke rumah orang tua perempuan dan mereka diperbolehkan melihat wajah dan anggota tubuh calon istri--hanya untuk bagian yang diperbolehkan dalam syariat Islam seperti wajah atau telapak tangan--setelah keduanya berkenalan.
Dalam tahapan ini, laki-laki dan perempuan juga bisa saling bertanya untuk melihat kecocokan di antara keduanya.
Zara mengaku tidak cocok dengan ketiganya lantaran perbedaan pandangan soal rumah tangga. Salah satu laki-laki, misalnya, ingin calon istrinya bekerja untuk membantu keuangan keluarga.
"Berdasarkan pemahaman saya, setelah menikah seorang istri itu memang kewajibannya di rumah. Jika dia ikut bekerja, berarti laki-laki itu kurang mengerti untuk tugas-tugas dan hak istri, jadi dia belum cocok sama saya," kata ibu rumah tangga berusia 25 tahun tersebut.
Kemudian Zara tertarik bergabung dengan aplikasi Taaruf Online Indonesia, yang membuka stan di sebuah acara yang ia datangi.
Setelah bergabung, Zara mengaku melihat puluhan profil laki-laki sebelum perhatiannya tertuju ke profil Yanuar.
"Saya buka banyak profil, tapi yang satu visi misi itu dia. Dia menulis ingin hidup sesuai dengan syariat Islam yang menyeluruh, membangun keluarga dakwah yang mencegah kemungkaran dan saling menasihati," ujar Zara. Ia pun mengajukan CV ke Yanuar.
"Saya sudah dua atau tiga bulan uninstall aplikasi itu, karena belum ada yang cocok. Ketika Juni 2019, saya di-WhatsApp adminnya, dia bilang ada yang mengajukan CV ke kamu, jadi saya install lagi," ujar Yanuar kepada BBC News Indonesia.
"Saya kaget. Aplikasinya sudah saya hapus, kok ada yang mengajukan [CV] ke saya berani juga ini perempuan. Lalu saya lihat, secara visi misi cocok."
Keduanya pun menikah pada September 2019, atau tiga bulan setelah Zara mengajukan CV-nya ke Yanuar.
"Pertama, ini bentuk keseriusan (seseorang). Lalu ongkos untuk mediator kita ke lokasi (rumah orang tua perempuan) karena seringkali ada beberapa pasangan yang ingin bertemu dan jarak dari rumah mediator bisa sampai 20 km, saya merasakan itu. (Alasan) yang ketiga, untuk biaya pengembangan aplikasi itu sendiri, untuk bayar adminnya, bayar pegawai sehari-hari. Tidak ada dalil untuk melarang (pengenaan biaya bagi proses taaruf), ini mubah, boleh," jelas Rizki.
Pengguna juga harus menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memastikan keaslian identitasnya, meski pendiri aplikasi ini mengaku belum memiliki metode untuk mengetahui catatan kriminal seseorang.
Dalam aplikasi ini, nama asli dan foto pengguna disamarkan supaya "yang pertama dicari bukan kecantikan atau kegantengan, melainkan inner beauty-nya atau sikapnya dalam sehari-hari," kata Rizki.
Ketika seorang pengguna tertarik pada sebuah profil, ia bisa mengajukan CV kepada orang tersebut. Jika diterima, maka kedua pengguna dapat saling melihat nama dan foto CV masing-masing.
Untuk mengajukan pertanyaan, komunikasi, dan menuju ke nadzor, aplikasi akan menyediakan mediator "untuk menghindari orang-orang yang cuma ingin sekadar kenalan tapi tidak menikah," kata Rizki.
Kehadiran perantara ini membuat aplikasi taaruf berbeda dengan Tinder, OkCupid, atau aplikasi percintaan lainnya, di mana seorang pengguna dapat langsung berkomunikasi dengan pengguna lain jika satu sama lain tertarik.
"Pacaran itu kan sesuatu yang umum, (lalu) muncul aplikasi taaruf ini. Di dunia, ada aplikasi Tinder, tapi kita muncul dengan sesuatu yang berbeda dengan platform yang beda. Bagi saya taaruf itu bukan sesuatu yang konservatif tapi wajah dinamika dalam Islam, ini adalah solusi bagi pernikahan seseorang," kata Rizki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H