(Cerpen ini sebelumnya sudah pernah dimuat di sini)
Di depanku telah terhidang sepiring nasi pecel. Harus kuakui, penyajian nasi pecelnya memang persis seperti nasi pecel Mak Yah. Porsi nasinya menggunung. Ditambah guyuran kuah rawon. Ada tahu bali, dadar jagung, dan tempe goreng sebagai lauk utama. Dan pembeli juga boleh memilih lauk tambahan seperti daging sapi atau telur bali.
Sebelum aku menyantap sarapan pagi ini, Yudha tersenyum ke arahku.
“Sudah berapa lama ya kita tidak sarapan bareng begini?”
“Sejak kamu pindah kos barangkali”
“Bukannya sejak kamu patah hati?”
Kami tertawa bersamaan. Mengingat kembali masa-masa kuliah. Masa-masa tinggal satu kosan. Segalanya menghambur begitu saja, termasuk tentang nasi pecel Mak Yah yang menjadi langganan kami semasa kuliah.
Yudha lah yang pertama kali mengenalkanku kepada nasi pecel Mak Yah. Suatu pagi ia menggedor-gedor kamarku sambil teriak-teriak membangunkanku. Padahal aku baru tidur dua jam sebelumnya. Biasanya aku akan marah pada orang yang mengganggu tidurku. Tapi saat itu aku tak punya alasan untuk marah pada Yudha. Ia memang kumintai tolong untuk membangunkan aku jika ada kuliah pagi.
“Ayo sarapan, aku nemu warung baru. Pecel kuli!”
Pecel kuli, begitu Yudha menyebut nasi pecel Mak Yah. Tentu saja karena nasinya yang sangat banyak seperti porsi makan seorang kuli. Setelah penjajakan pertama kali itu, aku hampir tak pernah absen sarapan pagi di warung nasi pecel Mak Yah. Pertama, karena harganya ramah di kantong anak kos. Kedua, porsinya banyak dan rasanya enak.
Di kampus aku sering mengampanyekan nasi pecel Mak Yah kepada teman-teman. Hasilnya tidak sia-sia, teman-temanku banyak yang ketagihan makan di sana. Banyak sebutan disematkan untuk nasi pecel Mak Yah oleh teman-temanku. Rusdi selalu bilang, “Aku sudah makan tadi di Tlogomas,” Itu artinya ia baru saja makan di Mak Yah yang memang tempat berjualannya di tlogomas. Abednego bilang, “Ayo besok kita makan di nasi pecel satu hari,” Menurutnya makan nasi pecel Mak Yah bisa membuatnya kenyang dalam satu hari. Doni menyebutnya “Pecel Bu Jutek” karena Mak Yah tak pernah tersenyum ketika melayani pembelinya.
Di kota ini, banyak sekali pendatang dari berbagai daerah yang mengadu nasib. Tidak sedikit di antara mereka yang memilih bisnis makanan. Salah satunya berjualan nasi pecel. Mereka biasanya menamai warung nasi pecel mereka dengan embel-embel daerah asal mereka. Di belakang kampusku ada Nasi Pecel Blitar, di samping kosku ada Nasi Pecel Madiun, ada juga Nasi Pecel Ponorogo, Nasi Pecel Tumpang Kediri, dan sebagainya, dan sebagainya.
Hampir semua nasi pecel sudah pernah aku jajaki. Aku hafal betul perbedaan dan persamaan setiap nasi pecel. Nasi pecel Kediri dalam penyajiannya selalu ditambahkan sambal tumpang yang terbuat dari tempe busuk. Nasi pecel Blitar di atas bumbu pecelnya biasanya ditambahi taburan serundeng. Nasi pecel Madiun punya ciri khas penyajian menggunakan pincuk. Nasi pecel Ponorogo ciri khasnya terletak pada lauk pauknya yang hanya keripik tempe atau rempeyek.
Sedangkan nasi pecel Mak Yah amat sangat berbeda dari semua nasi pecel yang ada di kota ini. Jika nasi pecel lain punya kesamaan dalam penggunaan sayuran rebus; kacang panjang, taoge, mentimun, daun singkong, dan daun kemangi, Mak Yah berbeda. Ia hanya menggunakan dua jenis sayuran rebus; taoge dan sawi. Mak Yah menurutku juga cukup berani dalam menabrak pakem dunia nasi pecel dengan menambahkan kuah rawon ke dalam nasi pecelnya.
Pak Naryo bilang Mak Yah mengadopsi konsep rujak soto asal Banyuwangi. Rujak petis yang disiram soto daging. Kata Pak Naryo, Mak Yah mencoba membuat konfigurasi seperti itu, antara pecel dan kuah rawon.
Menurut Pak Kardi beda lagi, nasi pecel Mak Yah bisa ditemui di sepanjang jalur pantura Jawa Timur. Di sana banyak penjual nasi pecel yang sama seperti Mak Yah, nasi pecel kuah rawon. Pak Kardi jika sedang melawat ke daerah pantura sering disuguhi menu itu.
Aku pernah mengajak keluargaku sarapan di warung Mak Yah. Bapakku membabat habis seporsi nasi pecel kuah rawon lengkap dengan dua potong daging sapi. Arinda, adikku, tidak kuat menghabiskan satu porsi nasi pecel tanpa kuah rawon. Sehingga aku dengan senang hati menjadi tukang sapu bersih makanan Arinda. Ibuku usai membayar makanan membeli satu bungkus bumbu pecel Mak Yah untuk dibawa pulang. “Bumbunya enak. Nanti di rumah mau tak tiru,” Kata ibu.
Jika suatu hari nasi pecel Mak Yah tutup, pelanggannya pasti protes ketika Mak Yah buka lagi. Mereka protes seperti anak ayam yang bercicit ketika melihat induknya datang membawa makanan. Mak Yah dengan dingin, tanpa menoleh, tanpa tersenyum, hanya menyahuti ketus “Mbok pikir aku iki robot ta rek?” Mereka lalu tertawa.
Ketika aku hampir lulus kuliah nasi pecel Mak Yah masih terkenal di kampusku. Namun kali ini ada satu orang lagi yang ikut terkenal, yaitu Bening. Kabarnya, Bening adalah putri Mak Yah sekaligus orang di balik kelezatan bumbu pecel Mak Yah. Bumbu pecel yang memiliki cita rasa manis pedas yang kuat. Teksturnya sedikit kasar sehingga ketika mengunyah ada sensasi kriuk. Beberapa teman perempuanku yang jago masak bilang, selain kacang tanah, ada campuran kacang mede juga di dalamnya.
Abednego mengaku pernah bertemu Bening di pasar. Ia lihat Bening sedang belanja kencur, gula merah, garam, cabai, daun jeruk purut, kacang tanah, dan kacang mede. Yudha pernah dengar cerita dari seorang pelanggan Mak Yah kalau Mak Yah sebenarnya bukan orang asli kota ini. Ia merantau ke sini karena ingin menemani Bening yang kuliah. Rusdi mengaku pernah melihat Bening sedang menumbuk bumbu pecel di kontrakan Mak Yah yang kebetulan letaknya di samping kontrakan pacarnya.
Hingga datang satu pagi yang menyebalkan bagiku dan bagi para pelanggan Mak Yah yang lainnya. Warung Mak Yah tutup dalam waktu yang lama. Entah apa yang terjadi pada Mak Yah, aku pikir hanya satu dua hari atau paling lama seminggu ia akan tutup. Ternyata tidak, sudah hampir satu bulan ia tidak kunjung buka warung. Semua perabotan warungnya kata Yudha semalam sudah diangkut truk. Mungkin Mak Yah pindah tempat jualan, pikirku.
Setelah berbulan-bulan, beredar kabar ada warung nasi pecel buka di tempat Mak Yah. Selama dua hari kuamati antrean mahasiswa berjejal di sana. Hari ketiga aku pun ikut antre. Sampai pada giliranku, aku lihat penjualnya bukan Mak Yah. Ah, mungkin kerabatnya, pikirku. Ketika akhirnya aku mencicipi nasi pecel itu, ternyata sama sekali tidak ada nuansa Mak Yah. Beberapa minggu kemudian warung itu sepi.
Warung pertama yang mencoba peruntungan di tempat Mak Yah gagal. Ia bertahan tidak sampai satu semester. Lalu muncul lagi warung pecel di sana. Di kain warung itu tertulis: Nasi Pecel Kuah Rawon Mak Sum. Tulisan itu berhasil menjadi magnet untuk para mantan pelanggan Mak Yah. Pertama, ada iming-iming nasi pecel kuah rawon. Kedua, ada kata-kata “Mak”.
Tapi nasib warung itu ternyata tidak jauh beda dengan warung yang pertama. Bertahan tidak lebih dari satu semester kemudian tutup. Untuk ketiga dan seterusnya, kami tidak lagi antusias dengan warung-warung yang berdiri di sana. Paling-paling sama seperti yang sebelumnya, begitu pikir kami.
***
Aku sudah menandaskan sarapanku. Yudha masih sibuk memotong-motong daging sapinya. Daridulu cara makan Yudha tidak pernah berubah. Nasinya dihabiskan lebih dulu, lauk utama ia jadikan penutupan.
“Bagaimana? Sekarang kamu percaya kan ada reinkarnasi Mak Yah?” Tanya Yudha.
Aku hanya tersenyum.
“Kenapa? Ada yang kurang? Memang bumbu pecelnya kurang kuat seperti bumbu pecel Mak Yah”
“Tentu saja yud, bukan tangan Bening yang menumbuk” Jawabku sambil tetap tersenyum.
“Eh tapi apa benar ya warung Mak Yah tutup gara-gara kejadian itu?”
Samar-samar ingatanku kembali lagi pada kejadian itu. Kampusku begitu heboh waktu itu. Media massa memberitakan telah terjadi kecelakaan di daerah Batu. Sebuah mobil melaju sangat kencang dari arah Songgoriti. Saking kencangnya, menurut saksi mata ban mobil tampak tidak menyentuh aspal. Mobil itu kemudian menabrak pohon dan hancur tak berbentuk.
Pers kampus turut meliput kejadian itu. Aku terperanjat kaget ketika membaca liputan teman-temanku dari pers kampus. Sembilan penumpang mobil diberitakan tewas. Bening salah satu di antara mereka. Dan dua hari setelah kejadian itu warung Mak Yah tutup, benar-benar tutup selamanya.
Aku tidak menjawab pertanyaan Yudha yang terakhir. Kami segera beranjak dari warung usai Yudha membayar semua makanan kami. Pagi terasa begitu cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H