Setelah berbulan-bulan, beredar kabar ada warung nasi pecel buka di tempat Mak Yah. Selama dua hari kuamati antrean mahasiswa berjejal di sana. Hari ketiga aku pun ikut antre. Sampai pada giliranku, aku lihat penjualnya bukan Mak Yah. Ah, mungkin kerabatnya, pikirku. Ketika akhirnya aku mencicipi nasi pecel itu, ternyata sama sekali tidak ada nuansa Mak Yah. Beberapa minggu kemudian warung itu sepi.
Warung pertama yang mencoba peruntungan di tempat Mak Yah gagal. Ia bertahan tidak sampai satu semester. Lalu muncul lagi warung pecel di sana. Di kain warung itu tertulis: Nasi Pecel Kuah Rawon Mak Sum. Tulisan itu berhasil menjadi magnet untuk para mantan pelanggan Mak Yah. Pertama, ada iming-iming nasi pecel kuah rawon. Kedua, ada kata-kata “Mak”.
Tapi nasib warung itu ternyata tidak jauh beda dengan warung yang pertama. Bertahan tidak lebih dari satu semester kemudian tutup. Untuk ketiga dan seterusnya, kami tidak lagi antusias dengan warung-warung yang berdiri di sana. Paling-paling sama seperti yang sebelumnya, begitu pikir kami.
***
Aku sudah menandaskan sarapanku. Yudha masih sibuk memotong-motong daging sapinya. Daridulu cara makan Yudha tidak pernah berubah. Nasinya dihabiskan lebih dulu, lauk utama ia jadikan penutupan.
“Bagaimana? Sekarang kamu percaya kan ada reinkarnasi Mak Yah?” Tanya Yudha.
Aku hanya tersenyum.
“Kenapa? Ada yang kurang? Memang bumbu pecelnya kurang kuat seperti bumbu pecel Mak Yah”
“Tentu saja yud, bukan tangan Bening yang menumbuk” Jawabku sambil tetap tersenyum.
“Eh tapi apa benar ya warung Mak Yah tutup gara-gara kejadian itu?”
Samar-samar ingatanku kembali lagi pada kejadian itu. Kampusku begitu heboh waktu itu. Media massa memberitakan telah terjadi kecelakaan di daerah Batu. Sebuah mobil melaju sangat kencang dari arah Songgoriti. Saking kencangnya, menurut saksi mata ban mobil tampak tidak menyentuh aspal. Mobil itu kemudian menabrak pohon dan hancur tak berbentuk.