Dengan di bantu kacamata minus berantai, mata Rani membacai setiap paragraf dengan serius. Tangan lincahnya sesekali meraih teh tawar di sandingnya untuk di seruput. Rani membaca buku itu, kakek menyisipkan dengan diam-diam ke dalam ranselnya sebelum Rani pulang ke ibukota.
Tidak beberapa lama, Rani menutup buku itu, melepas kacamatanya, dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Kepalanya menengadah ke atas, melihat bayangannya sendiri yang memantul buram di atap kamar kosnya. Kemudian ia pejamkan mata, bukan untuk tertidur, tapi mencoba membuka lorong waktu dan membayangkan sesuatu.
Membayangkan suami-istri yang kelaparan, anak-anak terserang malaria, kerbau-kerbau orang miskin di rampas pejabat desa demi kepentingan penguasa. Membayangkan mayat mereka bergelimpangan di jalan, membusuk, kemudian di sepak oleh mandor. Penguasa yang tidak segan-segan memberondong peluru kepada para pekerja yang malas-malasan, menyembelih warga yang memberontak, meratakan rumah-rumah warga dengan bazooka.
Membayangkan betapa mereka kini sedang melihat anak cucunya yang melupakannya. Mungkin di bawah aspal jalan ini mereka menangis, meraung, dan mungkin juga ada yang tersenyum. Tersenyum senang melihat anak cucunya hidup bahagia, tak menderita seperti dirinya dulu.
Dan tentu saja semua itu hanya sekedar bayangan Rani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H