Selain itu, pembentukan norma sosial juga dapat terjadi melalui interaksi antara eksil dengan masyarakat lokal di tempat tinggal baru, di mana mereka mungkin merasa terpinggirkan atau dianggap sebagai "orang asing" yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, eksil menjadi sebuah pengalaman yang tidak hanya melibatkan perpindahan fisik, tetapi juga konfrontasi dengan mekanisme kekuasaan yang meliputi pengendalian pengetahuan dan pembentukan norma sosial di lingkungan baru.
Menurut buku yang berjudul, Marx's Inferno: The Political Theory of Capital menegaskan bahwa teori Marxisme secara kritis memeriksa struktur kekuasaan dalam masyarakat dan menyelidiki peran institusi-institusi dalam mempertahankan ketidaksetaraan dan dominasi. (Roberts, 2017). Â Marxisme, menyoroti bagaimana struktur ekonomi memengaruhi distribusi kekuasaan dan pengendalian dalam masyarakat.
Di sisi lain, Foucault mengeksplorasi kekuasaan sebagai fenomena yang tersebar di seluruh jaringan sosial, termasuk lembaga-lembaga, pengetahuan, dan praktik kehidupan sehari-hari. Dalam konteks eksil, kedua pandangan ini dapat diterapkan untuk memahami bagaimana individu melawan dominasi kekuasaan negara atau ekonomi yang memaksa mereka meninggalkan negara mereka. Eksil bisa dipandang sebagai perlawanan simbolis terhadap kontrol dan dominasi kekuasaan, baik dari sudut pandang Foucault maupun Marx.
Jika memandang film eksil ini dengan teori foucault sebagai pengkajian diskursus yaitu, cara di mana pengetahuan dan kekuasaan terkait dalam masyarakat, Foucault akan melihat eksil dalam lensanya sendiri bagaimana kekuasaan negara dan bagaimana sebagai institusi yang memiliki kontrol atas masyarakat dapat memengaruhi kehidupan individu (Roberts, 2017). Kekuasaan negara tidak hanya terbatas pada struktur politik formal, tetapi juga termanifestasi dalam praktik sehari-hari, kontrol atas pengetahuan, dan pembentukan norma sosial (Siregar, 2021). Dalam konteks eksil, kekuasaan negara dapat tercermin dalam kebijakan politik yang memaksa individu untuk meninggalkan negara mereka. Tentunya dengan kata lain negara memaksakan hak individu pada saat itu.Â
Selain itu, film "Eksil" menjadi sebuah kritik terhadap sistem politik di Indonesia dalam menangani masalah eksil. Meskipun terdapat upaya dari pemerintahan sebelumnya, seperti masa kepresidenan Gus Dur yang memberikan harapan, namun belum ada perubahan yang signifikan. Bahkan, selama masa kepresidenan Joko Widodo, pembahasan mengenai eksil belum menghasilkan kebijakan konkret yang mampu mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, film "Eksil" menjadi sebuah penanda bahwa adanya ketidakmampuan sistem politik saat ini dalam menyelesaikan masalah eksil, sementara juga menggambarkan pentingnya perlawanan individu terhadap kekuasaan yang menindas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H