Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menegaskan bahwa pencegahan perkawinan anak menjadi prioritas. BAPPENAS menargetkan penurunan prevalensi perkawinan anak dari 11,2% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada tahun 2024. Upaya ini didukung oleh Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 5.3 yang bertujuan menghapus semua praktik berbahaya seperti perkawinan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan memasukkan isu perkawinan anak sebagai indikator Program Kota Layak Anak serta menginisiasi kampanye nasional untuk menghentikan perkawinan anak.
Mahkamah Agung, dengan membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) untuk memperketat persyaratan dispensasi pernikahan anak serta memastikan prosesnya memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Peraturan di tingkat daerah, berupa Surat Edaran dan Instruksi Gubernur di tingkat provinsi. Serta Peraturan Bupati/Walikota dan Peraturan Desa di tingkat kabupaten/kota.
Rencana Aksi Nasional dan Program Pengembangan, seperti Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN-PIJAR) oleh Kemenko PMK, Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD-HI) oleh Bappenas yang mendukung Indonesia Layak Anak (Idola) tahun 2030.Â
Apakah dispensasi pernikahan merupakan solusi atau dilema bagi kesehatan masyarakat?Â
Pemberian dispensasi pernikahan dini menjadi salah satu faktor yang mendukung tingginya angka pernikahan usia anak dan seringkali menimbulkan kontroversi. Dispensasi pernikahan memungkinkan pasangan di bawah usia legal (belum berusia 19 tahun) untuk menikah dengan izin tertentu yang diberikan oleh pengadilan agama. Dispensasi ini diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut undang-undang ini, orang tua dari pihak pria dan/atau wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan dengan alasan mendesak, didukung oleh bukti-bukti yang cukup (Kompas.com, 2022).
Sebagai gambaran, syarat-syarat pengajuan dispensasi pernikahan, meliputi: permohonan harus diajukan oleh orang tua atau wali dengan mendengarkan pendapat kedua calon mempelai, serta memenuhi persyaratan administrasi, seperti surat permohonan, fotokopi KTP kedua orang tua/wali, KK, KTP atau Kartu Identitas Anak dan akta kelahiran anak, KTP atau Kartu Identitas Anak dan akta kelahiran calon suami/istri, dan ijazah pendidikan terakhir atau surat keterangan masih sekolah. Jika dokumen tersebut tidak tersedia, dokumen lain yang menjelaskan identitas dan status pendidikan anak serta identitas orang tua/wali dapat digunakan (Detik.com, 2023).
Meskipun berbagai solusi telah diupayakan, angka pernikahan dini di Indonesia tetap tinggi. Data Badan Peradilan Agama, jumlah pengajuan permohonan dispensasi kawin pada anak melonjak tiga kali lipat pada tahun 2020 dari yang sebelumnya 24.856 menjadi 64.222. Selanjutnya, pada tahun 2021 pengajuan permohonan dispensasi sebanyak 62.119 tapi yang dikabulkan 61.449. Lalu pada tahun 2022, permohonan yang diajukan sebesar 52.095 tapi yang disetujui 50.748. Dari data tersebut, hampir 95% permohonan dispensasi diterima oleh hakim (BBC Indonesia, 2023).Â
Menurut Komnas Perempuan, beberapa faktor membuat pengadilan mudah mengabulkan permohonan dispensasi kawin. Faktor-faktor tersebut antara lain situasi mendesak seperti kehamilan anak perempuan, risiko hubungan seksual, dan anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina. Selain itu, paparan gawai membuat anak lebih cepat merespons informasi tanpa memahami efek samping aktivitas seksual, yang sering kali menyebabkan kehamilan tidak diinginkan dan permohonan dispensasi kawin. Program terkait pemahaman tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi yang belum merata juga berkontribusi terhadap mudahnya dispensasi ini diberikan (Kompas.com, 2022).
Menurut Alfafan (2021), beberapa kebijakan pencegahan pernikahan anak sering dianggap hanya sebagai program sensasional dan formalitas belaka, menghabiskan biaya besar tanpa dampak dan sasaran yang menyeluruh. Program-program ini juga seringkali dihadapkan pada regulasi yang menyulitkan, sehingga implementasinya belum maksimal dan tidak membawa dampak positif yang signifikan. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan kebijakan yang ada, termasuk dalam hal dispensasi pernikahan, karena meskipun persyaratan pengajuannya mudah, realisasinya cenderung dilonggarkan.