Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 1.577.255 pasangan. Angka ini mengalami penurunan sebesar 7,51% atau sekitar 128.000 pasangan dibandingkan dengan tahun 2022, yang mencapai 1.705.348 pasangan. Penurunan ini tidak hanya terjadi dalam satu terakhir, tetapi telah terjadi secara konsisten setidaknya selama lima tahun terakhir (Detik.com, 2024 & CNN Indonesia, 2024).Â
Penyebabnya adalah perempuan memiliki lebih banyak peluang untuk mengembangkan diri, melanjutkan pendidikan, dan bekerja, mengurangi ketergantungan pada pernikahan. Faktor lainnya yaitu, banyak laki-laki mengalami kesulitan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan, ketidaksiapan mental untuk menikah, meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perselingkuhan, serta tingginya angka perceraian, kesibukan karir, trauma, kurangnya kepercayaan diri untuk mencari pasangan, dan mahalnya mahar pernikahan di beberapa daerah (Detik.com, 2024 & RRI.co.id, 2024).Â
Di sisi lain, di tengah menurunnya angka pernikahan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, pernikahan dini masih menjadi masalah yang serius di kalangan masyarakat. Berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2023, Indonesia berada di peringkat empat dalam perkawinan anak global dengan 25,53 juta kasus (news.schoolmedia.id, 2023). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022-2023 menunjukkan peningkatan pernikahan pertama di bawah usia 19 tahun pada perempuan, dari 33,28% pada 2022 menjadi 33,74% pada 2023. Secara keseluruhan, 1,2 juta anak di Indonesia terlibat perkawinan anak, dengan 11,21% perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum 18 tahun. Kontras dengan laki-laki, hanya 1 dari 100 yang menikah di usia anak (Kemenko PMK, 2023).Â
Jika dianalisis menggunakan beberapa teori perilaku, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan dini. Berdasarkan Teori Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model), pernikahan dini seringkali terjadi karena individu dan masyarakat kurang memahami risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh pernikahan dini. Mereka mungkin tidak menganggap pernikahan dini sebagai ancaman kesehatan yang serius atau tidak menyadari keparahan dampaknya terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial-ekonomi.Â
Menurut Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behaviour), norma subjektif dan sosial budaya yang mendukung praktik pernikahan dini perlu diubah melalui kampanye edukasi dan promosi kesehatan. Upaya ini bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat, sehingga pernikahan dini dianggap tidak diinginkan dan berisiko. Selain itu, penting untuk meningkatkan persepsi kontrol individu dan masyarakat terhadap penolakan atau penundaan pernikahan dini. Keterbatasan ekonomi, akses pendidikan, dan faktor-faktor lain yang membatasi kemampuan mereka harus diatasi melalui program pemberdayaan dan peningkatan akses sumber daya.
Perkawinan anak membawa dampak negatif, seperti tingginya angka kematian bayi dan ibu. Bayi dari ibu di bawah 20 tahun berisiko 1,5 kali lebih besar meninggal sebelum usia 28 hari dibandingkan bayi dari ibu berusia 20-30 tahun. Perkawinan dan kelahiran di usia anak juga meningkatkan risiko stunting. Selain itu, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, 4 kali lebih rentan tidak menyelesaikan pendidikan menengah dan menghadapi kemiskinan intergenerasi (Kemen PPN/Bappenas, 2019). Selain itu, perkawinan anak berkontribusi pada kemiskinan intergenerasi. Perkawinan anak merampas hak-hak dasar anak, seperti pendidikan, perlindungan, dan hak untuk bermain (Kemenko PMK, 2023).Â
Secara khusus, berikut rangkaian upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah perkawinan anak, di antaranya (UNICEF, 2020 & Kemenko PMK, 2023):
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), yang menyatakan bahwa orang tua harus mencegah perkawinan anak.
Perubahan pada Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), yang menaikkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun dengan menyesuaikan pada keputusan Mahkamah Konstitusi Desember 2018 yang menyebutkan bahwa perbedaan usia minimum menikah antara laki-laki dan perempuan adalah diskriminasi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menegaskan bahwa pencegahan perkawinan anak menjadi prioritas. BAPPENAS menargetkan penurunan prevalensi perkawinan anak dari 11,2% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada tahun 2024. Upaya ini didukung oleh Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 5.3 yang bertujuan menghapus semua praktik berbahaya seperti perkawinan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan memasukkan isu perkawinan anak sebagai indikator Program Kota Layak Anak serta menginisiasi kampanye nasional untuk menghentikan perkawinan anak.
Mahkamah Agung, dengan membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) untuk memperketat persyaratan dispensasi pernikahan anak serta memastikan prosesnya memperhatikan kepentingan terbaik anak.
Peraturan di tingkat daerah, berupa Surat Edaran dan Instruksi Gubernur di tingkat provinsi. Serta Peraturan Bupati/Walikota dan Peraturan Desa di tingkat kabupaten/kota.
Rencana Aksi Nasional dan Program Pengembangan, seperti Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kesejahteraan Anak Usia Sekolah dan Remaja (RAN-PIJAR) oleh Kemenko PMK, Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD-HI) oleh Bappenas yang mendukung Indonesia Layak Anak (Idola) tahun 2030.Â
Apakah dispensasi pernikahan merupakan solusi atau dilema bagi kesehatan masyarakat?Â
Pemberian dispensasi pernikahan dini menjadi salah satu faktor yang mendukung tingginya angka pernikahan usia anak dan seringkali menimbulkan kontroversi. Dispensasi pernikahan memungkinkan pasangan di bawah usia legal (belum berusia 19 tahun) untuk menikah dengan izin tertentu yang diberikan oleh pengadilan agama. Dispensasi ini diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut undang-undang ini, orang tua dari pihak pria dan/atau wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi kepada pengadilan dengan alasan mendesak, didukung oleh bukti-bukti yang cukup (Kompas.com, 2022).
Sebagai gambaran, syarat-syarat pengajuan dispensasi pernikahan, meliputi: permohonan harus diajukan oleh orang tua atau wali dengan mendengarkan pendapat kedua calon mempelai, serta memenuhi persyaratan administrasi, seperti surat permohonan, fotokopi KTP kedua orang tua/wali, KK, KTP atau Kartu Identitas Anak dan akta kelahiran anak, KTP atau Kartu Identitas Anak dan akta kelahiran calon suami/istri, dan ijazah pendidikan terakhir atau surat keterangan masih sekolah. Jika dokumen tersebut tidak tersedia, dokumen lain yang menjelaskan identitas dan status pendidikan anak serta identitas orang tua/wali dapat digunakan (Detik.com, 2023).
Meskipun berbagai solusi telah diupayakan, angka pernikahan dini di Indonesia tetap tinggi. Data Badan Peradilan Agama, jumlah pengajuan permohonan dispensasi kawin pada anak melonjak tiga kali lipat pada tahun 2020 dari yang sebelumnya 24.856 menjadi 64.222. Selanjutnya, pada tahun 2021 pengajuan permohonan dispensasi sebanyak 62.119 tapi yang dikabulkan 61.449. Lalu pada tahun 2022, permohonan yang diajukan sebesar 52.095 tapi yang disetujui 50.748. Dari data tersebut, hampir 95% permohonan dispensasi diterima oleh hakim (BBC Indonesia, 2023).Â
Menurut Komnas Perempuan, beberapa faktor membuat pengadilan mudah mengabulkan permohonan dispensasi kawin. Faktor-faktor tersebut antara lain situasi mendesak seperti kehamilan anak perempuan, risiko hubungan seksual, dan anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina. Selain itu, paparan gawai membuat anak lebih cepat merespons informasi tanpa memahami efek samping aktivitas seksual, yang sering kali menyebabkan kehamilan tidak diinginkan dan permohonan dispensasi kawin. Program terkait pemahaman tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi yang belum merata juga berkontribusi terhadap mudahnya dispensasi ini diberikan (Kompas.com, 2022).
Menurut Alfafan (2021), beberapa kebijakan pencegahan pernikahan anak sering dianggap hanya sebagai program sensasional dan formalitas belaka, menghabiskan biaya besar tanpa dampak dan sasaran yang menyeluruh. Program-program ini juga seringkali dihadapkan pada regulasi yang menyulitkan, sehingga implementasinya belum maksimal dan tidak membawa dampak positif yang signifikan. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan kebijakan yang ada, termasuk dalam hal dispensasi pernikahan, karena meskipun persyaratan pengajuannya mudah, realisasinya cenderung dilonggarkan.
Dibutuhkan pendekatan komprehensif untuk mengatasi pernikahan dini dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi yang memadai, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan remaja, serta program pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi remaja perempuan dianggap penting. Selain itu, penegakan hukum dan revisi kebijakan dispensasi pernikahan dini juga perlu dipertimbangkan. Beberapa negara telah meningkatkan usia legal pernikahan dan membatasi dispensasi hanya untuk kasus-kasus khusus yang benar-benar mengancam keselamatan pasangan.
Sebagai kesimpulan, dispensasi pernikahan dini di Indonesia merupakan isu kompleks yang membutuhkan solusi menyeluruh. Meskipun dispensasi ini dimaksudkan sebagai solusi, namun banyak pihak menganggapnya sebagai dilema bagi kesehatan masyarakat. Pendekatan multi-disiplin yang melibatkan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas lokal diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan dan meminimalkan dampak negatif pernikahan dini terhadap kesehatan masyarakat.
Referensi:
Alfafan, I. (2021). Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Pencegahan Pernikahan Anak Di Kabupaten Dompu Pada Periode 2016-2021. Diperoleh dari https://repository.unisma.ac.id/jspui/bitstream/123456789/2693/1/S2_MIA_21802091007_IMAM%20ALFAFAN.pdfÂ
BBC Indonesia. (2023). Pernikahan Anak di Indonesia 'Mengkhawatirkan', Permohonan Dispensasi ke Pengadilan Agama Naik 200%. Diperoleh dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72y6xwx5dvoÂ
CNN Indonesia. (2024). Angka Perkawinan di Indonesia Terus Menurun dalam 6 Tahun Terakhir. Diperoleh dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20240306183127-284-1071319/angka-perkawinan-di-indonesia-terus-menurun-dalam-6-tahun-terakhir
Detik.com. (2024). Angka Pernikahan di Indonesia Menurun, Ini Penjelasan Pakar. Diperoleh dari https://www.detik.com/jatim/berita/d-7255222/angka-pernikahan-di-indonesia-menurun-ini-penjelasan-pakar
Detik.com. (2024). Merenungkan Turunnya Angka Pernikahan. Diperoleh dari  https://news.detik.com/kolom/d-7272269/merenungkan-turunnya-angka-pernikahan
Detik.com. (2023). Apa Itu Dispensasi Nikah? Hal-hal Ini Wajib Diketahui Dulu. diperoleh dari https://news.detik.com/berita/d-6516438/apa-itu-dispensasi-nikah-hal-hal-ini-wajib-diketahui-duluÂ
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI. (2023). Pencegahan Perkawinan Anak perlu menjadi Prioritas demi Wujudkan Indonesia Layak Anak 2030. Diperoleh dari https://www.kemenkopmk.go.id/pencegahan-perkawinan-anak-perlu-menjadi-prioritas-demi-wujudkan-indonesia-layak-anak-2030Â
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2019). Perkawinan Anak Masuk Kategori Darurat, Bappenas Susun Stranas Upaya Pencegahan Bersama. Diperoleh dari https://www.bappenas.go.id/index.php/berita/perkawinan-anak-masuk-kategori-darurat-bappenas-susun-stranas-upaya-pencegahan-bersamaÂ
Kompas.com. (2022). Kasus Pernikahan Dini di Indonesia. Diperoleh dari https://nasional.kompas.com/read/2022/10/02/00000061/kasus-pernikahan-dini-di-indonesiaÂ
Radio Republik Indonesia (RRI). (2024). Angka Pernikahan di Indonesia Juga Turun, Begini Penjelasannya. Diperoleh dari https://www.rri.co.id/nasional/584915/angka-pernikahan-di-indonesia-juga-turun-begini-penjelasannyaÂ
Schoolmedia News. (2023). Indonesia Peringkat Empat Kasus Kawin Anak di Dunia, 25,52 Juta Anak Menikah Usia Dini. Diperoleh dari https://news.schoolmedia.id/lipsus/Indonesia-Peringkat-Empat-Kasus-Kawin-Anak-di-Dunia-2552-Juta-Anak-Menikah-Usia-Dini-3898Â
UNICEF Indonesia. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. Diperoleh dari https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-2020.pdfÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H