sebelum kalian mengetahui sanksi dalam melanggar hukum adat yang berada di daerah aceh kalian perlu simak sejarah terlebih dahulu bagaimana sejarah hukum adat aceh?Â
Peraturan baku Aceh awalnya muncul pada Promosi abad ketiga belas. peraturan standar Aceh berawal dari berdirinya sebuah karya Islam yang signifikan di Aceh, tepatnya Samudera Pasai.Â
Di alam Samudera Pasai, lahir banyak peneliti yang dalam jangka panjang membuat Tuhan Samudara Pasai, khususnya, masih di udara untuk menyebarkan agama Islam ke Nusantara setelah ia berganti atas Penguasa Pasai, Merah Silu.Â
Selain itu berangkat oleh kepentingan Penguasa Malaka, Mansur Syah dengan salah satu buku yang dengan gelar Syah Maulana Abu Bakar dengan gelar "Durr al-Manzum". Karena kelebihannya, Raja Mansur Shah meminta beberapa peneliti untuk menafsirkan Kitab Durr al-Manzum
Bagaimanapun, dari banyak peneliti tidak ada orang yang dikirim memiliki pilihan untuk menguraikan dan menguraikan buku sampai Raja Mansur Shah sendiri meminta agar Penguasa Pasai membantunya menangani masalah ini.Â
Dengan bantuan nasihat dari para peneliti, akhirnya masalah ini dapat diatasi dan Raja Malaka senang dengan konsekuensi dari interpretasi dan terjemahan buku. Karena banyak peneliti telah menang di Setelah episode itu, semakin banyak peneliti memainkan pekerjaan yang berfungsi sebagai konsultan yang sah dalam karya Islam, khususnya di Alam Islam Samudera Pasai.
Sesuai dengan Peraturan Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur tentang pedoman kemerdekaan Wilayah Aceh dan Perubahan Pedoman Pembentukan Wilayah Sumatera Utara. Apalagi setelah masa Permohonan Baru ada peraturan yang diberikan, khususnya Peraturan Nomor 44 Tahun 1999 yang mengelola Kehormatan Aceh sebagai Wilayah di Indonesia.Â
Untuk situasi ini jelas Aceh memiliki kekuatan yang diberikan luar biasa oleh pemerintah Indonesia sehingga Aceh dapat mengesahkan peraturan standarnya sendiri sebagai aturan fundamental dalam mengelola masyarakat. Aturan tentang Tatanan Peraturan Baku Aceh ini diatur dalam beberapa pedoman wilayah yang diberikan oleh pemerintah Aceh, misalnya:
- Perda Wilayah Kabupaten Luar Biasa Aceh Nomor 2 Tahun 1990 tentang Arahan dan Kemajuan Kepabeanan. Kecenderungan Individu dengan Pondasi Standar di Wilayah Daerah Luar Biasa Aceh (Jurnal Lokal 1990Nomor 13)
- Perda Wilayah Kabupaten Luar Biasa Aceh Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Mukim sebagai Satuan Kelompok Masyarakat Asli di Wilayah Daerah Istimewa Aceh (Jurnal Daerah Tahun 1996 Nomor 195 Seri D Nomor 194)
Qanun, merupakan peraturan perundang-undangan yang sejenis dengan peraturan daerah yang mengatur pelanggaran pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, termasuk kewajiban dan persoalan-persoalan pilihan, baik di tingkat Aceh maupun di tingkat kabupaten/kota, diselesaikan pada aturan dasar eksternalitas, tanggung jawab dan produktivitas dengan mempertimbangkan keselarasan hubungan administrasi.Â
Pembagian urusan pemerintah terkait dengan regulasi Islam antara pemerintah Aceh dan otoritas publik masyarakat lokal/perkotaan diarahkan dalam Qanun Aceh. Dalam Perda No. 7 tahun 2000 sehubungan dengan pelaksanaan kehidupan standar, telah dikendalikan sehubungan dengan pekerjaan danm kekuatan yayasan adat di Aceh.Â
Pedoman Wilayah (Perda) ini adalah penggambaran salah satu puncak kehormatan dan kemerdekaan Aceh yang luar biasa, Hal ini sebagaimana dalam Pasal 2 Peraturan No. 4 tahun 1999 tentang pelaksanaan standar hidup yang juga sesuai dengan jiwa pelaksanaan syariat Islam. Â
Oleh karena itu, adat-istiadat yang disinggung di dalam dan ditambah dengan Peraturan Daerah ini adalah adat-istiadat yang sesuai Islam dan diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan Islam syariah.
Dalam hubungan dengan pelaksanaan berbagai kebijakan dalam Syari'at Islam diatur dalam Perda No. 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan adat telah memberi posisi ke instansi standar, khususnya Imuem Mukim, Geuchik, Teungku Imuem, Tuha Peut dan Tuha Lapan untuk membuat pengaturan terkait dengan pelaksanaan syariat Islam, baik syariat Islam yang tidak dipalsukan maupun syariat Islam Islam yang telah menjadi adat adalah syariat yang berhubungan dengan permintaan batin kota.Â
Demikian pula, penetapan standar ini juga diberi posisi untuk memaksakan sanksi terhadap pertanyaan atau pelanggaran yang terjadi di desa masing-masing  Susunan Pedoman Provinsi di atas mengarahkan kekuatan yayasan standar di menyelesaikan pertanyaan daerah lokal dalam sudut pandang peraturan standar.Â
Selain itu, pedoman terdekat juga menentukan bahwa pilihan pendirian standar dapat dipikirkan dalam pilihan mengawasi acara debat standar yang belum terselesaikan di pengadilan standar dibawa di bawah pengawasan pengadilan.
Dalam penggunaan peraturan baku di Aceh ada macam-macamnya otorisasi peraturan yang dipaksakan dalam berbagai jenis masalah aktivitas disiplin yang diberikan oleh Kesultanan Aceh. Disiplin menyerah sebagai Jawaban untuk masalah ini tentu unik, apalagi jika kita melihatnya dari sudut pandangilmu kriminal. Kemudian, pada titik itu, ada beberapa hukuman pidana yang dapat dilihat menurut sudut pandang: ilmu kriminal. Misalnya tindak pidana korupsi dalam Peraturan Adat di Aceh dikelompokkan dalam demonstrasi penjahat perampokan yang secara keseluruhan diatur dalam undang-undang Adat dapat dikutuk untuk menghilangkan tangan.Â
Selain itu individu yang mengambil barang itu orang tersebut wajib mengembalikan atau mengganti barang dagangan yang diambil. Meskipun demikian, dalam praktik ilmu kriminal, disiplin melepas tangan tidak dapat dibenarkan mengingat fakta bahwa itu adalah kesalahan dalam pelanggaran kebebasan dasar. Perbuatan salah dari kekotoran batin itu sendiri dikendalikan dalam Peraturan penanggulangan pencemaran tersebut melalui Peraturan No. 3 tahun 1971. Hal ini cenderung beralasan bahwa ada beberapa perbedaan antara pemukiman demonstrasi kriminal menurut sudut pandang peraturan baku dengan ilmu pidana.Â
Dalam Peraturan Standar khususnya di Aceh tidak ada lagi pertimbangan yang diberikan pada Pelanggaran Kebebasan Dasar dalam menghukum pelaku kejahatan. Apapun itu, Dalam ilmu pidana masih terdapat komponen kebebasan bersama yang dipandang sebagai pemberian disiplin untuk pelaku penjahat.
Dalam mengutuk, regulasi standar lebih mengacu pada kecenderungan bahwa Saat ini terjadi di sekitar sana, di Aceh sendiri penghukuman itu tergantung pada Kitab Peraturan Aceh atau biasa disebut Qanun. Sementara di titik perspektif kriminologi lebih melihat peraturan yang telah dibuat dan disahkan oleh otoritas negara. Namun, lambat laun, peraturan standar semakin diterapkan dengan sungguh-sungguh karena tidak mempertimbangkan kesejahteraan ekonomi dari pelaku kesalahan.Â
Artinya, siapapun pelakunya Terlepas dari apakah kesalahan dilakukan, terlepas dari apakah pelakunya berasal dari keluarga kekaisaran, pelakunya akan mendapatkan disiplin yang sama seperti orang lain. Sementara di pelaksanaan disiplin menurut perspektif kriminologi masih ada pelaku penjahat yang mendapatkan perlakuan khusus dari otoritas publik.
Kesimpulan dari penjelasan tersebut ialah Dalam praktiknya, hukum adat di Aceh dalam menyelesaikan tindak pidana memiliki dasar yang sangat kuat terhadap sejarah yang berlaku dan hukum Islam yang juga berlaku di dalam wilayah Aceh. Peraturan yang berlaku di dalam masyarakat sendiri merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Aceh yang berfungsi menegakkan ketertiban di dalam wilayahnya.Â
Peraturan tersebut dikenal keras dan mengutamakan efek jera bagi orang yang melakukan tindak pidana, tanpa memperhatikan hak asasi yang dimiliki pelaku tindak pidana tersebut sebagai manusia. Sehingga dapat di tarik kesimpulan berdasarkan pembahasan diatas, bahwa hukum adat yang beraku di Aceh memiliki cara penyelesaian yang berbading balik dengan sudut pandang kriminilogi.Â
Dalam hukum adat yang berlaku di Aceh lebih diutamakan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera yang diterima oleh orang yang pelaku tindak pidana dan mencegah timbulnya niat untuk melakukan tindak kejahatan lainnya. Sedangkan dari sudut pandang kriminologi, timbulnya efek jera juga diutamakan namun masih memperhatikan pemberlakuan HAM. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana dapat menimbulkan efek jera namun masih memperhatikan Hak Asasi yang dimiliki pelaku sebagai manusia. Sehingga, kriminologi tidak menyetujui dan membenarkan pemberian hukuman bagi pelaku tindak pidana yang menyampingkan Hak Asasi Manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H