Mohon tunggu...
Nurul Amalia Salabi
Nurul Amalia Salabi Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Perludem

Your friend to talk about film and books.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Demokrasi Digital dan Gema Dunia Baru

13 Juli 2022   20:33 Diperbarui: 13 Juli 2022   20:36 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto saya bersama komunitas adat suku Oyango di Iriga City, Filipina (Dokpri)

"KALAU INI BENAR, ANDA BANGSAATMANA KEADILAN", begitu bunyi judul salah satu video di channel Youtube Deddy Corbuzier. Iya! Saya adalah satu dari hampir 18,9 juta subscriber Deddy Corbuzier yang katanya "smart people".

"Hebat!", kata saya dalam hati. Sepuluh tahun yang lalu, saat saya berusia 19 tahun, tak terbayang isu kekerasan seksual akan seramai ini. Tidak disangka melek kekerasan seksual akan jadi hal keren, yang laki-laki pun tak malu untuk ikut buka suara. Iya, laki-laki yang bukan aktor negara, atau bukan politisi yang lagi cari suara.

Selesai dari Deddy, saya mampir ke Facebook untuk nonton reels. Sebagian besar isinya video Galasky dengan "toyik toyik ana" dan video tanya jawab "template" antara beda-beda orang dengan Roy, Jeje, dan anak-anak Citayem Fashion Week lainnya. Ternyata, meski dekade demi dekade terlewati, masalah orang remaja masih sama: soal eksistensi. Perkara outfit, punya pacar, dan punya duit buat kencan. Mungkin, kalau pertanyaannya berani lebih beda, sebetulnya orang remaja juga punya suara bermakna.

Tetapi konten reels toh tetap bisa jadi inspirasi untuk bikin konten edukasi. Inilah manfaat internet, jadi yakin kalau edukasi demokrasi bisa gak harus dengan joget "Over dosis rumah sakit," tapi bisa juga dengan kuis atau tanya jawab ala ala Citayem Fashion Week.

Habermas dan Freire, meski dari spektrum ideologi yang berbeda, sepakat bahwa demokrasi adalah soal kualitas suara. Makin terdidik orang-orangnya, makin bermakna obrolannya, komunitasnya, dan akhirnya masyarakatnya.

Apa yang bisa dilakukan banyak orang dengan internet ternyata membuka dunia baru yang sebelumnya tak terbayangkan oleh kedua teoretikus ternama itu. Hari ini, betapa siapa pun yang memiliki akses internet dapat ikut bersuara, masuk ke dunia yang bisa dipilihnya sendiri. Tak perlu diwakili, orang-orang biasa bisa bersuara untuk mewakili dirinya sendiri.

Tak masalah membuat noise, karena transformasi sosial justru berawal dari adanya noise. Masyarakat yang melek isu kekerasan seksual, anti bullying, dan Save Earth misalnya, tidak akan ada tanpa noise di dunia maya yang seringkali jadi gerakan di dunia nyata. Internet menyambungkan banyak keresahan menjadi noise yang diperlukan untuk suatu perubahan.

Dunia baru?

Ya! Internet tak main-main mendorong adanya dunia baru, yaitu dunia dengan nilai-nilai baru. Sebagai seorang lulusan sejarah yang kini bergiat di isu demokrasi, di beberapa kali momen diskusi, saya bertanya kepada teman-teman mahasiswa, "Apakah hari ini dunia lebih baik?". Beberapa menjawab tidak, dengan merujuk pada krisis iklim dan lingkungan, kemiskinan, dan sebagainya.

Saya punya jawaban lain yang tidak perlu hitam putih. Hari ini, hak-hak perempuan jauh lebih diperhatikan. Dalam babak sejarah yang kelam, sebagaimana dipotret dalam film Suffragette, atau jauh di masa belum ditemukannya kamera untuk merekam, gerakan perempuan sangat terbatas, perempuan banyak belum jadi subjek. Hari ini, representasi perempuan, bersamaan dengan kebebasan berekspresi jadi patokan untuk menilai seberapa demokratisnya suatu negara. Dulu, di tahun 1960an sampai tiga dekade setelahnya, hilang jadi harga dari bebasnya berbicara. Dulu juga, masyarakat tak saling terhubung. Hari ini, asal tersambung dengan internet, siapa pun bisa belajar dari orang di ujung dunia sekalipun. Dunia terkoneksi berbagi informasi, juga berbagi empati. Tak heran para sosiolog memberikan istilah, masyarakat dunia.

Terkoneksi adalah kata kunci penting dalam demokrasi, seperti halnya pendidikan demokrasi. Tak pernah saya merasa internet sepenting ketika saya berada di Filipina untuk melakukan pemantauan Pemilu Filipina 2022. Tersambung dengan paket roaming Telkomsel membuat saya beruntung, sebab kondisi internet di Filipina tidaklah sebaik internetnya Indonesia. Terkoneksi menyambungkan saya dengan orang-orang di perbatasan, para nelayan, petani di pegunungan, juga orang-orang muda dan ibu rumah tangga yang juga punya suara. Koneksi memungkinkan konsolidasi untuk nilai-nilai baik yang mau ditawarkan kepada dunia: kebebasan, kesetaraan akses, inklusivitas, dan anti diskriminasi.

Hari ini, dalam dunia baru yang bukan berarti bebas masalah, edukasi demokrasi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dari diskusi daring ke diskusi daring lainnya, membuat konten video interaktif, infografis dengan pesan yang kuat, review film isu demokrasi, bahkan konten Tiktok tebak tokoh. Semua ini mengingatkan kita betapa pentingnya internet murah yang bisa dijangkau oleh semua orang di seluruh pelosok Indonesia. Sebab menjadi pintar, berwawasan, dan menjadi warga negara yang aktif dan mau terlibat, butuh tersambung dengan internet untuk mendapatkan manfaat tak terbatas.  

Ruang digital telah menjadi ruang edukasi dan advokasi tanpa batas berbagai gerakan sipil, mulai dari kelompok disabilitas rungu yang mengkampanyekan subtitle bahasa dan penerjemah isyarat di forum publik, buruh, psikolog, guru honorer, masyarakat adat, perempuan, pekerja freelance,  aktivis, sampai komunitas ojek online. Internet adalah ruang publik yang dekat dengan esensi setara dan bebas, dua nilai penting dalam demokrasi.

Siapa yang tahu kondisi demokrasi di masa yang akan datang? Jika lebih banyak orang mendapatkan edukasi dan informasi dari internet, bukan tidak mungkin ada lebih banyak orang yang mau terlibat meningkatkan demokrasi yang substansial. Partisipasi jelas memerlukan uang. Akan hebat jika IndiHome dan Telkom Indonesia dapat menyediakan akses internet murah di seluruh Indonesia, sehingga akses internet tidak lagi jadi privilege sebagian orang. Internet membuat demokrasi jadi lebih berwarna dengan adanya lebih banyak suara, tanpa harus punya kuasa. []

NURUL AMALIA SALABI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun