"Apa yang akan Anda lakukan jika terkunci dalam ruangan gelap? Memilih diam berharap bantuan, menyalahkan diri, atau mencari cara membuka pintu? Kondisi seperti inilah yang dialami oleh penderita dan orangtua dari anak dengan epilepsi. Ketika menerima vonis, hidup seolah gelap gulita. Jalan yang tepat adalah pergunakan energi dan pikiran untuk berusaha keluar dari kegelapan itu!" ujar Melky, ODE dan aktivis Komunitas Epilepsi Indonesia.
Anak dengan epilepsi seperti halnya fenomena gunung es, karena jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan yang terdata. Epilepsi biasanya disebut sebagai 'ayan' atau 'sawan', seringkali mendapat stigma negatif dan dikucilkan sehingga tak banyak yang mengaku. Sebenarnya apa sih epilepsi itu?
Epilepsi termasuk kategori gangguan neurologis yang paling banyak terjadi, ditandai dengan adanya kejang yang bervariasi. Penyebab epilepsi yakni kelainan otak, genetika, gangguan metabolik, dan lainnya(1). Kejadian epilepsi di Indonesia terbilang tinggi. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, diperkirakan masih ada 1,8 juta pasien epilepsi yang butuh pengobatan(2).
Data dari RSU Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) mencatat bahwa sepanjang tahun 2020-2022, sebanyak 40 persen dari pasien poliklinik neurologi anak adalah penderita epilepsi yang artinya, epilepsi banyak diderita oleh bayi dan anak. Risiko kematian dini pada penderita mencapai tiga kali lipat, tapi pengobatan masih sulit diakses. Kejang jadi tak terkontrol dan membebani baik anak maupun pengasuhnya(3). Anak dengan epilepsi pun rentan dengan permasalahan perkembangan seperti keterlambatan bicara, berjalan, berpikir, serta problem lainnya. Tentu ini bisa dapat menghambat cita-cita Indonesia Emas 2045.
Idealnya, kondisi ini membutuhkan kerjasama antara Ibu dan Ayah. Akan tetapi, hanya Ibu yang kerap menanggung sekaligus disalahkan atas apa yang terjadi bahkan oleh suaminya. Sudah jatuh, tertimpa tangga, Ibu rentan kehilangan pekerjaan akibat terlalu sering mengajukan izin sebagai dampak epilepsi yang sulit diprediksi, terutama pada anak usia dini. Di manakah perlindungan untuk Ibu?
"Anak saya setahun sampai 4 kali masuk RS, bapaknya tak peduli. Ga bisa kerja karena anak ga bisa ditinggal. BPJS gratis tapi biaya ke RS gimana?" ungkap Ibu Y. "Suami sering marah dan memaki saya, menyalahkan karena anak kondisinya begitu" tambah Ibu R.
Sejatinya, negara melalui DPR RI belum lama ini mengesahkan 'UU No 4/2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan' (UU KIA). Tak hanya itu, Indonesia punya UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagai seorang Ibu yang memiliki anak dengan epilepsi, saya sangat mengapresiasi kedua UU ini karena menunjukkan komitmen negara melindungi hak dan kesejahteraan kami.
Meskipun begitu, saya secara khusus ingin menyoroti kondisi yang dialami oleh Ibu dengan anak penyandang epilepsi. Mengapa?
Karena epilepsi tak cocok dengan berbagai gagasan disabilitas yang ada dalam wacana populer, penyandang epilepsi tak ayal menghadapi kesulitan, harus disebut sebagai disabilitas atau tidak? Di sisi lain, penting mendukung epilepsi sebagai salah satu disabilitas neurologis karena hak kelompok disabilitas atas pendidikan dilindungi oleh UU dan peraturan.
Saat saya menemukan bahwa bayi saya adalah penyandang disabilitas, saya sempat terjebak dalam ruang gelap yang terkunci -- metafora yang digunakan di awal tulisan ini. Kondisi tersebut mengantarkan saya pada dunia epilepsi yang kompleks dan rentan diskriminasi, hingga akhirnya saya bergabung di Komunitas Epilepsi Indonesia (KEI), wadah berbagi pengalaman dan dukungan. Komunitas ini memiliki grup di aplikasi WhatsApp (sebanyak 880 anggota) dan media sosial Instagram (2.886 pengikut) yang beranggotakan berbagai ODE dan pengasuh ADE dari berbagai wilayah se-Indonesia.
Melky Oktav sebagai aktivis KEI berbagi pengalaman selaku penyandang epilepsi sekaligus pendamping para ODE yang mengalami stigma dan kesulitan akses pengobatan, khususnya yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Obat epilepsi seringkali mahal hingga tak ditanggung BPJS seutuhnya. Melky mengaku sudah menempuh berbagai cara merangkul negara: bersurat pada Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial setempat tapi 'di-pingpong', bisa jadi dikarenakan kebingungan mengidentifikasi epilepsi sebagai disabilitas atau penyakit sehingga mengaburkan penanggungjawab kondisi ini. Melky juga pernah bersurat kepada Menteri Sosial pada periode 2019-2024 untuk meminta bantuan pengobatan 75 pasien epilepsi yang untungnya berhasil. Tapi tentu tak cukup hanya sampai di situ bukan?
"Saya minta dukungan pemerintah supaya obat tetap ada, karena kalau ga makan obat kumat (kejangnya). Sulit mencerdaskan kehidupan bangsa kalau yang epilepsi kumat terus, berpengaruh ke otak." Ungkap Melky. Kelangkaan obat memang sering terjadi, terutama jenis phenobarbital. Pantauan langsung saya ke berbagai apotek selama tiga tahun belakangan menemukan kalau phenobarbital sering 'kosong distributor' yang tidak bisa diperkirakan kapan tersedianya. Ini terjadi di kota Jakarta, bagaimana di daerah?
Padahal, obat ini mendasar, murah, dan mudah dikonsumsi. Selain menyoal obat, kelangkaan dokter saraf juga menjadi keluhan utama. "Daerah pedalaman, atau yang jauh seperti di Papua, NTT, NTB, dan di pulau terpencil masih sulit cari dokter saraf." Imbuh Melky.
Komunitas lainnya yaitu Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI), pernah berupaya memviralkan tagar #IndonesiaDaruratDokterSaraf, karena dari puluhan ribu anak dengan epilepsi, hanya ada 92 dokter spesialis saraf anak. Tentu kondisi ini tak bisa diabaikan karena risiko terberatnya adalah kematian.
Di tengah kondisi sulitnya pengobatan anak dengan epilepsi, Ibu menjadi sosok yang paling disudutkan. Karenanya, saya hendak mengkritisi UU KIA dan UU Disabilitas mengunakan perspektif Feminist Legal Theory (FLT) yang mengajak untuk mengawal agar hukum bisa lebih berpihak pada perempuan dan kelompok rentan seperti disabilitas.
Alih-alih memberikan dukungan, kebijakan banyak menggantungkan peran pengasuhan pada Ibu sehingga beban pengasuhan timpang. Kedua UU ini menjadi penting untuk dibahas karena terkait payung hukum utama untuk Ibu dan anak penyandang epilepsi berdasarkan refleksi saya dari pengalaman pribadi, wawancara, dan observasi. Bagaimanapun, saya percaya bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan kebijakan ini.
Hukum harus mengakui kesulitan yang dialami Ibu dari anak dengan disabilitas(5). Ketiadaan dukungan khusus membuat Ibu harus menanggung beban finansial, fisik, dan emosional sendiri(6). UU KIA belum mendistribusikan beban pengasuhan secara seimbang antara Ibu dan Ayah, menitikberatkan peran pengasuhan sebagai tugas alamiah Ibu. Lebih lanjut lagi, UU KIA saat ini juga lebih fokus pada Ibu bekerja di sektor formal, belum menyoroti ibu bekerja di sektor informal dan kerja perawatan yang tak kalah penting.
UU Penyandang Disabilitas memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas, tapi implementasinya harus diperkuat, terutama dalam memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan inklusif(7). Ibu dari anak dengan epilepsi masih menghadapi kendala dalam mengakses layanan kesehatan dan pengobatan mulai dari obat hingga terapi rutin yang anak butuhkan, seperti fisioterapi, terapi wicara, dan terapi okupasi, yang biasanya hanya tersedia di RS dan klinik perkotaan. Sehingga, ibu dan anak dari keluarga menengah ke bawah kesulitan.
Lebih lanjut, UU Penyandang Disabilitas perlu memasukkan gangguan neurologis seperti epilepsi sebagai variasi disabilitas. Berkaca pada Undang-Undang Disabilitas Amerika, epilepsi diakui sebagai disabilitas sehingga penyandangnya bisa mendapatkan manfaat layanan kesehatan secara spesifik, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sangat penting untuk kemandirian mereka ke depannya.
Diperlukan koordinasi baik antara berbagai lembaga pemerintah, LSM, hingga organisasi penyandang disabilitas untuk memastikan bahwa kebijakan yang dirumuskan bisa inklusif dan efektif diterapkan. Termasuk, menyediakan dukungan ekonomi bagi Ibu yang terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka untuk merawat anak dengan kebutuhan khusus. UU KIA juga perlu secara eksplisit mendorong peran ayah dalam pengasuhan, terutama menyinggung anak dengan kondisi khusus.
Melalui beberapa penyesuaian, UU KIA dan UU Disabilitas akan dapat lebih mencerminkan kebutuhan nyata keluarga di Indonesia dan memastikan kesejahteraan bagi Ibu dan Anak tanpa terkecuali. Kami memanggil negara untuk memberikan perlindungan dan dukungan atas kesulitan Ibu dari anak dengan epilepsi maupun disabilitas lainnya. Penting untuk menyadari bahwa setiap orang punya peluang untuk menjadi penyandang disabilitas walaupun terlahir sebagai non disabilitas, karena berbagai faktor sehingga tidak boleh menutup mata akan kondisi ini. Salam inklusivitas!
Referensi
Scheffer, Ingrid E., et al. "ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology." Epilepsia (2017): 1–10, doi: 10.1111/epi.13709.
WHO. Epilepsy: a public health imperative. Geneva: World Health Organization, 2019.
Gaudecker, Jane R. von, et al. "Living in the Epilepsy Treatment Gap in Rural South India: A Focused Ethnography of Women and Problems Associated with Stigma." Health Care for Women International 38. 7 (2017): 753–764, doi.org/10.1080/07399332.2017.1321000.
Fineman, Martha Albertson. “The Vulnerable Subject: Anchoring Equality in the Human Condition”. Yale Journal of Law & Feminism 20. 1 (2008): 1-23.
MacKinnon, Catharine A. Toward a Feminist Theory of the State. USA: Harvard University Press, 1989.
Fineman, Martha Albertson. The Autonomy Myth: A Theory of Dependency.new York: New Press, 2004.
West, Robin. Caring for Justice. New York: New York University Press, 1997.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI