Mohon tunggu...
Amalia Risti Atikah
Amalia Risti Atikah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kajian Gender

Ibu dari 3 orang anak, dengan anak terakhir sebagai penyintas epilepsi

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Suara Ibu dari Anak dengan Epilepsi: Memanggil Negara untuk Mendukung Kami

29 Oktober 2024   22:30 Diperbarui: 29 Oktober 2024   23:00 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrean Terapi di Salah Satu RS Jabodetabek (sumber: dok. pribadi)

Saat saya menemukan bahwa bayi saya adalah penyandang disabilitas, saya sempat terjebak dalam ruang gelap yang terkunci -- metafora yang digunakan di awal tulisan ini. Kondisi tersebut mengantarkan saya pada dunia epilepsi yang kompleks dan rentan diskriminasi, hingga akhirnya saya bergabung di Komunitas Epilepsi Indonesia (KEI), wadah berbagi pengalaman dan dukungan. Komunitas ini memiliki grup di aplikasi WhatsApp (sebanyak 880 anggota) dan media sosial Instagram (2.886 pengikut) yang beranggotakan berbagai ODE dan pengasuh ADE dari berbagai wilayah se-Indonesia.

Melky Oktav sebagai aktivis KEI berbagi pengalaman selaku penyandang epilepsi sekaligus pendamping para ODE yang mengalami stigma dan kesulitan akses pengobatan, khususnya yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Obat epilepsi seringkali mahal hingga tak ditanggung BPJS seutuhnya. Melky mengaku sudah menempuh berbagai cara merangkul negara: bersurat pada Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial setempat tapi 'di-pingpong', bisa jadi dikarenakan kebingungan mengidentifikasi epilepsi sebagai disabilitas atau penyakit sehingga mengaburkan penanggungjawab kondisi ini. Melky juga pernah bersurat kepada Menteri Sosial pada periode 2019-2024 untuk meminta bantuan pengobatan 75 pasien epilepsi yang untungnya berhasil. Tapi tentu tak cukup hanya sampai di situ bukan?

"Saya minta dukungan pemerintah supaya obat tetap ada, karena kalau ga makan obat kumat (kejangnya). Sulit mencerdaskan kehidupan bangsa kalau yang epilepsi kumat terus, berpengaruh ke otak." Ungkap Melky. Kelangkaan obat memang sering terjadi, terutama jenis phenobarbital. Pantauan langsung saya ke berbagai apotek selama tiga tahun belakangan menemukan kalau phenobarbital sering 'kosong distributor' yang tidak bisa diperkirakan kapan tersedianya. Ini terjadi di kota Jakarta, bagaimana di daerah? 

Padahal, obat ini mendasar, murah, dan mudah dikonsumsi. Selain menyoal obat, kelangkaan dokter saraf juga menjadi keluhan utama. "Daerah pedalaman, atau yang jauh seperti di Papua, NTT, NTB, dan di pulau terpencil masih sulit cari dokter saraf." Imbuh Melky.

Komunitas lainnya yaitu Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI), pernah berupaya memviralkan tagar #IndonesiaDaruratDokterSaraf, karena dari puluhan ribu anak dengan epilepsi, hanya ada 92 dokter spesialis saraf anak. Tentu kondisi ini tak bisa diabaikan karena risiko terberatnya adalah kematian.

Antrean menuju dokter saraf (dokumen pribadi)
Antrean menuju dokter saraf (dokumen pribadi)

Di tengah kondisi sulitnya pengobatan anak dengan epilepsi, Ibu menjadi sosok yang paling disudutkan. Karenanya, saya hendak mengkritisi UU KIA dan UU Disabilitas mengunakan perspektif Feminist Legal Theory (FLT) yang mengajak untuk mengawal agar hukum bisa lebih berpihak pada perempuan dan kelompok rentan seperti disabilitas. 

Alih-alih memberikan dukungan, kebijakan banyak menggantungkan peran pengasuhan pada Ibu sehingga beban pengasuhan timpang. Kedua UU ini menjadi penting untuk dibahas karena terkait payung hukum utama untuk Ibu dan anak penyandang epilepsi berdasarkan refleksi saya dari pengalaman pribadi, wawancara, dan observasi. Bagaimanapun, saya percaya bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan kebijakan ini.

Hukum harus mengakui kesulitan yang dialami Ibu dari anak dengan disabilitas(5). Ketiadaan dukungan khusus membuat Ibu harus menanggung beban finansial, fisik, dan emosional sendiri(6). UU KIA belum mendistribusikan beban pengasuhan secara seimbang antara Ibu dan Ayah, menitikberatkan peran pengasuhan sebagai tugas alamiah Ibu. Lebih lanjut lagi, UU KIA saat ini juga lebih fokus pada Ibu bekerja di sektor formal, belum menyoroti ibu bekerja di sektor informal dan kerja perawatan yang tak kalah penting.

UU Penyandang Disabilitas memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas, tapi implementasinya harus diperkuat, terutama dalam memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan inklusif(7). Ibu dari anak dengan epilepsi masih menghadapi kendala dalam mengakses layanan kesehatan dan pengobatan mulai dari obat hingga terapi rutin yang anak butuhkan, seperti fisioterapi, terapi wicara, dan terapi okupasi, yang biasanya hanya tersedia di RS dan klinik perkotaan. Sehingga, ibu dan anak dari keluarga menengah ke bawah kesulitan.

Lebih lanjut, UU Penyandang Disabilitas perlu memasukkan gangguan neurologis seperti epilepsi sebagai variasi disabilitas. Berkaca pada Undang-Undang Disabilitas Amerika, epilepsi diakui sebagai disabilitas sehingga penyandangnya bisa mendapatkan manfaat layanan kesehatan secara spesifik, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sangat penting untuk kemandirian mereka ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun