Mengapa bagi banyak orang, sulit sekali untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf? Seperti penggalan lagu dari Chicago berikut ini, meminta maaf bukan sesuatu yang mudah.
 It's hard for me to say I'm sorry
I just want you to stay
After all that we've been through
I will make it up to you, I promise to
And after all that's been said and done
You're just the PART OF ME I can't let go
Â
Meminta maaf itu sulit, terutama pada saat kita tidak merasa salah, tetapi kemudian disalahkan. Padahal meminta maaf itu bisa jadi akibat telah menyakiti hati tanpa sengaja atau telah membuat orang lain tidak nyaman. Bukan antara siapa yang salah dan siapa yang benar.
Belum lama ini saya mengalaminya sendiri.
 "Mengapa narasumbernya berbahasa Inggris dan Indonesia campur-campur begitu. Kan penonton tevenya orang Indonesia, seharusnya berbahasa Indonesia yang benar".
Ini kritik pedas yang disampaikan langsung via telpon oleh pemirsa TV saat saya menjadi narasumber dalam bincang-bincang: 'Pencitraan Pejabat Publik' yang menyoroti berbagai kasus termasuk masalah pejabat selfie dengan Donald Trump.
Mendengar kritikan tersebut, saya berpikir sejenak sebelum merespon. Ada dua alternatif cara menjawabnya:
 (1) Tidak menerima kritik, mempertahankan diri dan merasa benar. Saya bahkan bisa kritik balik, bisa menyampaikan bahwa "sekarang ini sudah jaman globalisasi, bahasa Inggris sudah merupakan bagian dari kehidupan kita terutama di kelas yang menjadi pemirsa acara ini. Jadi sah-sah saja untuk berbicara campur-campur."
 (2) Menerima kritik/saran dengan rendah hati minta maaf dan mengakui ketidaksesuaian tersebut. Mengapresiasi kritikan tersebut dan mencoba merubah gaya bicara selanjutnya.
 Sebagai pemirsa teve, mana yang lebih Anda ingin lihat ada di layarkaca? Seorang narasumber yang merasa benar dan membela diri bahkan balik mengkritik atau seorang narasumber yang legowo menerima kritik secara baik dan kemudian merubah sikapnya?
 Mencoba berpikir secara jernih dan membuang ego, saya ambil rute alternatif 2 tersebut. Mengucapkan terimakasih atas sarannya dan mencoba mengganti kata-kata atau terminologi bahasa Inggris yang sudah biasa saya katakan dengan bahasa Indonesianya.
Untung saja, narasumber partner saya membantu memberikan kata-kata, saat saya terhenti dan berpikir: apa nih bahasa Indonesianya 'revisit strategy' dia menyampaikan kalimat 'meninjau kembali strategi'. Talkshow selanjutnya bahasa campur-campurnya berkurang. Win-Win. Semua senang.
Memang penggunaan bahasa campur-campur ini sudah jamak di dunia bisnis dan karena terbiasa dalam lingkungan yang seperti itu membuat saya kurang jeli dalam memahami pemirsa talkshow di televisi secara lebih luas. Adanya masukan atau kritikan tersebut membuat saya harus berani melihat dimensi pemirsa yang Terlewatkan  atau TERLUPAKAN.
Karena sedang membahas pencitraan pejabat publik, maka sangat pas apa yang sedang saya alami langsung itu sebagai bahan untuk mengomentari bagaimana pejabat negara yang selfie dengan Donald Trump saat dikritik pedas oleh masyarakat. Di media sosial sangat jelas dan gamblang kritikan dan ketidaknyamanan masyarakat Indonesia melihat foto-foto dan video mereka.
Apapun alasannya, dalam situasi yang penuh kritikan seperti itu, sikap defensif dan justru mengkritik balik bukan sesuatu yang akan menambahkan nilai bagi brand individu dan brand Institusi yang diwakilinya. Saat seperti ini, yang diharapkan oleh audience adalah posisi menerima dan legowo, meminta maaf itu bukan berarti semua yang dilakukan menjadi salah.
 Dalam ujian terhadap brand seperti kasus ini, yang bisa diambil hikmahnya adalah melihat seberapa besar maaf yang akan diberikan oleh audience saat kita dianggap melakukan 'kesalahan'. Banyaknya soulmates dalam komunitas media sosial akan membuat 'kesalahan' kita diredam, bahkan dibantu untuk mencairkan suasana. Munculnya berbagai MEME yang negatif merupakan hal-hal kontra produktif dan itu datangnya dari kalangan 'non soulmates'.
 Saat bermasalah atau dianggap bermasalah, tabungan SOCIAL CAPITAL dalam bentuk soulmates ini yang akan bisa menyelesaikan masalah. MEME yang negatif bisa disambut dengan MEME lain yang sifatnya positif, misalnya.
 Brand yang sedang kena ujian seharusnya tidak secara frontal membela diri, karena kontra-produktif. Brand Cemerlang itu menundukkan kepala saat dikatakan salah. Para soulmates atau Brand Guardian yaitu pembela brand yang akan maju menjelaskan. Semakin 'netral' posisi Brand Guardian, semakin cepat image yang sedang luntur itu bisa diperbaiki.
Berita-berita baik tentang brand seharusnya terus-menerus disampaikan. Bahwa rombongan Indonesia akan berangkat dan menjadi wakil untuk kegiatan yang sangat penting - sudah terlambat bila disampaikan setelah ada masalah. Pembinaan soulmates itu harus dilakukan jauh hari sebelum masalah tiba.
 Dikatakan dalam lagu Chicago tadi bahwa "You're just the PART OF ME I can't let go", bahwa 'Anda adalah Bagian dari saya yang saya harus pertahankan'. Disini analoginya adalah orang-orang yang mengkritik, siapapun itu, baik di media sosial atau secara langsung, adalah bagian dari stakeholders yang harus dikelola.
Masyarakat Indonesia adalah bagian dari yang diwakili oleh Individu pejabat publik tadi. Tidak bisa dilepaskan begitu saja. Kalaupun tersandung, suatu kejadian ternyata sampai melukai tanpa disengaja, simple saja solusinya yaitu MINTA MAAF.
Permintaan maaf yang tulus dan bukan dalam arti permintaan maaf untuk 'pencitraan semu' belaka. Disanalah kebesaran hati para pejabat publik ini justru akan terlihat secara alamiah dan 'genuine', asli.
Pencitraan semu yang biasanya menyertai sikap pejabat publik sudah usang, dan sudah kehilangan efektifitasnya bagi publik yang semakin cerdas dan kritis. Saatnya sekarang untuk bersama-sama dalam satu tim dengan masyarakat. Publik dan Pejabat adalah satu. Terutama, bukan lagi Pejabat berada di atas dan seolah publiknya berada di bawah.
Publik sedang meminta space mereka untuk ikut tampil dan ikut bersuara. Menghargai pendapat dan mengakomodasi permintaan mereka, meredam keresahan dan ketidaknyamanan mereka itu lebih penting daripada mempertahankan ego individu atau
kelompok.
Protes ini akan membawa dampak pada image institusi. DPR sudah lama menyimpan kata kunci yang negatif di benak masyarakatnya. Permasalahan ini justru akan menambah daftar panjang persepsi negatif yang selama ini terbentuk.
Sudah waktunya untuk lebih legowo dan menerima masukan dari masyarakat yang diwakilinya. Masyarakat itu adalah bagian dari DPR dan ini berlaku sebaliknya: pejabat DPR itu adalah bagian dari masyarakatnya. Meminta maaf itu mulia. Bismillah.
Â
Amalia E. Maulana,
Brand Consultant & Ethnographer
ETNOMARK Consulting
www.amaliamaulana.com , www.etnomark.com
@etnoamalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H