Ini kritik pedas yang disampaikan langsung via telpon oleh pemirsa TV saat saya menjadi narasumber dalam bincang-bincang: 'Pencitraan Pejabat Publik' yang menyoroti berbagai kasus termasuk masalah pejabat selfie dengan Donald Trump.
Mendengar kritikan tersebut, saya berpikir sejenak sebelum merespon. Ada dua alternatif cara menjawabnya:
 (1) Tidak menerima kritik, mempertahankan diri dan merasa benar. Saya bahkan bisa kritik balik, bisa menyampaikan bahwa "sekarang ini sudah jaman globalisasi, bahasa Inggris sudah merupakan bagian dari kehidupan kita terutama di kelas yang menjadi pemirsa acara ini. Jadi sah-sah saja untuk berbicara campur-campur."
 (2) Menerima kritik/saran dengan rendah hati minta maaf dan mengakui ketidaksesuaian tersebut. Mengapresiasi kritikan tersebut dan mencoba merubah gaya bicara selanjutnya.
 Sebagai pemirsa teve, mana yang lebih Anda ingin lihat ada di layarkaca? Seorang narasumber yang merasa benar dan membela diri bahkan balik mengkritik atau seorang narasumber yang legowo menerima kritik secara baik dan kemudian merubah sikapnya?
 Mencoba berpikir secara jernih dan membuang ego, saya ambil rute alternatif 2 tersebut. Mengucapkan terimakasih atas sarannya dan mencoba mengganti kata-kata atau terminologi bahasa Inggris yang sudah biasa saya katakan dengan bahasa Indonesianya.
Untung saja, narasumber partner saya membantu memberikan kata-kata, saat saya terhenti dan berpikir: apa nih bahasa Indonesianya 'revisit strategy' dia menyampaikan kalimat 'meninjau kembali strategi'. Talkshow selanjutnya bahasa campur-campurnya berkurang. Win-Win. Semua senang.
Memang penggunaan bahasa campur-campur ini sudah jamak di dunia bisnis dan karena terbiasa dalam lingkungan yang seperti itu membuat saya kurang jeli dalam memahami pemirsa talkshow di televisi secara lebih luas. Adanya masukan atau kritikan tersebut membuat saya harus berani melihat dimensi pemirsa yang Terlewatkan  atau TERLUPAKAN.
Karena sedang membahas pencitraan pejabat publik, maka sangat pas apa yang sedang saya alami langsung itu sebagai bahan untuk mengomentari bagaimana pejabat negara yang selfie dengan Donald Trump saat dikritik pedas oleh masyarakat. Di media sosial sangat jelas dan gamblang kritikan dan ketidaknyamanan masyarakat Indonesia melihat foto-foto dan video mereka.
Apapun alasannya, dalam situasi yang penuh kritikan seperti itu, sikap defensif dan justru mengkritik balik bukan sesuatu yang akan menambahkan nilai bagi brand individu dan brand Institusi yang diwakilinya. Saat seperti ini, yang diharapkan oleh audience adalah posisi menerima dan legowo, meminta maaf itu bukan berarti semua yang dilakukan menjadi salah.
 Dalam ujian terhadap brand seperti kasus ini, yang bisa diambil hikmahnya adalah melihat seberapa besar maaf yang akan diberikan oleh audience saat kita dianggap melakukan 'kesalahan'. Banyaknya soulmates dalam komunitas media sosial akan membuat 'kesalahan' kita diredam, bahkan dibantu untuk mencairkan suasana. Munculnya berbagai MEME yang negatif merupakan hal-hal kontra produktif dan itu datangnya dari kalangan 'non soulmates'.